Bab 30
Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.
Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛
A/n: Masih sanggup menyaksikan tingkah Trey? Kalau iya, silakan baca dengan tenang, biar nggak gimana2, oke?🏃🏃
Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.
Selamat baca!
*****
HELENA DENGAN cekatan mengikat rambutnya dengan satu tangan, lalu mencemplungkan mi ketika airnya sudah mendidih. Dia bersenandung, senyum lebar bersemayam di bibirnya—seperti suasana hatinya hari ini sedang membaik.
Bagaimana tidak? Setelah dia mendapat alamat kantor Trey dari Matt, semangat Helena seperti membara lagi. Dia merasa masih punya kesempatan untuk dimaafkan Trey, dan bisa jadi membawa bekal makanan—yang padahal cuma mi—ini dapat meluluhkan hati Trey.
"Kalau cuma karena satu penolakan aku nyerah, artinya aku cemen," gumam Helena sembari mengambil salah satu kotak makan yang tersedia di lemari kabinet. "Ibarat satu bunga yang layu, bukan berarti yang lain juga ikut layu, kan? Aku masih punya yang lain."
Merasa sudah matang, Helena mengangkat mi itu ke piring, lalu beralih merebus telur. Selagi menunggu, dia teringat pertemuannya dengan Mike yang berjalan baik. Iya, kali ini Helena sudah memutuskan untuk berdamai dengan masa lalunya. Dia juga mendengar semua penjelasan Mike soal empat tahun lalu—termasuk alasan mengganti nama dari Harry menjadi Mike. Ternyata, hanya untuk menghindari kesialan.
Setelah mi dan telurnya siap di piring, Helena membuka bumbunya, mengaduknya dengan merata kemudian memindahkannya di kotak makan. Dia juga mengambil suwiran daging ayam, abon, keju yang telah diparut serta saus tomat sebagai toping minya. Pada saat bersamaan, Leonard tiba-tiba muncul.
"Tumben banget turun langsung ke dapur?" tanyanya. "Masak apa tuh?"
"Duh, biasanya juga aku gini kali. Emangnya kamu yang capek sedikit minta disuapin?" ledek Helena. "Nggak inget umur banget kamu."
"Ih, mulutnya licin banget!" Leonard mendengkus, lalu melirik apa yang tengah dikerjakan Helena. "Itu toping minya banyak banget, dan kelihatannya enak juga. Terus itu ngapain ditaruh di kotak makan segala? Buat siapa? Kamu? Kalau iya, bolehlah aku icip-icip!"
"Icip-icip ... bikin sendiri sana!" sembur Helena. "Orang udah ada bahan-bahannya masa tinggal bikin aja nggak mau?"
"Karena aku nggak mau bikinnya, makanya aku minta ke kamu kaleee!"
"Nggak ada minta-mintaan!"
"Ya udah bikinin aja kalau gitu."
Helena memelotot. Kapan, sih, Leonard tidak menyebalkan? "Ogah banget!"
"Emang buat siapa, sih, itu? Kamu?" Leonard masih tidak menyerah. "Segitu banyak, loh, emangnya bakal habis sendirian?"
"Haduh, nggak usah kepoan, deh!"
"Bilang aja pelit!" Leonard mencebik. "Nggak takut kamu, Kak, nanti kuburannya sempit gitu?"
Helena tidak menjawab, lebih memilih beranjak menuju kulkas untuk mengambil sebotol susu cokelat yang tadi dibuatnya. Setelah itu, dia kembali ke meja makan untuk menutup kotak makannya. Sekarang, sudah beres, tinggal dia memasukkan semuanya ke totebag, masuk mobil lalu menuju kantor Trey. Dan berharap, Trey bisa luluh meski kemungkinannya di bawah lima puluh persen. Optimistis saja dulu tidak apa-apa, kan?
"Ngapain lihatin akunya gitu banget? Aku cantik?" tanya Helena ketika mendapati Leonard tengah menatapnya. Setelah kotak makannya berhasil masuk ke totebag, dia beralih ke botol susu. "Iya, aku tahu, nggak perlu kamu perjelas juga. Aku nggak mau sombong soalnya."
Leonard melongo, dia memandang Helena seolah kakaknya spesies Alien yang baru saja turun ke bumi. "Hari ini kamu lagi kesambet apaan, sih, Kak?" tanyanya. "Bikin bekal ginian, terus pas aku minta kamu pelitnya minta ampun, dan tadi—kenapa kamu pede banget?"
"Aku kesambet jin angin."
"Heh?"
"Biar aku bisa bikin kamu masuk angin terus." Lalu Helena mendorong bahu Leonard agar menyingkir. "Udah sana, deh! Tadi katanya laper, ya buruan bikin. Daripada ganggu aku melulu!"
"Tapi, serius, itu kamu bikin buat siapa emangnya?" Leonard masih penasaran. "Ah, kamu ada rencana nobar bareng Kak Megan? Kok, tumbenan nggak di sini?"
"Ngapain bawa-bawa si Megan kamu? Kangen dia, ya?"
"Hih, enak aja kalau ngomong!" Leonard mendengkus, melirik lagi totebag Helena sebelum senyum jahilnya terukir. "Oh, atau jangan-jangan kamu bawain bekal gitu buat pacar kamu? Wah, bisa jadi! Tapi, kenapa kamu nggak bilang kalau udah pacar? Kapan jadiannya? Kak, minta pajak jadiannya dong, traktir Royce aja bolehlah!"
"H—hah?" Helena hanya bisa melongo mendengar cerocosan Leonard. "Ngomong apa, sih, kamu?"
"Mommy, itu Kak Helena udah punya pacar katanya!"
"Ih nggak ada. Nggak ada!" Helena sontak saja menepuk bahu Leonard. "Enak aja kalau ngomong!"
Daripada semakin menjadi, Helena segera menyambar totebag-nya lalu pergi dari dapur. Dia menuju kamarnya untuk membenahi penampilannya sejenak, sebelum turun menuju garasi—dan menyalakan mobilnya.
"Pas, masih ada waktu," kata Helena setelah melirik arlojinya. "Aku bisa langsung ke kantor dia. Yuk, semangat! Kali ini pasti berhasil!"
***
Meski sudah membulatkan tekadnya, jujur saja Helena meragu begitu tiba di kantor Trey. Separuh dirinya berteriak untuk putar balik saja, tetapi setengahnya yang lain menegaskan untuk langsung masuk demi memperbaiki keadaan. Lalu, mana yang harus Helena pilih?
Dengan berkeyakinan bahwa semuanya bakal berjalan lancar, Helena keluar dari mobilnya. Sudah terlanjur, kalau mau balik lagi juga bakal memakan waktu. Helena memasuki kantor Trey, mengabaikan beberapa keluhan di kepalanya mengenai—setelah ini apa? Lalu apa yang harus dia lakukan apabila semua ini tidak berjalan sesuai rencana? Dan bagaimana caranya dia bisa bertemu Trey?
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
Helena berhenti menoleh kanan-kiri, dia memandang seorang lelaki paruh baya, berperawakan tinggi dengan jenggot tersusun rapi. Helena menghela napas pelan, lalu maju selangkah. "Benar ini Calson Enterprise?"
Lelaki itu hanya diam. Helena sontak berkedip, merasa apa dia salah bicara? Namun, selanjutnya lelaki itu malah menyodorkan tangannya. "Saya Charles," katanya, Helena sontak menjabat tangan itu sembari menyebutkan namanya juga. "Kalau boleh saya tahu, kamu sedang mencari siapa?"
"Trey," balas Helena. "Trey Calson."
"Sudah buat janji temu sebelumnya?"
"Eh?" Lalu Helena menggeleng lemah. "Belum ada, Pak."
"Kalau begitu, tunggu sebentar." Charles mengedepankan iPad yang dibawanya. Lelaki itu menunduk, seperti tengah membaca di sana. Selama itu, Helena cemas bahwa dia tidak bisa bertemu Trey—dan lebih parahnya keluar dari kantor ini. "Maaf harus mengatakan ini, tetapi beliau sedang ada urusan di luar kantor."
"Dan itu ... kira-kira berapa lama, Pak?" tanya Helena. "Maksud saya, kapan dia bisa kembali?"
"Sekitar dua jam lagi."
"Dua jam.... Dua jam...." Helena mendesah lesu seperti tengah menimbang-nimbang. "Kalau gitu, bisa saya tunggu di sini, Pak?"
Charles mengangguk. "Kamu bisa menunggunya di kursi tunggu. Silakan."
Sembari mengucapkan terima kasih, Helena pun menuju kursi yang ditunjuk. Charles sudah pergi. Helena benar-benar menunggu. Dia duduk di tempatnya sendirian, kadangkala mengusir rasa bosannya dengan mengecek Instagram. Dia bersandar, mengambil airpods dari tasnya lalu mulai mendengarkan lagu-lagu dari Green Day. Tidak sadar, rasa tenang mulai menghampirinya, membuat matanya memberat. Sambil menguap, Helena mulai memeluk tasnya—dan tidak sadar dia ketiduran. Sampai seseorang menepuk bahunya berulang kali yang membuatnya terbangun.
"Hai?"
Helena sontak mengubah duduknya menjadi tegak, dia mengambil airpodsnya yang tadi jatuh ke lantai. "Sori," katanya. Helena menatap perempuan di depannya yang terasa familier. "Kamu ... perempuan yang waktu itu bareng Trey, ya? Eleanor?"
"Ah, kamu mengingatku."
"Sori, waktu itu aku belum memperkenalkan diri." Helena bangun lalu menyodorkan tangannya. "Aku Helena."
"Kalau begitu, salam kenal, ya." Eleanor menjabat tangan Helena. "Oh iya, kamu menunggu di sini dari kapan? Sampai ketiduran begitu."
"Ah?" Helena bengong, kemudian tertawa canggung. "Dari pukul tigaan kalau nggak salah."
"Wow, sudah lama juga."
"Maksudnya?"
"Ini sudah pukul lima."
"Heh? Gimana? Pukul lima?" Helena melongo, matanya membola. Sial, bagaimana bisa dia ketiduran sampai dua jam sendiri—di sini—dan rawan sekali dilihat orang-orang? "A—aku permisi dulu, mau ke toilet."
Eleanor hanya mengangguk, lalu memberi tahu ke mana Helena harus melangkah. Helena memandangi pantulan wajahnya dari lift, mengusap wajahnya berulang kali. Setelahnya, dia bergerak cepat mencari toilet untuk mencuci wajahnya.
"Ya Tuhan, bisa-bisanya aku ketiduran gini...." Helena menepuk dahinya sendiri. "Malu-maluin aja!"
Begitu ingin melangkah, Helena mendadak terdiam. Dia baru saja memikirkan kedatangan Eleanor di kantor Trey sore ini. Untuk apa perempuan itu datang ke sini? Namun, mengingat lagi betapa dekatnya Eleanor dan Trey sewaktu di kedai kue, membuat Helena sadar. Wajar saja kalau Eleanor datang ke sini—dan hapal letak kantor ini. Tetapi, kok, yang dirasakan Helena sesak begitu?
"Ah, nggak. Nggak!" Helena mengambil dan membuang napasnya berulang kali. "Aku nggak boleh merasa gitu!"
Lalu, Helena keluar dari lift dan tersenyum ketika menyaksikan keberadaan Trey di depan sana. Namun, saat ingin menyapa, Helena menahannya begitu melihat Eleanor muncul dan mencium pipi Trey.
"Trey, tunggu!" Helena sontak berlari saat menyaksikan Trey dan Eleanor ingin pergi. Eleanor menarik alis, sementara Trey bergeming seperti patung. Helena segera mengambil kotak makan dan sebotol susu dari totebag-nya, lalu menyerahkannya ke Trey. "Ini ... buat kamu. Emang nggak seberapa, tapi semoga bisa bikin kamu kenyang."
"Trey," bisik Eleanor saat Trey hanya diam. Dengan senyuman kikuk, Eleanor menggapai kotak makan dan botol itu. "Ini dia buatkan khusus untuk kamu. Terimalah."
"Aku tidak lapar."
Jawaban Trey sudah berhasil melunturkan senyuman Helena. Harapannya semakin memupus. Namun, dia tetap optimis. "Kalau gitu, dimakannya nanti aja. Kamu bisa coba susunya dulu, lumayan, biar kamu nggak kehausan. Ini aku—"
"Eleanor, bisa kita pergi sekarang?" Alih-alih merespons Helena, Trey malah bertanya begitu. "Waktuku tidak banyak."
"Trey, kenapa kamu tidak mencobanya dulu?" tawar Eleanor. Dia membuka penutup botolnya. "Ini kelihatannya segar banget. Andai saja buat aku, bakal habis sedari tadi, sih."
Eleanor terkekeh, Helena tersenyum tipis, dan Trey perlahan menerima kotak makan dan sebotol susu itu dari tangan Eleanor. Rasa bahagia seketika memenuhi hati Helena. Benar, kan, apa katanya? Kalau di awal sudah bertekad bakal berjalan lancar, hasilnya juga bakal ikut positif.
Setelah membuka penutup botol itu, Trey menatap Helena. Tatapan lelaki itu seperti sebuah buku yang sulit dibaca. Tanpa diduga, Trey malah menumpahkan susunya—lalu melemparkan kotak makanan itu ke dinding dengan keras sehingga membuat isinya berceceran di lantai.
Eleanor sontak berteriak, "Trey!"
"Apa? Sudah seharusnya sampah itu dibuang, kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top