Bab 33
Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.
Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛
Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.
Selamat baca!
*****
(Awalannya ada di Bab 32 adegan ke-2)
HELENA MENARUH tasnya di meja belajar, melepaskan ikatan rambutnya di depan kaca rias, dan terkejut ketika menyaksikan pantulan seseorang dari sana. Astaga, mengapa Trey bisa ada di sini—di kamarnya? "Mau ngapain kamu?"
Trey bangkit dari duduknya lalu maju mendekati Helena. Sementara Helena menegang, kedua tangannya tanpa sadar mengepal. Tidak, ini salah. Sejak malam kemarin, Trey tidak seharusnya berada di sini. Helena sudah tidak ingin terlibat apa pun bersama Trey.
"Pertama yang harus kamu tahu, jangan seenaknya masuk kamar orang." Helena lalu membalikkan badannya. Tatapannya terlihat kuat dan nada bicaranya tegas. "Kedua, apa pun tujuan kamu ke sini, aku nggak peduli. Aku udah nggak punya—"
Renggutan kecil di tangannya membuat Helena berhenti bicara. Sorot mata Trey terlihat lemah, gerak badannya terlihat tidak bertenaga. Namun, dia masih bisa menahan gerakan Helena yang ingin menepis genggamannya. Helena bersiap bicara, tetapi tertahan ketika Trey dengan tiba-tiba bersimpuh.
"Ini—apa yang kamu lakukan? Bangun, nggak?"
"Maafkan aku, Helena," lirih Trey. "Tolong jangan begini."
"Tolong jangan begini?" Trey ini lucu, dia suka bersikap semaunya tanpa memedulikan perasaan orang lain. Helena tertawa miris—dan kali ini dia berhasil terlepas dari genggaman Trey. "Terus kamu mau aku gimana lagi? Ngejar-ngejar maaf kamu? Nerima seluruh kalimat sindiran dan tuduhan nggak berdasar kamu? Lihat kamu bentak-bentak aku? Sori, meski konteksnya aku masih ada salah di kamu, aku nggak sebodoh itu."
"Helena—"
"Kamu jangan seenaknya," pungkas Helena, seperti tidak memberi kesempatan. Dan memang sedari kemarin dia tidak ingin membuka kesempatan sekecil apa pun untuk Trey terlibat lagi dengannya. "Pergi dari sini!"
Trey tiba-tiba menggeleng, gerakannya kuat sekali. Matanya memejam, kedua tangannya menutupi telinga. Lelaki itu seperti mengusir hal-hal yang hanya bisa dilihatnya sendiri. "Bisa kita ubah semuanya jadi lebih baik, Helena? Lupakan seluruh sikap aku ke kamu sebelumnya. Aku yang bersalah di sini. Aku yang sudah buat semuanya kacau di sini. Kamu ... mau apa? Atau ... aku harus melakukan apa agar kamu bisa menarik seluruh ucapan kamu kemarin?"
"Heh? Apa? Kamu—"
"Ya, anggap saja aku laki-laki berengsek yang mempunyai sifat plin-plan seratus persen. Aku juga suka seenaknya dan keras kepala. Tapi, saat ini yang aku mau cuma kamu jangan pergi dari aku."
"Sebentar, biar aku lurusin ke kamu," tekan Helena. "Aku udah nggak mau terlibat apa pun lagi sama kamu. Kamu mau maki-maki aku lagi, terserah. Mau tiba-tiba ngemis maaf ke aku, aku nggak peduli. Semuanya bakal aku anggap selesai dan kita balik seperti kita sebelum saling mengenal. Paham kamu?"
"Helena, I promise to treat you better than before. Tolong kasih aku kesempatan buat memperbaiki ini." Trey langsung bangun mendekati Helena. Tatapannya terlihat frustrasi bercampur putus asa. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku bakal berubah, aku juga bakal berusaha mengendalikan amarahku lebih baik lagi. Aku mau kamu tetap bersamaku. Ya?"
Alih-alih terenyuh, Helena merasa energi dalam dirinya seperti tersedot begitu saja. Dia terengah, maju, lalu tanpa diduga dia menampar Trey. "Balasan tamparan kamu malam itu!" serunya. "Dan tolong segera pergi dari sini sebelum aku minta Daddy aku buat ngusir kamu!"
***
"Bang Jas," panggil Helena. Ketika Jason menoleh, senyuman lebar—yang terkesan jail—menghiasi wajahnya. "Bang bang into the room. Bang bang all over you."
Jason mendengkus kesal. "Nggak jelas lo!"
Helena tertawa sembari mengejar Jason yang kini pergi. "Ih, tungguin. Sensitif banget deh!"
Jason tidak merespons dan tetap melangkah menuju kamarnya. Dia segera membuka pintu kamarnya lebar-lebar, lalu mulai memunguti beberapa kaus yang tergeletak di lantai. Helena duduk di kasur dan mengamati ruangan Jason yang terkesan sederhana. Tidak banyak perabotan di sini, dindingnya juga masih polos. Dan entah kenapa tiap kali melihat betapa polosnya dinding itu, Helena ingin menempel beberapa stiker dinding yang lucu seperti di kamarnya.
"Gue tahu apa yang lo pikirin sekarang." Setelah memindahkan kausnya ke keranjang kotor, Jason beralih menyalakan AC kamarnya. "Dan jawaban gue masih sama, nggak. Yang simpel begini justru lebih bikin nyaman."
Helena mengecimus. "Iya ... iya ... tau kok!"
"Terus lo ngapain di sini? Kalau nggak ada keperluan mending nyingkir. Gue mau tidur."
"Nggak yang penting banget, sih." Helena mengedik. "Cuma mau main ke kamar kamu aja."
"Tumben banget? Ya udah bentar, gue cuci kaki dulu." Lalu Jason segera memasuki kamar mandi. Tidak lama, lelaki itu sudah kembali dan langsung menyambar kaus ganti dari lemari untuk dikenakannya. Rambutnya masih basah. Wajahnya terlihat usai dibasuh dengan facial wash. Secara keseluruhan, penampilan Jason terlihat lebih segar sekarang. "Lo mau cokelat?"
"Ini beneran nawarin aku?"
Jason berdecak. "Mau atau nggak? Kalau nggak, gue kasih Leon."
"Yaaa jangan gitu dong! Aku, kan, belum jawab juga. Mana sini." Ekspresi cemberut Helena berubah gembira ketika menerima sebatang cokelat dari Jason. Dia langsung membukanya. "Makasih, Bang. Nanti kalau kamu pengen apa-apa bilang ke aku, ya."
"Hmmm."
"Sama-sama atau iya kek balesnya. Jangan hm doang."
"Sama aja kali."
"Dih, ngeselin."
"Biarin." Setelah Jason duduk di sebelah Helena, lelaki itu bertanya, "Jadi apa?"
"Heh?"
"Gue tau lo punya tujuan lain datangin gue ke sini selain cuma mau main ke sini."
Mendengar itu, Helena sontak berhenti memakan cokelatnya. Cueknya Jason ini beda dari kebanyakan. Dia mudah peka, tetapi tidak suka ingin tahu. Jadi, saat Helena berusaha menyembunyikan tujuannya pada Jason—seperti sekarang—bakal percuma. "Kamu ... pernah merasa di posisi yang serba salah nggak?"
"Dalam arti?"
"Hm ... misal begini. Kamu nyakitin aku, terus karena aku udah capek, aku mutusin buat mundur dan lupain semuanya tentang kamu. Terus nggak lama, kamu tiba-tiba balik ke aku, memohon buat ada kesempatan kedua, cuma akunya udah nggak mau apa-apa lagi selain kamu pergi dari hidup aku. Tapi, di sisi lain, akunya mendadak nggak enak karena nggak ngasih kamu kesempatan gitu. Paham, kan, ya?" tanya Helena. Sebenarnya, dia ragu bertanya soal ini pada Jason, tetapi mau bagaimana lagi? Dia juga tidak mungkin bercerita pada Megan—yang kemungkinan besar tahu bahwa ini soal dirinya dan Trey. "Terus, menurut kamu gimana? Wajar nggak ya aku gitu? Atau, apa yang harus aku lakuin deh?"
"Kenapa?"
"Maksudnya?"
"Apa ini ada kaitannya dengan kehidupan lo?"
Helena mendadak tercekat, tetapi berusaha tetap tenang. Dia mengulas senyum tipis. "Kan, tadi aku udah kasih disclaimer—misal."
"Gue baru bisa menyimpulkan kalau dilihat dari dua sisinya," kata Jason. Sifatnya yang tenang kadang buat Helena iri. "Gue coba lihat dari sisi pertama dulu. Seandainya di sini posisi gue yang nyakitin lo, gue bakal menerima keputusan lo. Because it's not just about my feelings, but yours too. Lo tersakiti karena gue. Lo berniat melupakan semuanya tentang gue. Udah pasti salah gue bukan yang sepele lagi, kan? Jadi, daripada gue memohon untuk ada kesempatan kedua, gue lebih baik mundur buat beri lo ruang sekaligus introspeksi diri gue sendiri."
Sebenarnya, itu juga yang diinginkan Helena. Andaikan saja Trey tidak memohon-mohon seperti kemarin, perasaannya sudah pasti tidak mengalami distraksi seperti ini. Atau mungkin dirinya saja yang masih labil? Padahal, kemarin dia sudah berhasil membuat benteng pertahanan dari seluruh kalimat permohonan Trey. Dia juga berhasil mengabaikan dan mengusir Trey meski lelaki itu terlihat putus asa. Namun, mengapa saat dia sudah sendiri jalan pikirannya mendadak berubah?
"Tapi, ketika gue mencoba menempatkan sebagai diri lo, gue bakal tanya ke diri gue sendiri. Apa perasaan gue setelah mengabaikan permohonan dia? Apa gue bahagia? Apa gue lega? Apa gue merasa ini yang harus gue lakuin? Atau ... gue sedih? Tapi, balik lagi, lo merasa ingin dia pergi dari hidup lo, tapi lo juga nggak tega nggak kasih dia kesempatan, kan?" Jason mengambil cokelat dari tangan Helena, lantas menggigitnya. "Lo boleh kecewa, tapi bukan berarti harus mengabaikan perasaan lo. Ini gue nggak nyalahin lo ambil keputusan itu. Gue juga bakal bersikap sama semisal gue messed up banget. Cuma, jangan terus-terusan bersikap seakan lo yang korban. Yang bersalah juga berhak diberi kesempatan buat berubah. Kalau nggak gitu, dunia cuma diisi sama orang-orang jahat dengan pemikiran: ah, ngapain gue berubah segala? Gue juga udah jahat ini. Nggak ada lagi yang percaya ke gue semisal gue jadi baik. Percuma."
Helena terdiam, dia mencerna semua ucapan Jason dalam diam. Dia mencoba melahap lagi sebatang cokelat di tangan, tetapi entah mengapa rasanya jadi tidak semanis biasanya.
"Tapi, kesimpulannya, gue setuju dengan keputusan lo. Lo berhak kasih ruang lebih ke diri lo—dan mungkin dengan minta dia pergi dari hidup lo adalah cara satu-satunya. Put yourself first for happiness doesn't mean you're selfish. Dan masalah dia memohon ke lo, ada yang salah di dia. Menurut gue, he doesn't want you, he's just afraid to lose your attention."
"Bang?"
"Hm?"
"Aku boleh peluk?"
"Gue belum mandi nggak apa-apa?" Tetapi, Jason tetap melebarkan kedua lengannya. "Sini, kalau gitu." Dan Helena langsung merebahkan tubuhnya ke pelukan Jason. "Lo lagi ada masalah? Ada yang nyakitin lo?"
Helena hanya menggeleng, masih tidak berani jujur pada Jason—untuk sekarang.
"Kelamaan bohong hidung lo bakal lebar."
"Panjang kali, Bang."
"Itu sih Pinokio, kan lo bukan dia," balas Jason nyeleneh. "Helena, pesan gue cuma satu, untuk saat ini lo harus tetap pada keputusan lo. Biarin dia pergi dari hidup lo dulu. Abaikan perasaan lo yang mendadak goyah atau apa. Yang kalian butuhkan saat ini cuma jarak dan waktu. Tapi, ketika dia tiba-tiba muncul lagi di lain waktu dalam versi yang lebih baik, lo bisa pikirkan ulang keputusan lo. Mau tetap sama, atau coba kasih dia kesempatan. Semua keputusannya tetap ada di lo."
"By the way, itu bukan soal hidup aku, ya, Bang."
"Dan by the way juga, gue tahu ini persoalan hidup lo."
Helena menarik dirinya dari pelukan Jason sembari melotot. "Jangan sok tahu kamu!"
"Ya emang gitu." Jason mengedik acuh tidak acuh. "Dan kabari gue semisal lo butuh orang buat mukul atau apa. Gue available."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top