Bab 40
Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.
Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛
A/n: Huhu baru bisa update lagi. Sori kalau lama yaaa🥺🙏 Ayo teman2 aku masih butuh bantuan kalian buat ramein cerita ini dengan komen2 dan vote kalian biar ceritanya lebih hidup hehehe😍💖🦋🙌🔥🔖✨
Ceritanya bisa kamu temukan di work paling depan di profil aku yaaa🤩🙌
Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.
Selamat baca!
*****
"HAI, PACAR!"
Mendengar itu, Helena menarik napasnya. Dia tidak boleh terpancing hanya karena sebutan itu. Dia sudah cukup kewalahan membujuk Daddy-nya agar dia bisa keluar Trey malam ini karena Trey kekeh menjemputnya tepat di depan rumah. Setelah merasa lebih baik, Helena mendekati Trey yang bersandar di badan mobil. "Kamu udah lama?"
"Baru sampai."
"Dasi kamu agak miring. Sebentar." Helena langsung menahan bahu Trey, lalu merapikan dasinya. Setelah beres, Trey tiba-tiba saja mencium keningnya, dan tidak ada penolakan dari Helena. "Nah, kalau begini lebih enak dilihat."
"Sebenarnya, aku suka melihat leher kamu yang polos, tapi kalau ditambah dengan kalung ini bakal terlihat lebih indah."
"Kalung? Kalung apa?"
Setelah merogoh saku jasnya untuk mengambil sebuah kotak beludru warna merah, Trey langsung menunjukkan sebuah kalung perak dengan bandul berlian yang nampak menawan. Helena terperangah, sementara Trey kini beralih ke belakang tubuh perempuan itu untuk memasangkan. "Aku belum tahu kamu suka atau tidak kalungnya, tapi biarkan kalung ini tetap ada di leher kamu, ya."
"Kalau aku nggak suka, aku kebangetan, dong."
"Wah, sepertinya kamu memang tidak suka."
Helena menyipitkan matanya pada Trey yang telah berada di depannya. "Siapa yang bilang?"
"Kamu, kalimat kamu, dan intonasi bicara kamu?"
"Hei, aku suka." Helena tersenyum sembari meraih bandul kalung itu. Dia menyukai sesuatu yang sederhana, tetapi terlihat indah. "Cuma, apa ini nggak berlebihan?"
"Tidak ada kata berlebihan untuk sesuatu yang sempurna, Helena." Lalu, Trey membukakan pintu mobilnya untuk Helena. "Oh iya, tidak apa-apa aku menjemput kamu cuma dengan mobil? Kalau kita naik kereta kuda buat ke pesta kayaknya tidak mungkin juga."
Helena tertawa. "Dikiranya kita golongan kerajaan?"
Trey ikut tertawa, lalu mobil itu mulai berjalan menuju pesta. Selama perjalanan tidak ada keheningan. Mereka selalu mengisinya dengan obrolan-obrolan ringan. Helena melirik Trey, lalu kepikiran apa keputusannya untuk menerima Trey sebagai kekasihnya sudah tepat? Namun, mau bagaimana lagi? Itu sudah bagian dari perjanjian. Dia juga yang pertama kali kalah, maka mau tidak mau harus menanggung risiko untuk menjadi kekasih Trey.
"Helena?"
"Hm?"
"Kapan kamu bisa mencintaiku balik?"
Helena langsung membeku. Itu yang dia takutkan. Meski Trey tidak mempermasalahkan itu, tetapi Helena merasa dirinya jahat karena membiarkan hanya Trey yang memiliki perasaan dalam hubungan ini. "Emangnya ... kamu yakin soal itu?"
"Tentang hati tidak selamanya akan keras, kan? Nanti. Aku percaya kamu bakal luluh, lalu kita bisa saling mencintai."
"Sepercaya diri itu, ya, kamu?"
"Mencuri hati kamu?" Trey menepuk dadanya sendiri. "Gampang. Tapi...."
"Tapi...?"
"Pencurian ini bersifat kekal," kata Trey. "Satu kali aku berhasil mencuri hati kamu, jangan harap kamu bisa merebutnya balik. Karena milikku akan selamanya milikku. Dengan kata lain, perasaan kamu cuma buat aku dalam waktu yang supeeer lama."
Helena refleks melengos demi menyembunyikan senyum gelinya. "Aku aja belum cinta kamu, tapi kamu udah berharap sebesar langit."
"Setidaknya, bulan bisa dengar janji aku." Trey mengambil tangan Helena, mengecupnya. "Kalau kamu cuma buat aku."
Helena berharap degup jantungnya sekarang sekadar hal yang normal. Tidak untuk hal lain. Demi mengabaikan itu, Helena langsung mengambil ponselnya dari tas, memainkannya. Sayangnya, keberadaan Trey di sana lebih menarik dari apa pun. Helena mendesah kasar. Apa dia benar-benar bisa mencintai Trey? Helena mengedipkan mata saat sesuatu menarik perhatiannya.
"Trey, berhenti!"
"Hah?"
"Sekarang!" seru Helena. Trey yang bingung dengan terpaksa menepi. Helena tidak mengerti mengapa dia benci menyadari bahwa Trey masih saja merokok. Entah untuk alasan apa pun, dia tetap tidak menyukainya. Helena mengambil kotak tersebut lalu berjalan keluar. "Ini apa? Kamu masih ngelakuin?"
"Helena...."
"Sekarang kamu cari toko terus beli gunting."
"Helena, tolong dengarkan aku dulu," pinta Trey sungguh-sungguh. "Belakangan ini aku sudah tidak merokok lagi. Demi aku, demi kamu, demi kenyamanan kita. Dan masalah kotak di sana, itu bekas dari lama. Aku tidak—"
Namun, akhirnya Trey hanya mengangguk kemudian pergi dengan berlari cepat untuk menuruti kata Helena. Dia tidak boleh membuat Helena menunggu lama dan pada akhirnya membuat kedekatan ini runyam hanya karena kotak rokok sialan yang sebenarnya sudah lama tidak dia pakai. Hanya butuh waktu lima belas menit sampai Trey kembali.
Helena langsung merenggut selembar tisu dari tas untuk pelindung tangan ketika dia menumpahkan semua batang rokok dari kotaknya. Setelah itu, dia mendekati tempat sampah jalanan, yang diikuti Trey. "Sekarang, kamu gunting semua rokok ini."
"Semua?"
"Iya, kamu keberatan?"
"Tidak, aku bakal melakukannya." Trey mulai menggunting sebatang rokok. "Aku lebih memilihmu ketimbang rokok."
Dilanjutkan yang kedua. "Kamu lebih istimewa." Lalu, yang ketiga. "Kamu lebih segala-galanya."
Sementara Helena tidak tahu sejak kapan melihat laki-laki memotong rokok menjadi hal yang menarik?
"Kamu bisa membalas perasaanku, tapi tidak dengan rokok."
Ketika semuanya sudah terpotong, Helena langsung membuang semua itu ke tempat sampah. "Terus masih ada barang yang mencurigakan?"
"Heh? Apa?" Trey bingung. "Mencurigakan?"
"Kamu tahu apa maksud aku. Sini, aku mau lihat dompet kamu." Menyadari Trey masih diam, Helena mendengkus. "Cepetan ih! Lama banget!"
"Buat apa?" Begitu Trey menyerahkannya, Helena memeriksa dengan detail. Dia buka satu persatu bagian di dalamnya. "Kamu cari apa? Kondom?"
"Trey!" Muka Helena sontak memerah. Dia memang mencari itu, tetapi apa harus Trey membicarakannya blak-blakan?
Trey tertawa. "Ternyata kamu tahu bagaimana kebiasaan laki-laki."
"Ada nggak?"
"Apa?"
"Itu...."
"Tidak ada. Sumpah."
"Masa?" Helena masih tidak percaya, tetapi Trey hanya tersenyum usil yang buat Helena sebal. Dia langsung menyelonong masuk mobil, mengabaikan tawa Trey yang berderai. "Nggak usah ketawa! Nggak ada yang lucu di sini!" Lalu dia mengendus telapak tangannya sendiri. "Tuh, kan, tanganku jadi ikut bau rokok! Kamu ada antiseptik nggak?"
"Sebentar." Trey mengambil antiseptiknya dari dashboard. "Helena?"
"Apa?"
"Wow, kenapa ketus sekali?"
"Pikir aja sendiri!" Helena melemparkan antiseptik tadi dengan kasar, ekspresinya masih tidak bersahabat.
"Sayang...."
"Apaan, sih, sayang-sayang? Lebay banget!" Begitu menoleh, Helena mendapati Trey yang menahan tawa. "Nyebelin! Udah jalanin aja lagi mobilnya!"
"I love you. I love you. I love you."
"Biar apa begitu? Berharap aku jadi baper? Hah! Nggak dulu!"
"Astaga ... kamu masih kesal soal itu?"
"Ya kamu kira apa?"
"Helena...." Trey memutar sedikit tubuhnya lalu mengambil kedua tangan Helena. "Kamu bisa percaya aku, kan?"
"Tergantung."
"Tolong."
"Buktinya udah ada. Buat apa aku—"
"Itu cuma kotak lama. Rokoknya sudah tidak aku gunakan lagi," balas Trey. "Aku sudah bilang, perubahan secara bertahap ini demi kenyamanan kita."
"Tapi tadi—"
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak cium aku saja?" potong Trey. "Biar kamu tahu mulutku beraroma tembakau atau tidak."
***
"Ini sebenernya acara apa, sih?"
"Pernikahan Arthur dan Margaretha." Setelah membuka pintu mobil, Trey menggenggam tangan Helena, kemudian membawanya masuk.
"Kamu kenal?"
"Iya, Arthur teman SMA-ku."
Tidak perlu dicermati lebih lanjut, pesta ini terbilang mewah. Setiap dekor yang ada seperti sudah diperhatikan matang-matang. Baik ruangan mau pun tamu, semuanya terlihat elegan. Helena mulai berasumsi kalau Arthur-Arthur yang disebutkan Trey tadi sama suksesnya dengan Trey.
"Jangan terlalu terkesima. Aku bisa buat yang lebih dari ini.
Helena menoleh. "Oh?"
Trey membantu menggiring lengan Helena, menggusur beberapa orang yang menyesakkan jalan. "Denganmu."
"Maksudnya?"
"Nanti pestanya denganmu," kata Trey. "Kalau kita sudah nikah."
Tidak ada jawaban, Helena hanya menarik napas. Bagaimana juga dia harus terbiasa dengan sisi lain dari Trey yang begini. Mau merespons bingung harus seperti apa, memprotes juga percuma karena sudah pasti ujungnya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Helena berpasrah mengikuti arahan Trey yang menuju pengantin. Dia juga menerima sambutan pelukan dan cipika-cipiki dari pengantin perempuan. Ketika ingin beralih ke yang laki-laki, Trey lebih dulu menahannya, sehingga Arthur hanya berakhir memeluk Trey lagi.
"Wow! Wow! Tadi itu apa?" tanya Arthur dengan riang. "Sekarang sudah menjadi laki-laki yang posesif, eh?" Sementara Trey malah merengkuh pinggang Helena—seolah memperkuat kalimat Arthur. "Kalian pacaran?"
"Ya," kata Trey mantap. "Kami sepasang kekasih yang manisnya melebihi kalian."
"Ho-ho, shut the fuck up!" Arthur ikut merengkuh pinggang Margaretha, sembari memberi kecupan di dahi. "Setidaknya aku lebih berani dari kamu. Nikahin! Jangan cuma ajak coblos!"
"Coblos?" gumam Helena.
"Jangan didengarkan!" Trey melotot pada Arthur yang cengengesan.
"Aku kira kamu masih berhubungan dengan Eleanor."
"Arthur...," bisik Margaretha.
"Sumpah!" Arthur tertawa tanpa dosa. "Aku tidak salah, kan? Kalian—maksudku kamu dan Eleanor suka pergi berdua. Kalian juga—"
"Setidaknya hari ini hari bahagiamu. Tahan omong kosongmu. Permisi." Trey menarik Helena lagi yang kali ini tubuhnya lebih lemas. "Helena?" Tidak ada jawaban. "Helena?"
"Iya?"
"Ayo duduk."
"Oh...." Helena kelihatan linglung, tetapi tetap patuh. Trey kembali mengambil tangan kanannya. Mencium lama di sana. "Trey...."
"I love you." Satu persatu jari Helena dicium. Lembut, penuh perasaan. "Only you."
Trey menoleh ke bawah dan itu pilihan yang salah. Paha putih dan mulus milik Helena membuatnya menelan ludah berat. "Kamu ... mau minum?"
"Non alkohol kan?"
Trey mengiyakan. "Biasanya ada sirup atau jus. Sebentar, aku ambilkan."
Helena membiarkan Trey pergi. Setidaknya, itu bisa jadi kesempatan untuk menenangkan diri. Mengapa omongan Arthur tadi memengaruhi pikirannya? Bukankah semua itu hal yang biasa saja mengingat dia tidak mempunyai perasaan terhadap Trey? Helena menggeleng, menampik hal-hal bodoh yang berkeliaran.
Hampir lima belas menit Trey belum tiba dan Helena mulai bosan. Kepalanya celingak-celinguk mencari Trey, tetapi lelaki itu tetap tidak kelihatan. Andaikan saja dia punya teman mengobrol, mungkin tidak bakal sebosan ini.
"Kamu sendiri? Aku boleh gabung?"
Helena refleks mendongak. "Ah, silakan."
"Kalau begitu, terima kasih." Lelaki itu duduk di kursi sebelah Helena. "Di pesta sebesar ini kalau kita sendirian rasanya mengerikan juga, ya? Bosan. Tidak ada teman mengobrol."
Helena hanya mengangguk.
"Nama aku Neel." Lelaki itu menyebutkan namanya. "Kamu?"
"Aku Helena."
"By the way, pertanyaan aku yang paling awal belum kamu jawab."
"Oh?"
"Kamu sendirian?" tanya Neel lagi. Berbeda dengan Trey, Neel punya bentuk muka yang lebih lembut. Sorot dan garis bibirnya terlihat ramah—kurang lebih seperti Matt.
"Nggak, aku sama..." Meski agak asing di lidah, tetapi Helena harus mengucapkannya, "...pacarku, tapi dia lagi pergi bentar."
"Dia rela pergi meninggalkan kamu di pesta sebesar ini? Wah, aku heran."
Helena hanya mengedikkan bahu, bingung harus jawab apa. Dia juga tidak tahu alasan kenapa Trey pergi lebih dari lima menit padahal cuma ambil minum. Tiba-tiba alunan musik mulai berubah. Lebih pelan dan romantis. Para tamu juga mulai beranjak ke lantai dansa. Helena menoleh ke samping pada Neel yang kebetulan menatapnya.
"Semisal aku mengajak kamu ke sana, kamu atau pacar kamu bakal marah?"
"Ke mana?"
"Lantai dansa, karena ini waktunya."
"Aku—"
"Please, mau ya?" Begitu Helena menyetujui, ekspresi Neel langsung gembira. Mereka bergegas menuju lantai dansa. Ketika sampai di sana, tidak ada pegangan dari Neel, dan Helena merasa ini lebih baik. "Hampir seluruh tamu yang datang ke sini membawa pasangannya. Dan kayaknya cuma aku yang sendirian."
Helena tersenyum tipis. "Aku?"
"Kan, kamu membawa pacar. Aku tidak."
Saat sedang celingukan, Helena terkejut dengan pemandangan di depannya. Sebenarnya, dia hanya bisa melihat punggung lelaki itu, tetapi Helena mengenalinya kalau itu Trey. Dan kini Trey terlihat sedang berdansa dengan Eleanor dengan hangat dan mesra. Sialan! Mengapa bisa? Helena langsung lemas, pikirannya teringat adegan dansa dia dengan Trey saat hujan waktu itu—yang kini membuatnya sedih.
"Helena, apa laki-laki itu pacar kamu?"
"Ah...." Helena baru sadar bahwa di sebelahnya masih ada Neel. "Iya...."
"Oke, benar, lalu lakukan balik hal itu padaku." Neel tiba-tiba menarik pinggang Helena mendekat. "Jangan tunjukkan kesedihan di dalam pesta. Senyum, Helena. Rileks. Kita harus berdansa dengan baik."
"Neel, sori harus bilang gini, tapi ini terlalu dekat."
"I know and it doesn't matter." Neel tetap menggiring Helena, berdansa. "Pacar kamu saja berani berdansa dengan perempuan lain, masa kamu tidak? Lihat aku, jangan ke mereka. Nanti rasa sedih kamu tidak hilang-hilang."
Helena baru sadar kalau mata Neel tidak sepenuhnya hitam, seperti agak keabu-abuan. "Aku ... nggak mau mikirin itu."
"Dan itu jawaban paling bagus."
Beberapa saat mereka saling terhanyut. Saling berdansa diiringi lagu-lagu romantis. Helena membiarkan kecanggungan mereka terbang. Neel mampu menghidupkan suasana dengan obrolan ringan. Helena mendapati Neel melirik ke samping ketika gemuruh tepuk tangan mengudara. Ketika ingin ikut melihat, Neel langsung menahannya. "Don't."
"Neel...."
"Jangan, ya? Atau kita pergi saja dari sini?"
"Apa sih?" Karena penasaran, Helena mendorong Neel—dan kini tubuhnya serasa bukan lagi lemas, tetapi berserakan.
Di sana, Trey tengah berciuman dengan Eleanor.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top