Bab 29
Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.
Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛
A/n: Guys, bab ini isinya lumayan panjang. Kisaran 2000an kata. Semoga kalian nggak bosan aja sih ya wkwkwk🤓🤓 Btw, ayo ramein kolom komennya dong, udah hampir tiap hari nih aku updatenyaaa😝😝
Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.
Selamat baca!
*****
MERASA SENSASI dingin di pipinya, membuat Helena terusik lalu bangun. Ada Alonzo yang tengah mengompres pipinya menggunakan es batu yang dilapisi sebuah kain. "Sepertinya, saya sudah mengganggu tidur kamu, ya?"
"Bukan ganggu, Kak," balas Helena. "Cuma bikin agak kaget gitu."
"Kalau begitu, saya minta maaf," kata Alonzo. "Saya tidak tega lihat pipi kamu sampai memar begini. Makanya, saya langsung kompres saja."
Alonzo kembali menekan es batu itu ke pipi Helena. "Daddy pernah mengobati saya dengan cara ini. Katanya, biar mengurangi kejang otot. Bahkan, cara ini selalu saya pakai sampai sekarang. Entah untuk Alaric, atau kelakuan saya sendiri."
Lalu, Alonzo terkekeh sembari memberi tiupan lembut di pipi Helena. Meski mempunyai muka yang garang, Alonzo adalah lelaki yang lembut. Dia orangnya sabar, dan paling benci memakai kekerasan hanya untuk masalah sepele. Makanya, ketika tahu bahwa Helena diperlakukan kasar oleh Trey, Alonzo marah luar biasa—tanpa memandang bahwa Trey merupakan sahabatnya.
Saat Alonzo bangun untuk menaruh peralatan kompres, Helena mengubah posisinya menjadi duduk. Kebanyakan tidur cuma bikin pusing. Alonzo kembali lagi, duduk di sebelahnya, sehingga Helena dapat menyadari ada lebam kebiruan di pipi Alonzo. "Astaga, Kak, itu mukanya kenapa?"
"Oh, ini?" Alonzo mengusap wajahnya sendiri, berakhir meringis karena merasa perih. "Itu ... saya tadi tergelincir lalu akhirnya berpelukan dengan lantai. Makanya jadi begini. Sudah, tidak usah kamu pikirkan."
"Nggak harus aku pikirkan gimana, sih? Orang muka kamu ada luka gitu." Helena mendengkus. "Sini deh, biar aku bantu obatin. Luka gini kalau nggak segera diobatin cuma bikin infeksi."
"Helena, ini cuma luka kecil."
"Semua yang besar berawal dari kecil juga kali."
"Tapi—"
"Jangan pake tapi-tapian!" sembur Helena. "Udah sini, diobati aja susah banget kamu. Aric aja nggak gini, tahu!"
Alonzo tertawa dan menyetujui omongan Helena. Dia berdiri lagi, lalu menuju ke dapur sebentar untuk mengambil alat kompres yang sebelumnya dia taruh. Ketika sudah, Alonzo duduk di sebelah Helena dan membiarkan perempuan itu mengompres memarnya. Dari jarak sedekat ini, Alonzo bisa memperhatikan wajah cantik Helena dengan leluasa. Tanpa sadar, dia bergumam, "Bajingan itu harusnya merasa beruntung."
"Hm?" Helena mendongak. "Ngomong apa kamu, Kak?"
"Ah, tidak. Bukan hal penting." Alonzo memamerkan senyum, mengambil peralatan tadi dari tangan Helena. "Oke, sesi pengobatannya selesai sampai sini dulu. Kita lanjutkan nanti karena sekarang hampir pukul satu. Lebih baik kamu tidur lagi. Saya juga sudah mengantuk."
Kalau sudah begini, Helena tidak bisa membantahnya lagi. Dia menurut begitu Alonzo menyuruhnya tidur, menyelimutinya, sebelum mematikan lampu lalu keluar dari kamar.
***
Keesokan paginya, Helena baru bangun pukul delapan lebih. Itu juga karena dibangunkan oleh dering ponselnya yang tidak mau berhenti. Dengan setengah sadar, Helena menggapai ponselnya di nakas. "Ya ... halo?" Dia menguap. "Siapa, ya?"
"Helena, kamu baru bangun?"
"Dad?" Kantuk Helena seketika menghilang. "Astaga, iya, aku baru bangun. Ini nggak tahu kenapa badanku rasa capeknya banget, Dad."
"Kebanyakan main, sih, kamu."
"Ih, nggak gitu, Dad...."
Dave tertawa kecil, lalu melemparkan pertanyaan. "Terus yang di bilang si Alonzo bener?"
Helena sontak membeku. Meski belum tentu Dave bertanya perihal kejadian semalam, tetapi entah kenapa perasaan Helena tidak enak saja. "Hm?" Dia berusaha tenang. "Soal apa, Dad?"
"Itu ... yang kamu merengek minta nginep di sana."
"Heh? Gimana?" Helena berkedip-kedip. Jadi, Alonzo memberi alasannya begitu? Meski agak memalukan, tetapi tidak apa. "Ah, iya! Bukan apa-apa juga, sih, Dad, cuma penasaran aja. Gimana enaknya bisa tinggal sendirian gitu."
"Jadi, kamu di sana sendirian?"
"Iya."
"Dad pikir sama Aric."
"Nggak, sih."
"Syukurlah kalau gitu." Ada kelegaan dari ucapan Dave barusan. "Dad cuma mau memastikan kamu aja. Dari tadi malam pikiran Dad nggak enak melulu soal kamu. Mana lagi si Jason bilangnya kamu maksa-maksa buat turun di jalan."
Lalu, mereka terhanyut dalam obrolan ringan selama beberapa menit ke depan. Selesai dengan itu, Helena memutuskan ke toilet untuk membasuh mukanya serta menyikat gigi. Tidak sadar, dia terdiam melihat pantulan wajahnya di kaca. Memar merah di pipinya sudah sedikit memudar. Setiap kali melihat itu, Helena teringat bagaimana jahatnya dia karena telah mengecewakan Trey.
Ketika mendengar derap langkah dari luar, Helena buru-buru mencuci mukanya lalu menggosok gigi. Mengenai perasaan bersalahnya terhadap Trey bisa diurus nanti.
"Helena, sarapannya sudah jadi. Saya tunggu kamu di ruang makan, ya," perintah Alonzo.
"Iya, Kak," balas Helena. "Nanti aku nyusul."
Helena buru-buru mengikat rambutnya, merapikan ranjang yang selimutnya awut-awutan setelahnya membuka tirai jendela. Karena pagi ini sedang cerah sekali, alhasil sinar mataharinya membuat Helena silau. Kemudian, Helena menuju ruang makan dan menemukan Alonzo di sana.
Lelaki itu sedang sibuk di meja counter dengan bertelanjang dada. Helena memandangi punggung Alonzo yang bergerak luwes dengan otot-otot kecil di lengannya yang kecoklatan. Tidak sadar, dia membayangkan Trey di sana—dengan posisi sama—tanpa busana—membawa secangkir kopi hangat untuk teman kalau mereka mengobrol lama.
"Helena, kamu dengar saya? Mau kopi atau susu?"
Helena sontak tersentak. "I—iya, Kak? Kenapa?"
"Hmmm." Alonzo bersedekap, matanya memicing penuh selidik. "Masih pagi saja kamu sudah melamun, masih mengantuk?"
"Heh? Nggak. Malah tadi tidurku pulas."
"Kopi atau susu?" Alonzo kembali memunggungi Helena. "Saya kurang tahu selera kamu, makanya tanya kamu dulu."
"Susu aja," jawab Helena. Dia berpindah ke meja makan—dan menemukan dua porsi roti di sana. "Itu rotinya isinya apa, Kak?"
"Cuma telur mata sapi sama saus tomat," kata Alonzo. "Harap maklumi saja, ya. Saya tidak bisa masak lebih dari itu. Takut malah mengacaukan dapur."
"Wah, ini udah lebih dari cukup, sih." Helena menyambar pisau beserta garpu—lalu menyiapkan untuk Alonzo juga. Tidak lama, Alonzo ikut duduk di depannya setelah meletakkan secangkir kopi hangat beserta susu. "Makasih banget, lho, Kak. Ini aku udah dikasih tempat nginap, disiapin sarapannya juga. Harusnya kamu bangunin aku aja."
"Saya tidak tega buat bangunkan kamu," kata Alonzo. "Takutnya bikin pusing."
Helena tersenyum. "Kalau gitu, aku makan duluan, ya."
"Memang harus makan, kalau perlu yang banyak." Alonzo ikut mengiris rotinya. "Misal kamu pengin nambah, bilang ke saya, ya. Biar saya bikin lagi."
"Wah, kalau udah ditawarin begitu, kamu harus siap-siap, Kak." Helena tertawa. "Soalnya nafsu makanku kadang bisa sebesar dinosaurus."
"Tenang, Helena, saya cukup berpengalaman soal itu." Alonzo ikut tertawa. "Oh iya, semalam saya sempat ngabarin Daddy kamu. Jadi, kamu tidak perlu takut semisal gimana-gimana."
"Iya, tadi Dad sempat nelpon aku juga." Helena mengiris lagi rotinya, lalu memakannya. "Dad bilang, aku ngerengek minta nginep di sini." Dia mencebik. "Tega kamu, ngasih alasannya gitu banget."
"Sori, Helena." Alonzo tertawa. "Saya kehabisan ide saat itu."
Helena mengambil segelas susunya di meja, lalu meneguknya. "Wih, ini susunya manis banget."
"Itu bentuk pujian, atau bagaimana, nih?"
"Pujian dong," kata Helena. "Kebetulan aku ini anaknya suka manis. Jadi, kalau rasanya begini aku bakal suka." Dia meneguk susunya lagi. "By the way, untuk ukuran apartemen yang jarang dipakai, bahan makanan kamu lengkap juga, Kak."
"Buat persedian saja."
"Nggak takut basi?"
"Kalau basi tinggal beli lagi." Lalu Alonzo menunjuk pipi Helena dengan pisau di tangannya. "Itu memar kamu udah lumayan tipis. Kalau bisa habis ini dikompres lagi, biar makin tidak kelihatan. Habis itu baru kamu boleh pulang."
"Oke, Kak!"
"Dan, Helena?"
"Iya?"
"Mulai sekarang, kamu jangan memikirkan Trey lagi, ya." Saat Helena menatapnya, Alonzo melanjutkan, "Anggap dia tidak pernah hadir di hidup kamu, oke?"
Sayangnya, Helena tidak bisa menjanjikannya.
***
"Eh iya, Meg, aduh santai aja. Mending kamu pikirin yang sejarah, aku kurang ngerti sama Konvensi Peking. Iya, kalau nggak salah ngelibatin Qing Tiongkok, Britania Raya; Prancis, Rusia. Sip, pokoknya aku percayain kamu yang riset masalah ini. Da'ah!"
Helena melirik jam tangan di tangannya, setelahnya keluar dari mobil. Selepas dia berada di apartemen Alonzo tiga hari lalu, dia masih berusaha memikirkan bagaimana caranya agar mendapatkan maaf Trey. Helena tahu, ini bukan masalah kecil. Trey pasti sudah teramat kecewa padanya—apalagi seluruh pesan yang dia kirimkan tidak mendapat balasan.
Helena mendesah panjang, berusaha tenang. Dia yakin, pasti ada cara untuk mendapatkan maaf dari Trey. Helena mulai memasuki kedai kue yang sore ini terlihat sepi. Dia pun memesan menu andalannya: kue taco dengan ekstra keju dan es matcha. Selagi menunggu pesanan, Helena memutuskan untuk membuka Instagram.
"Kira-kira dia punya akun instagram nggak, ya?" Helena mulai mengetikkan nama Trey Calson di kolom pencarian. Ada satu akun yang hanya ada empat postingan—yang dia yakini milik Trey. "Jarang posting juga ternyata."
"Kak, sudah jadi."
Helena langsung membawa nampannya lalu menuju meja dekat jendela. Sembari menyeruput es matcha yang baru dipesan, dia menekan tombol mengikuti pada akun Trey. Dan saat yang bersamaan, muncul satu pesan dari Matt.
Matt: Helena, kamu masih marah padaku? Kita masih belum bisa ketemuan juga, ya?
Matt: Sekali lagi aku minta maaf ke kamu. Maaf. Maaf banget.
Helena sontak tergugu-gugu. Apa yang harus dilakukannya? Sekarang, Helena mulai berpikir untuk membalikkan posisinya. Seandainya dia ada di posisi Matt atau Harry, pasti tidak ada bedanya dengan posisinya sekarang. Selalu merasa bersalah, hati juga tidak tenang, kepala yang siap meledak karena memikirkan banyak hal. Terasa menyiksa, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan ragu, Helena mulai mengetikkan balasan.
Oke. Kapan?
Matt: Ya ampun, aku senang sekali. Kukira pesanku ini bakal berakhir sama seperti sebelumnya.
Matt: Kalau lusa saja bagaimana?
Boleh
Tapi kamu yang atur tempatnya ya?
Oh iya, kamu bisa kasih aku nomor si Harry?
Namun, bukannya mendapat balasan, Helena malah mendapat panggilan dari Matt. "Iya?"
"Helena, kamu yakin?"
"Ya," Helena mendesah pasrah. "Aku mau mencoba berdamai dengan masa lalu. Capek, Matt, kalau diinget-inget terus."
"Kalau maunya begitu, aku bisa sampaikan ke Harry buat ketemuan. Dia pasti senang mendengarnya," kata Matt. "Kami sama-sama menunggu maaf dari kamu."
"Ya ampun...." Helena memijat pangkal hidungnya. "Kalau begitu, makasih, ya, Matt. Aku bakal bertemu Harry setelah kita ketemuan, gimana?"
"Akan kupastikan pesanmu tersampaikan."
Lalu, panggilan terputus. Helena berharap yang dilakukannya sudah benar. Tidak lama setelah itu, Matt mengirimkan nomor Harry. Helena memandanginya beberapa saat sebelum kembali ke Instagram. Namun, keanehan terjadi. Saat Helena mengetikkan nama Trey lagi, akun tadi sudah hilang. Helena mencobanya beberapa kali, barangkali saja ada kesalahan, tetapi hasilnya sama. Akun itu seperti tidak pernah ada sebelumnya.
"Yah, ini kayaknya aku diblokir," keluh Helena. "Padahal baru follow aja."
Kedai kue ini punya ciri khas lonceng di atas pintu. Sehingga, setiap ada pengunjung yang masuk, loncengnya selalu berbunyi. Helena yang menyadari pengunjung baru itu Trey buru-buru menyembunyikan wajahnya. "Duh, ini mendadak banget. Aku nggak ada persiapan sama sekali."
Trey tidak sendiri, dia bersama seorang perempuan yang Helena yakini sebaya dengan Trey. Selagi perempuan itu memesan, Trey mencari tempat duduk. Helena semakin gusar di kursinya, terlebih Trey malah memilih meja yang bersebelahan dengannya.
"Ya Tuhan...." Helena buru-buru mengubah posisi duduknya menghadap jendela. "Apa ini? Kok, nyaliku mendadak ciut banget? Bukannya aku dari tadi pengen ketemu Trey? Ini pas orangnya udah ada, malah kebingungan." Helena mendumel kecil sendiri. "Tapi, terserahlah. Pokoknya aku harus bisa!"
Dengan tekad yang hanya tiga puluh persen, Helena pun mendekati Trey. Mungkin karena pergerakan itu membuat bunyi, Trey lantas menoleh—dan langsung berdiri lalu pergi.
"Trey, tunggu!" Helena sontak mengejar. Dia buru-buru mengambil tasnya. "Aku mau ngomong dulu!"
Sayangnya, Trey tidak merespons dan memilih menyeret perempuan yang tadi bersamanya untuk keluar. "Kita cari tempat yang lain."
"Loh, kenapa?" tanya Eleanor. "Bukannya tadi kamu penasaran sama kuenya?"
"Sudah tidak berminat."
"Trey," panggil Helena. "Aku mohon, dengerin aku dulu!"
Mendengar itu, Eleanor berhenti—yang membuat Trey berhenti juga. Helena buru-buru menyusulnya lalu berhenti di depan mereka. Napasnya tersengal. Dari jarak segini, Helena dapat menyaksikan raut wajah Trey yang keras, seolah masih menyimpan kekesalan. Lelaki itu membuang muka.
"Sebentar," kata Eleanor, menoleh ke Helena. "Ini kamu perlu waktu bicara berdua dengan Trey? Kalau iya, aku bisa pergi sebentar buat—"
"Tidak ada sesi bicara apa pun," potong Trey dingin. "Kamu jangan seenaknya memutuskan."
"Tapi, dari tadi dia memanggil kamu terus."
"Lalu masalahnya apa?" Trey memasukkan satu tangannya ke saku celana—dan kali ini pandangannya berpusat pada Helena. Meski begitu, Helena tidak menyukai tatapan Trey yang seperti ini—seolah memasang dinding pemisah yang tidak tergapai. "Aku tidak kenal dia. Baru bertemunya juga sekarang. Jadi, buat apa aku merespons kalau memang tidak ada kepentingan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top