Bab 36
Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.
Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛
A/n: Hai, maaf banget setelah sekian lama baru bisa update naskah Break the Rules lagi. Tahun 2021 bisa dibilang tahunnya mood nulis aku suka berantakan. Aku kadang suka kesulitan nulis, dan sekalinya lancar cuma di satu naskah aja, naskah lain ujungnya kayak nggak keurus. Gatau kenapa😅 doakan teman2 semoga tahun ini mood nulisku bagus, jadi aku bisa kembali produktif nulis di Wattpad! Hehehe🤓🙌🌷🦋💓
Oh yaaa jangan lupa buat ramaikan cerita ini dengan komen2 kalian yaaa. Aku butuh bantuan kalian biar cerita ini lebih hidup sekaligus ngasih aku suntikan semangat🤩❤🔥
Daan, izinin aku buat promosi juga🙈
Naskahnya bisa kamu temuin di work wattpad aku paling depan yaa! 🦋🦋
Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.
Selamat baca!
*****
SEPERTI ADA orang lain di dalam dirinya yang memperingati, Helena langsung memalingkan wajah. Dia tidak boleh terbuai dengan mudah oleh perkataan Trey. "Berapa banyak?"
"Helena," Ekspresi kebingungan tergambar jelas di wajah Trey. "Apa maksud kamu?"
"Itu, pernyataan cinta kamu. Kamu udah ngomong gitu buat berapa perempuan?" Helena tahu kalau kalimatnya terkesan memojokkan banget, tetapi dia rasa ini tindakan yang benar mengingat bagaimana reputasi seorang Trey selama ini. Anggaplah ini cara Helena melindungi dirinya sendiri. "Nggak mungkin cuma aku, kan?"
Trey mendadak terdiam, garis bibirnya terlihat mengeras. Namun, tidak ada umpatan di sana, yang ada hanyalah tarikan napas berat. "Tidak ada perempuan lain. Cuma kamu. Kamu perempuan pertama yang berhasil buat aku kayak begini."
"Bohong."
"Helena...."
"Kamu kira aku segampang itu buat masuk ke permainan kamu? Setop menyepelekan aku!" seru Helena. "Kamu kira aku lupa gitu aja sama kejadian waktu di kedai kue? Kamu bareng Eleanor, kedekatan kalian juga nggak bisa dibilang cuma teman. Apalagi di kantor kamu, dia cium pipi kamu gitu aja seolah itu hal yang biasa kalian lakukan. Terus kamu masih bisa mengharapkan Eleanor bukan siapa-siapanya kamu, jadi kamu bisa sebebas itu buat nyatain perasaan ke aku? Trey, soal perasaan nggak sebercanda itu!"
"Sebentar, Helena, omongan kamu terlalu jauh. Kamu salah paham." Gelagat Trey terlihat gelisah. Pelipis dan dahinya sudah dipenuhi keringat. Dia ingin menyentuh Helena, menjelaskannya dari mata ke mata biar lebih jelas, tetapi tidak bisa. Helena masih membencinya dan tetap memasang jarak. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Eleanor."
"Kan, makin kelihatan kalau gaya hidup kamu jelas beda banget sama aku."
"Kenapa kamu seakan-akan terus mendorong aku buat menjauh?" tanya Trey. "Oke, aku sadar aku masih bersalah di sini jadi kamu masih enggan terlibat apa pun dengan aku. Tapi, apa harus sampai ke perasaan aku juga? Helena, di sini aku cuma mau jujur ke kamu bahwa aku sudah jatuh cinta ke kamu. Biar kamu tahu juga. Sungguh, hanya itu. Aku tidak mengharapkan kamu bisa mencintai aku balik atau bagaimana. Ya, meski sejujurnya kalau itu terjadi aku pasti senang bukan main. Tapi, aku sadar kalau soal perasaan memang tidak bisa dipaksa."
Kali ini Helena tidak bisa menjawabnya. Ucapan Trey benar. Tidak ada yang salah untuk mencintai seseorang. Semua orang berhak, termasuk Trey. Helena juga tidak bisa memaksa Trey untuk tidak mencintainya. Namanya juga cinta; muncul tanpa diminta dan kadang berlabuh pada orang yang tidak diduga.
"Misal perasaan aku cuma bikin beban baru di kepala kamu, kamu bisa lupakan saja." Perkataan Trey tanpa sadar buat Helena mencengkeram rok sekolahnya. "Yang penting kamu sudah tahu."
"Oke," balas Helena. "Bisa jalankan mobil ini lagi? Aku mau pulang."
"Ya, ya," kata Trey cepat bersama anggukannya. "Dan, Helena, confess aku tadi serius dari hati."
Helena menghela napas. "Bisa nggak jangan bahas itu terus?"
"A—apa? Kenapa?" Tenggorokan Trey mendadak tercekat. Namun, dia tetap mengangguk meski gerakannya lemah sekali. "Baik, aku tidak akan membahasnya lagi. Sori. Lalu, kamu mau makan dulu? Kita bisa cari rumah makan terdekat."
"Nggak perlu, aku masih kenyang."
"Atau, coffee shop saja, mau?" Tawaran Trey masih berlanjut. "Kamu masih suka kopi, kan?"
"Cuma pulang. Plis."
Keputusan Helena sudah bulat, dia hanya ingin pulang. Beruntungnya, Trey tidak menawarkan tempat apa pun lagi dan mulai menjalankan mobilnya. Selama perjalanan, tidak ada obrolan. Mereka serempak menutup mulut dan membiarkan hujan menjadi suara di tengah-tengah keduanya. Helena yang sedang malas bicara, sementara Trey yang berusaha menahan diri agar tidak melempar pertanyaan lain dan malah membuat mood Helena jadi jelek.
Oh, Tuhan, kapan situasi canggung ini berakhir?
***
Setelah menempuh perjalanan, mobil Trey sudah sampai tujuan. Kini mulai memasuki pelataran rumah Helena. "Rumah kamu kelihatan sepi banget."
"Iya," kata Helena. "Dad lagi ada kerjaan di luar kota. Bang Jas masih main. Kalau si Leon paling masih pergi bareng Mommy aku."
Menyadari Helena yang rela menjelaskan tanpa diminta entah kenapa buat Trey senang. Dia berusaha menahan senyum, tetapi tidak bisa. Alhasil, Trey berdeham berulang kali lalu bertanya, "Terus kamunya bawa kunci cadangan?"
"Bawa." Helena memamerkan kunci itu di depan Trey. "Cukup sampai sini aja. Makasih buat tumpangannya."
"Sebentar, ini masih hujan."
"Ya terus? Gerimis gini nggak bikin aku langsung sakit kali."
Begitu melihat Helena berniat keluar, Trey menahan lengannya. "Tunggu dulu, Helena."
"Kenapa lagi?" Helena gagal menahan nada jengahnya.
"Apa ... aku boleh numpang makan?" tanya Trey ragu. Asli, ini hal yang baru buatnya karena selama ini Trey selalu bicara penuh keyakinan. "Dan aku tipe yang bisa makan apa saja."
Helena memicingkan matanya. "Kenapa harus di rumah aku?"
"Ini yang terdekat."
"Kamu bisa langsung pergi terus cari rumah makan di jalanan. Beres."
Trey menggeleng. "Sudah tidak keburu, Helena."
"Hah! Udahlah! Pergi sana!" tolak Helena. "Makan di tempat lain aja!"
"Tidak mau."
"Trey...."
"Plis, Helena." Trey buru-buru melepas sabuk pengaman, kemudian menyatukan kedua tangannya—pose memohon. "Aku cuma mau masakan kamu."
"Sejak kapan kalau aku masak?"
"Sewaktu malam aku ketiduran di rumah kamu?"
"Ya ampun, itu cuma mi instan." Helena mendesah berat, berusaha sabar. "Kamu juga makannya pas paginya. Nggak tahu deh rasanya bakal seaneh apa."
"Tidak ada yang aneh, kok. Malah enak. Dan buatku itu—"
Helena memotong kalimat Trey sembari memandangi tanamannya yang basah. "Tapi, kamu pernah membuangnya secara cuma-cuma."
Trey ingat kejadian itu dan seketika rasa penyesalan datang menghampirinya. Wajahnya kehilangan ekspresi, bibirnya bergerak kikuk dengan tertunduk. "Maaf banget buat itu."
"Oke."
"Hah, syukurlah."
"Ayo."
Trey langsung menatap Helena. "Apa?"
"Kamu boleh makan di rumah aku." Helena memberi jawaban seperti ini karena tidak ingin ada permohonan lebih banyak dari Trey. Lebih baik dia mengalah. "Nanti kamu di ruang televisi aja selagi nunggu aku."
Dan Trey sudah kembali tersenyum lebar.
***
Dengan berkacak pinggang, Trey memandangi jejak sepatu Helena yang terlihat jelas karena lantainya putih. Perempuan itu sudah melesat di kamar—entah sibuk karena apa—dan Trey yang ada di sini mau tidak mau mengurus kekacauannya. Anggap saja sebagai balas budi karena Helena sudah mau memberinya makan.
Dengan itu, Trey mulai membuka kancing lengan kemejanya, menyingsingnya sampai siku. Berlanjut melepas dasi yang dilemparkannya ke sofa. Lalu dia menuju gudang untuk mencari ember serta alat pel-pelan.
Gudang ini tidak bisa disebut sepenuhnya gudang karena jauh dari kata pengap dan berantakan. Barang-barang yang tidak terpakai berjejer rapi. Tidak ada noda debu di sana. Dan ada satu barang yang menarik perhatian Trey, sebuah kotak musik kayu yang tergeletak di antara tumpukan buku. Trey mengambilnya setelah mengamati dari segala sisi.
Kotak musik ini masih bagus. Tidak ada lecet dan kerusakan. Hanya saja warna penutupnya agak pudar dan beberapa karat yang menghiasi tuas besi di sana. Trey pun memutar bagian tuasnya, yang membuat serangkaian pin pada cakramnya mulai berputar dan menghasilkan suara ketika gigi-gigi dari suatu sisir besi bertemu. Terdengar alunan musik khas era 19-an, melodinya lembut dan menenangkan telinga.
Merasa terlalu lama, Trey segera menaruh kotak musik itu, beralih mengambil ember hijau di pojok sana dan alat pelnya. Kemudian, dia bergegas menuju wastafel luar untuk mengisi air.
"Ini kenapa hujannya malah berhenti?" Meski begitu, langitnya masih mendung. Trey berdecak. "Hujan aja lagi, yang gede kalau perlu. Biar aku ada alasan buat di sini lebih lama."
Namun, tiba-tiba saja petir datang. Gelegarnya buat Trey terjengit dan dia langsung masuk bersama ember air di tangannya. Setelah ditaruh, Trey balik lagi ke luar untuk mengambil alat pel dan mulai mengepel. Sudah lima belas menit berlalu, jejak Helena di lantai juga sudah hilang. Begitu ingin mengepel sisi yang lain, Trey menemukan Helena yang kini penampilannya lebih santai. Rambutnya tergerai indah.
"Astaga, ngapain dipel segala?" Helena mendekati Trey. "Kan aku udah bilang, kamu cukup duduk aja di ruang tivi. Jangan berbuat apa-apa."
"Sori, Helena, aku tidak bisa diam saja sementara di depan aku ada kotoran."
"Kotoran?" Helena mengernyit. Langkahnya terhenti. "Kotoran gimana?"
"Itu ... bekas sepatu kamu."
"Heh? Jadi sepatu aku bikin kotor?"
Trey mengedikkan bahu tidak acuh. "Ya ... begitulah. Anggap saja aku ngepel gini biar kita impas. Kamu buatin aku mi, dan aku beresin kekacauan kamu."
"O—oke, diterima. Makasih." Entah harus bersyukur atau tidak, tetapi ini buat pekerjaan Helena berkurang. Beruntungnya, di rumah sedang tidak ada siapa-siapa, coba kalau Leon atau Mommy-nya memergoki lantainya kotor, bisa jadi dia disuruh mengepel seluruh ruang televisi yang—yah, cukup melelahkan. Mengingat ukurannya yang tidak kecil. "Ini udah selesai, kan? Biar aku kembaliin alatnya ke gudang. Kamu bisa duduk aja."
Helena menuju Trey, langkahnya kini lebih lebar dan cepat. Dia lupa bahwa lantainya masih basah dan bisa jadi buat dia tergelincir. Lalu, benar saja, ketika di tengah perjalanan, Helena tergelincir. Tubuh bagian belakangnya menghantam lantai. Meski tidak keras, tetap saja ada rasa sakit yang buat Helena meringis.
"Astaga!" Trey tidak memedulikan kalau embernya sudah jatuh dan airnya tumpah ke mana-mana. Dia berjongkok, memegang sisi tubuh Helena lalu mengangkatnya. "Kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Kakinya bisa buat jalan? Tapi, biar aku bantu."
"A—aku nggak pa-pa." Menyadari bahwa tubuhnya masih di dekapan Trey buat dia canggung. "Lagi, makasih buat bantuannya." Helena buru-buru menjauh, tetapi sayangnya sebelah kakinya masih tertahan dengan Trey—yang membuatnya limbung. Trey sontak menangkap Helena sebelum ada kejadian jatuh yang kedua. "Astaga!"
"Hati-hati, Helena. Kamu hampir jatuh dua kali."
Tidak ada jawaban dari Helena. Dia salah fokus terhadap kedekatan mereka sekarang—yang entah kenapa—Helena rindukan. Jujur saja, meski sekarang keadaannya berubah, kehangatan dan aroma Trey selalu buat Helena nyaman. Helena tanpa sadar melirik Trey yang kebetulan tengah menatapnya. Lelaki itu diam, tetapi napasnya sudah berubah lebih memberat—yang menyadarkan Helena untuk memasang jarak demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, pegangan kuat Trey di pinggangnya serupa memberi kode untuk Helena diam di tempat.
"Kenapa sampai sekarang kamu selalu buat aku terpesona, Helena?" Trey mengusap pipi Helena dengan ibu jarinya. "Cuma laki-laki bodoh yang tega menyakiti perempuan secantik kamu."
"Ya, sangat bodoh."
"Dan aku orangnya." Gerakan Trey berhenti. Matanya terlihat meredup karena kesedihan. "Andai keadaan kita tidak seperti ini, dan tetap baik-baik saja, apa kamu bersedia memikirkan sebuah hubungan?"
"Hubungan yang seperti apa?"
"Yang melibatkan perasaan di antara aku dan kamu. Kita."
Saat itu juga, Helena merasa orang lain dalam dirinya mengambil alih kendali tubuhnya. Dia tersadar dan langsung mendorong dada Trey. "Berhenti mengharapkan hal-hal yang nggak mungkin terjadi! Minggir!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top