Bab 39

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

A/n: Gais bab ini isinya terpanjang selama aku nulis Break the Rules! 3000+ words! Jadi, ayo tetap ramaikan kolom vote dan komennya ya, biar aku bisa update rutin terus sampai ending😆🙏❤✨🦋🔥

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

SETELAH MENEKAN bel di depannya dua kali, Trey bersedekap. Bibirnya tidak berhenti tersenyum karena hari ini dia sedang gembira. Bagaimana tidak? Trey sudah punya janji dengan Helena, rencananya mereka akan pergi mengunjungi kediaman Kakek dan Nenek Helena yang berada di Bogor.

Trey senang begitu menyadari Helena yang sudah tidak bersikap canggung padanya. Helena juga bahkan tidak ragu berkeluh kesah mengenai kerinduan pada kakek neneknya, seakan hanya Trey yang pantas menjadi telinga pertama untuk mendengar keresahan itu.

Pintu masih belum terbuka. Trey menduga di rumah ini hanya ada Helena, lalu perempuan itu masih sibuk mandi atau apa. Tidak apa-apa. Trey rela menunggu—meski lama—asal dia bisa bepergian dengan Helena hari ini. Lagipula, ini juga salahnya yang datang satu jam lebih awal dari kesepakatan.

"Tampilan aku sekarang fine-fine saja, kan?" Seakan ragu dengan hal itu, Trey memandangi dirinya dari dada ke bawah. Hari ini dia mengenakan style yang lebih kasual. Tidak ada jas dan kemeja, melainkan kaus polos yang dipadukan dengan jaket motor. Sementara celananya, dia memilih denim jeans yang terlihat match dengan snikersnya. "Oke, not bad. Tidak salah aku menuruti saran Alonzo."

Mendengar deritan pintu terbuka, Trey mendongak lalu dia mengurungkan niatan untuk maju karena si pembuka pintu bukanlah Helena. Melainkan Leon. Remaja itu menatapnya remeh dengan punggung bersandar di pintu. "Ngapain Om ke sini? Mau nyari bantuan sembako?"

"Hai." Mengabaikan kalimat sindiran tadi, Trey menyapa Leon. "Kakakmu ada di dalam? Dia sedang apa, ya?"

"Bang Jason?"

"Bukan. Helena."

Bukannya menjawab, Leon langsung melempar tatapan menyelidik pada Trey. "Ngapain Om nyariin dia?"

"Kami punya urusan."

"Berdua doang? Mencurigakan."

"Tiga sama motor."

Leon langsung melihat motor Trey sebelum mendesah kasar. "Pasti urusannya nggak penting banget, kan? Nggak ada. Nggak ada pergi-pergian. Aku nggak ngizinin." Dia langsung membalikkan badan, berniat menutup pintu, tetapi Trey lebih dulu menahan dengan satu kakinya kemudian mendorong hingga terbuka sebelah. "Astaga, ngapain batu banget? Om pulang sana! Aku juga punya urusan sama Kak Helena!"

"Leon, aku tidak berani menjanjikan banyak hal ke kamu, tapi yang pasti aku bakal bawa Helena hati-hati dan kami pulang dengan selamat."

"Itu harus!" Leon terdiam beberapa saat, dan satu ide terlintas di kepalanya. Dia bukan laki-laki jahat, bukan juga tipe yang suka morotin orang, tetapi—sungguh, boleh kan dia melakukan hal itu sekarang? Bukan jahatnya, tetapi morotin. Oke, bukan morotin. Anggap saja ini bentuk meminta uang tambahan kepada pacar kakaknya. Eh, tapi emangnya mereka udah pacaran? Bodo amat deh. "Kalau kamu mau Kak Helena, ada yang harus kamu kasiin ke aku, Om."

"Dan itu apa? Bilang saja, Leon."

"Aku mau fulus." Mengerti maksud Leon, Trey sontak merogoh saku belakang celananya, mencari dompet. Setelah ketemu dia menyerahkan dua lembar seratus ribuan. "Cuma dua ratus? Yaelah, Om, ini sama aja kayak uang saku sekolahku tiap hari. Malah kurang mapuluh ribu!"

"Memangnya berapa yang kamu mau, Leon?"

"Yang wajar dong. Masa berkorban sedikit aja nggak mau? Memberi itu tindakan positif. Bisa nambah pahala. Biar makmur juga hidup kamu, Om."

Karena tidak ingin berdebat lebih lama, Trey mengambil tiga lembar lagi hingga totalnya ada lima ratus ribu di tangan. Leon yang sedari tadi menatap uangnya masih saja memberi pandangan remeh. "Hah, segitu masih kurang. Tambahin lima ratus ribu lagi, baru aku panggilin Kak Helena-nya."

Melihat Trey diam saja, Leon berdecak. "Kenapa? Kamu nggak sanggup? Pulang aja sana, jangan ajak Kak Helena keluar. Kamu kere!"

"Kalau begitu aku minta norek kamu."

"Ngapain? Yang cash aja dong."

"Sudah tidak ada lagi. Aku tidak biasa menyimpan uang cash banyak," balas Trey sambil menunjukkan dompetnya yang sudah kosong. "Makanya, aku minta norek kamu buat transfer sisanya. Nanti aku tambahin sejuta deh. Gimana?"

"Kok nggak bilang dari tadi, Om?" Muka masam Leon berubah sumringah. Dia langsung menyebutkan nomor ponselnya pada Trey biar nanti Trey mengirimkannya pesan dulu kemudian barulah dia mengirimkan nomor rekeningnya. Soalnya, Leon tidak hapal. "Kalau gitu tunggu di sini, aku bakal panggilin. Dan soal sisanya, jangan lupa ditransfer, lho, Om! Awas aja kalau nggak, aku do'ain kelingking kakinya nenggor bawahan meja!"

"Iya, Leon, pasti aku transferin. Yang penting panggil dulu Helena-nya," kata Trey. Leon mengangguk, lalu membalikkan badannya. Namun, baru saja memasuki pintu, remaja itu sudah menghadapnya lagi sehingga Trey menaikkan alisnya. "Kenapa lagi, Leon?"

"Itu, Om, kandangnya kebuka." Leon menunjuk bagian resleting Trey. "Awas, nanti bantengnya tiba-tiba nyeruduk."

Mendengar itu, Trey sontak meraba bagian tengah celananya, tetapi tidak ada apa-apa. Sialan! Leon menjahilinya?

Leon sontak tertawa. "Tapi bohong!"

***

Helena teringat kunjungan terakhirnya ke rumah kakek neneknya di bulan lalu. Dia selalu suka sambutan yang diberikan neneknya setiap berkunjung, ada beragam buah seperti: stroberi, apel, jeruk, anggur yang dipotong kecil-kecil lalu diberi kuah susu UHT dengan taburan kacang almond dan juga keju.

"Nah, yang itu rumahnya." Helena menyaksikan rumput hias di pelataran makin terjaga dan kini bertambah banyak tanaman yang terlihat semakin menghijaukan tempat. Begitu motor Trey berhenti, Helena langsung turun sembari memerhatikan Trey yang sedang melepaskan helm-nya. "Rambut kamu udah acak-acakan."

"Oh?"

Helena maju selangkah, beruntungnya Trey tidak menjauhkan diri. "Mom pernah cerita ke aku, dulu pas dia pengin benerin rambut Dad, motor Dad hampir terjungkal."

"Kok bisa?"

"Pas muda, Dad itu orangnya sok cool. Dad nolak perempuan yang berusaha mendekatinya. Kayak, Dad tuh nggak mau terlibat apa pun sama perempuan yang dirasa emang orang asing gitu." Tangan Helena berpindah ke atas kepala Trey. "Kenapa banyak perempuan yang bilang laki-laki lebih keren kalau rambutnya berantakan? Padahal buat aku, laki-laki rapi itu lebih berkesan."

Trey menikmati cara Helena yang kini membenahi rambutnya. Tanpa sadar, dia tersenyum. "Nah, kalau begini, kan, enak dilihat."

Lalu, mereka pergi dan Helena yang memimpin jalan. Setelah sampai di depan pintu, Helena mengetuknya beberapa kali dan Riko, kakeknya, yang membukakan pintu. Walau kumis dan sebagian rambutnya sudah berwarna putih, wajah kakeknya masih terlihat tampan. Badannya juga tegap, meski perutnya terlihat agak membuncit. Riko maju kemudian memeluk Helena. "Kamu nggak ada bilang mau ke sini?"

"Sengaja, Kek, biar kejutan." Helena melepas pelukan lalu menyalami tangan kakeknya. "Gimana kabar Kakek? Baik-baik aja, kan?"

"Siapa dia?" tanya Riko, alih-alih menjawab pertanyaan Helena. Dia memandangi Trey yang kini maju untuk ikut menyalami tangannya. "Siapa nama kamu? Dan kamu siapanya cucuku sampai kalian pergi bersama gini? Pacarnya?"

"Bu—bukan, Kek!" Helena menggeleng cepat, membuat Riko tertawa. "Dia Trey, temannya Kak Alonzo, dan kami bisa pergi barengan gini karena kami saling kenal gitu." Sementara kakeknya hanya manggut-manggut dengan tatapan menyelidik pada Trey, lalu beliau menggiring keduanya masuk. Begitu sampai sana, Helena bertemu neneknya, Ratih, yang gembira dan memeluknya erat.

"Jangan tersenyum terlalu lebar. Mereka emang biasa begitu," bisik Riko tiba-tiba ketika melihat Trey tersenyum yang bisa saja merobek wajahnya.

"Ah? Ya, ya. Aku hanya takjub melihat keakraban mereka."

"Kenapa kamu lama banget nggak main ke sini? Nenek kanget banget tau. Terakhir kali Daddy kamu ke sini, kamu nggak ikut, katanya lagi sakit. Emang bener?"

"Hehe, iya, Nek. Waktu itu badanku emang lagi meriang. Hawanya mau tidur terus."

"Ya ampun, untungnya sekarang kamu udah sembuh, ya." Ratih mengambil wajah Helena, mengusap rambutnya. "Berhubung kamu udah di sini, kamu mau salad buatan nenek?"

"Ih, mau banget! Aku udah kangen berat sama rasanya! Masih banyak, kan, buahnya?"

"Hampir tiap hari dia beli buah. Belum lagi sekarang dia lagi suka menanam pepaya," sahut Riko. "Pasti masih banyak stok buah di sini, Helena."

"Wooo, aku suka nanem pepaya gini, kan, buat stok buah kita juga," balas Ratih tidak mau kalah. Menyadari ada sosok lain, dan itu laki-laki, buat dia langsung tersenyum. Ratih menoleh ke Helena dengan usil. "Hayo, itu laki-laki siapanya kamu?"

Helena menyipitkan mata. "Nek...."

"Halo, aku Trey." Trey tersenyum sembari menyalami tangan Ratih yang lebih halus dari Riko. "Senang bertemu Anda."

"Kamu besar dan tinggi banget, ya. Bongsor. Bikin aku inget sama cucuku yang lain; Alonzo."

"Mereka emang temen deket, Nek," balas Helena. "Bahas soal Kak Alonzo, aku jadi inget si Alaric. Dia pasti lebih suka ada di sini."

Ratih mempersilakan duduk. "Minggu kemarin mereka juga datang."

"Mereka?"

"Sepaket lengkap. Hugie, Alena, Alonzo, Alaric. Tuh lihat." Riko menunjuk kursi di sebelah Utara dekat jendela. "Kursi pijat. Katanya biar lebih rileks dan otot punggung nggak tegang gitu."

"Tunggu sebentar, akan kubuatkan salad untuk kalian," kata Ratih.

Helena beranjak berdiri. "Nek, biar aku bantu, ya?" Lalu mengekori saat Ratih memberinya persetujuan.

Kini hanya tersisa Trey dan Riko yang saling diam, selayaknya belum dapat tema perbincangan yang pas. Suasana terlampau hening, sampai-sampai untuk menggerakkan sepatu saja Trey tidak berani. Merasa tidak kuat, akhirnya Trey memutuskan berdeham. Dia harus membuka pembicaraan daripada begini terus.

"Anda suka bercocok tanam, Pak?"

"Hmmm." Riko menurunkan sedikit kacamatanya. "Maksud kamu dengan menggarap lahan menggunakan pot atau vertikultur sampai menghabiskan panen? Nggak begitu sering. Aku cuma merawat pekarangan biar bisa hijau di masa-masa tua begini. Ya ... paling nggak itu lebih baik daripada cuma diam merenungi umur yang terus menua, kan?"

"Jujur, aku iri melihat kalian. Kalian pasangan yang sangat romantis, bisa saling menyayangi sampai tua begini." Trey mendapat tawa kecil dari Riko.

"Aku cuma bersikap yang semestinya, karena buatku jatuh cinta yang sebenarnya dan menikah itu cuma sekali seumur hidup. Dan aku mendapatkannya pada Ratih," terang Riko, dia mengambil kotak rokok dari meja lalu menyodorkannya di depan Trey. "Kalau kamu mau, kamu bisa ambil satu batang atau lebih. Bebas."

"Terima kasih untuk tawarannya, tapi tidak usah." Trey menggeleng. "Aku masih berusaha."

"Maksud kamu?" Berbanding dengan nada Riko yang serius, Trey sempat menyaksikan bibir lelaki lanjut usia itu tersenyum miring dengan sangat tipis.

"Untuk menjauhi rokok. Demi tubuhku sendiri atau dia." Tidak perlu menunjuk, Riko tahu siapa yang dimaksudkan oleh Trey.

"Pilihan yang baik. Aku suka jawaban kamu." Tanpa diduga, Riko memasukkan rokok itu ke mulutnya dan mengunyahnya. Trey sontak melebarkan mata. Apa-apaan tadi? "Hei, kamu ngiranya ini rokok beneran? Ini cuma permen kenyal yang bentuknya mirip rokok."

Sembari bersedekap, Riko melanjutkan, "Kamu tahu gimana tradisi keluarga kami? Kami menjauhi rokok, minuman beralkohol, seks bebas, dan segala hal yang cuma kasih efek jelek ke diri sendiri. Kami lebih mementingkan kebaikan diri sendiri. Dan, aku tahu seperti apa kamu ini."

"Ya?"

"Kamu nggak jauh beda dengan Alonzo, kan?" Pertanyaan Riko buat Trey mati kutu. "Haha. Santai. Di sini tidak bakal ada drama aku bakal menentang kedekatan kamu dan cucuku atau gimana, karena itu bukan ranahku sama sekali. Dave yang lebih berhak. Tapi, pesanku cuma satu, kalau kamu memang ingin mendekati Helena, bisa nggak bisa kamu harus menjaga sikap. Kamu jangan pernah menyamakan gaya hidup kamu dengan Helena, karena udah jelas beda. Ngerti?"

Tanpa diberitahu Riko, Trey jelas tahu hal itu yang harus dilakukannya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi selama Helena sudah membuka ruang untuknya. Dia mengangguk mantap. "Aku bakal melakukannya, Pak."

"Lawan kamu bukan lagi aku," kata Riko, "tapi Dave. Dia tipe Ayah yang sangat menjaga anaknya. Dan kalau boleh aku kasih tahu, jalan kamu pasti sulit. Mengingat, ya, tadi. Beberapa perbedaan antara kamu dan Helena."

"Nah, nah, kayaknya obrolan kalian seru banget. Tapi, tahan dulu. Tahan. Salad buahnya udah jadi nih. Mending makan ini dulu."

Kedatangan Ratih membuat Trey menutup mulutnya, dia hanya memberi anggukan kecil kepada Riko ketika mereka bertatapan. Lalu Helena memberinya satu mangkuk salad buah yang terlihat menggiurkan. "Wah, ini kelihatannya enak."

"Pasti dong!" Helena duduk di sebelah Trey. "Tadi kamu habis ngobrolin apa sama Kakek?"

Trey terkekeh kecil. "Perempuan dilarang kepo soal obrolan laki-laki."

***

Ketika Trey menjatuhkan opsi kendaraannya pada motor, dia lupa bahwa hujan bisa datang kapan saja. Dan sekarang kejadian. Awalnya hujan turun cuma rintik-rintik, tetapi lama kelamaan membesar hingga dia memutuskan untuk menepi. Kalau kondisinya dia cuma berkendara sendiri tidak jadi masalah, tetapi Helena sedang bersamanya jadi untuk menerobos hujan jelas tidak mungkin.

Tidak butuh waktu lama untuk Trey menemukan tempat menepi, dia memarkirkan motornya di pelataran ruko yang hanya dihiasi lampu putih bercahaya sedang. Ada empat ruko saling berjejeran dengan rolling door yang telah ditutup. Mereka sama-sama membuka helm. Setelah Helena turun, Trey ikut turun dan langsung membuka jaketnya.

"Lebih baik kamu pakai jaket ini," kata Trey yang buat Helena menoleh. "Sekarang hujan dan anginnya juga besar. Kamu bisa kedinginan."

"Hah? Nggak usah. Pakaian aku tebel, yang ada kamu yang bakal kedinginan. Tuh, kamu cuma pakai kaus."

"Aku punya kulit seperti badak, jadi tidak mungkin bakal kedinginan." Menyadari bakal ada penolakan yang lain, Trey segera mengenakan jaketnya pada Helena. "Selain itu aku tidak mau kamu sakit setelah perjalanan ini. Aku sudah berjanji pada Leon buat memulangkan kamu dalam kondisi baik-baik."

"Kalian sebelumnya ngobrol?"

"Iya."

"Ngobrolin apa? Eh, tapi si Leon nggak ngomong yang aneh-aneh kan?"

"Sebenarnya, aku tidak mengerti maksud kata aneh-aneh kamu, tapi kayaknya tidak." Trey memberi tepukan kecil di bahu Helena. "Dan, maaf sudah buat kamu kehujanan begini."

"No, aku yang harusnya minta maaf ke kamu," kata Helena. "Aku udah minta buat bepergian jauh, terus kehujanan gini."

"Come on, it's still my bad. Aku harusnya lebih peka kalau langit malam ini akan menurunkan hujan. Kenapa tidak pakai mobil saja."

"Permisi, kakak-kakak." Suara dari belakang menginterupsi mereka. Ada seorang pengamen laki-laki berkisar tiga puluhan akhir yang membawa gitar. "Izinin saya buat mengamen di sini, ya."

Begitu terdengar petikan gitar dari lelaki pengamen, Trey mengangkat satu telapak tangannya. Dia mengenali melodi ini. "Frank Sinatra?"

"Iya, Mas, betul." Pengamen itu mengangguk. "Fly me to the moon."

"Tunggu." Trey merogoh saku belakangnya, mengeluarkan dompet untuk mengambil tiga lembar seratus ribu. Iya, sudah ada. Sewaktu menunggu Helena siap tadi, Trey sempat ke ATM terdekat buat ambil uang dulu biar dompetnya tidak kosong banget. "Ambilah, dengan syarat kamu harus menyanyikan lagu itu sampai selesai diiringi petikan gitar kamu."

"Kak, tapi ini kebanyakan."

"Bernyanyi termasuk pekerjaan seni, dan seni harus dihargai dengan tinggi." Saking kesalnya karena si pengamen tidak langsung menerima, Trey menaruhnya sendiri di telapak tangan pengamen itu. "Nyanyikan sekarang. Jangan buat aku kecewa."

"Kamu suka lagu ini?" tanya Helena.

"Iya, aku suka lagu ini. Ah bukan, tapi aku suka semua lagu Frank Sinatra. Mereka manis dan ultra earworm." Trey memberikan jentikan sebagai kode, sehingga pengamen itu mulai memainkan gitarnya. Dan saat itu juga, dia menarik pinggang Helena merapat.

"Hei!"

"Jangan lewati ini, kita harus berdansa."

Menyaksikan ekspresi penuh harap dari Trey, akhirnya Helena memegang bahu Trey. "Tapi, aku nggak terlalu bisa."

"Santai saja."

"Fly me to the moon, let me play among the stars. Let me see what spring is like on a Jupiter and Mars." Pengamen itu mulai bernyanyi. "In other words, hold my hand...."

Lalu, Trey membawa tubuh Helena dengan konstan, ke kanan, ke kiri. Masih tidak luput dari senyum khasnya.

"In other words, baby, kiss me...."

"Trey, aku suka suara beliau," kata Helena. "Bagus banget."

Trey mengangguk. "Aku setuju."

"Fill my heart with song and let me sing for ever more. You are all I long for. All I worship and adore...."

"Helena?"

"Iya?"

"Mau ikut denganku pergi ke Bulan?"

"Hah? Ngapain? Kamu mau berburu Alien?" Helena berpasrah saat Trey membuat gerakan memutar di tubuhnya.

"Mungkin, berduaan lalu kita mengobrol banyak hal di sana?"

"Kok, mungkin?"

"Karena aku tahu kamu belum tentu menyetujuinya."

"Kalau aku bilang nggak mau?"

"Aku bakal sedih," kata Trey sembari cemberut.

"Lebay." Helena tertawa kecil. "Kenapa nggak coba maksa aku biar setuju?"

"Kata kamu, aku harus belajar buat menerima keputusan orang lain."

"Kenapa?"

Trey mengernyit. "Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu ajak aku ke Bulan?"

"Kelihatannya di Bulan lebih seru."

"Oh ya?"

"Iya, karena Bumi terlalu sibuk," balas Trey, masih memandu langkah mereka secara hangat. "Bumi juga penuh. Bumi diisi banyak orang jahat, dan mereka yang hobinya gantungin perasaan orang."

"Hei, aku nggak gantungin perasaan kamu."

"Aku tidak bilang bahwa itu kamu."

"Kamu nggak masalah kalau sekarang-sekarang aku begini terus?"

"Helena, sudah aku bilang, kan, aku tidak akan memaksa perasaan kamu?" Trey tersenyum. "Aku tidak masalah harus menunggu selama apa pun, asalkan itu soal kamu. Je t'aime."

"Itu yang terakhir, apa artinya?"

"Aku cinta kamu."

Helena tanpa sadar sudah menaruh kedua lengannya di leher Trey. Dia merasa selama ini dirinya sudah kalah. Setiap ada kesempatan untuk balik ke jalan menghindari Trey, sebagian dari dirinya berteriak untuk menolak kesempatan itu. Dia tidak bisa bersikap begitu terus-menerus.

Trey mungkin jahat dan kontrol emosinya jelek, tetapi tetap saja Trey punya hak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Dan Helena sudah melihat perubahan Trey yang lebih baik. Trey tidak lagi mudah emosi, terkadang di beberapa kesempatan dia juga mengalah.

Mungkin, sekarang adalah waktunya untuk Helena mengizinkan Trey di dekatnya lagi. Karena Helena menginginkan hal ini. Helena tetap menginginkan Trey.

"In other words, hold my hand...."

"In other words, baby, kiss me...."

Lalu, Helena maju, mencium Trey lebih dulu. Dia tahu bahwa tindakannya bisa saja menjadi kesalahan, tetapi Helena tidak mau memikirkan soal itu. Sementara Trey terdiam, badannya membeku, dan ketika menarik diri, dia terengah. Trey terlalu linglung untuk membalas ciuman Helena. "Helena, tadi...."

Helena hanya mengangguk lemah.

"Pak, tolong balik badan dan jangan nengok ke belakang sebelum aku perintahkan!" Trey langsung mengambil wajah Helena dan mengajaknya kembali berciuman. Napas mereka melebur. Rasa mereka menyatu. Kehangatan keduanya saling memeluk. Trey mendominasi keadaan, dia mencium Helena dengan lembut, tetapi sungguh-sungguh. Dan setiap sentuhan yang diberikan Trey rasanya buat Helena melayang. Ketika Trey menarik diri, napas Helena tersengal. Dia terlalu malu untuk menatap Trey, sayangnya lelaki itu menarik dagunya agar bertatapan. "Aku tidak tahu apa alasan yang buat kamu melakukan hal tadi, tapi sumpah ini rasanya seperti mimpi. Aku kaget banget, tapi senang juga."

Tidak ada kata yang keluar dari Helena, dia cuma tersenyum.

"Dan, Helena, kamu sudah melanggar tiga larangannya. Kamu meminta pertolonganku karena Mike, kamu juga memelukku saat di danau, dan sekarang, kamu menciumku lebih dulu." Menyadari akan ada pertanyaan dari Helena, Trey melanjutkan, "Iya, bagaimanapun keadaan kita sebelumnya, kesepakatan menghindari tiga larangan itu tetap berlaku. Lalu, sesuai kesepakatan, ketika kamu sudah kalah duluan, maka jadilah pacarku. Jadi, Helena, will you be my girlfriend?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top