Bab 27

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

A/n: Hai, udah lama juga ya aku nggak update di sini. Soriii bgt🥺🥺 Buat kamu yg udah lupa jalan ceritanya bisa baca ulang bab sebelumnya, ya, baru baca yang ini. Tapi, tapi, aku udah berhasil nabung beberapa bab ke depan dari naskah ini, jadi tinggal koreksi bentar terus pindahin ke wp. Semoga aja aku nggak ada halangan buat ininya ya. Biar nggak update lama lagi hehehe😍😍😍

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

HELENA TIDAK pernah berharap Trey bisa memberinya kesempatan untuk menolak karena sudah tahu jawaban akhirnya; tidak. Maka, dia setuju saja dan berlanjut untuk meminta izin keluar pada Dave yang memberinya interogasi kecil-kecilan. Untuk ini, Helena terpaksa menyeret nama Megan. Karena mengingat lagi bagaimana situasi dingin di antara Dave dan Trey tidak memungkinkannya bersikap jujur.

Helena memberi usapan halus pada jumpsuit-nya ketika mendengar ponselnya berdering. Lalu dia menepi pada pelataran minimarket untuk menerima panggilan. Ternyata, dari Megan.

Belum sempat mengucap sapaan, Megan lebih dulu mencerocos panjang di sana yang membuat Helena menaruh telinganya lamat-lamat. Dia tertegun ketika mendengar nada cemas dari perkataan Megan. Tidak biasanya Megan seperti ini. Ada apa? Namun, mendengar perkataan selanjutnya dari Megan....

"Tunggu aku di sana. Jangan ke mana-mana!" tegasnya. "Tetap nyalain hape kamu, nyalain senternya juga biar lebih terang. Kamu denger aku, kan, Meg?"

Klik.

Panggilan terputus.

"Ya Tuhan...." Helena dengan cepat mengetikan pesan pada Trey untuk menunggu. Lalu mulai mencari informasi mengenai keberadaan Megan yang ada di Pabangbon. "Ya ampun, ini jauh banget. Kalau gini, aku ragu sendiri buat nyetir sampe sana."

Dia mencari kontak Jason untuk memulai panggilan. "Semoga dia bisa. Semoga dia bisa."

Tidak butuh waktu lama Jason menyahut, "Hm, kenapa?"

"Bang, kamu sekarang lagi di mana?"

"Apart si Bernard."

"Daerah Menteng, kan? Aku ke sana, ya? Tolong anterin aku ke Pabangbon, dong."

"Hah?" Jason terdengar kaget. "Mau ngapain jauh-jauh ke sana?"

"Nanti aku ceritain," kata Helena. "Yang penting sekarang kita ketemuan dulu."

Tidak ingin membuang waktu, Helena segera menjalankan mobilnya menuju lokasi Jason. Jason mengabarinya untuk bertemu di depan kedai kopi biar tidak memakan waktu. Begitu bertemu, mereka bertukar posisi dan Jason meminta penjelasan. Helena menceritakan semuanya tentang Megan yang tiba-tiba terbangun di jalanan hutan. Megan hanya ingat hidungnya dibekap lalu pingsan.

"Asal lo tahu, kalau kita mau ke sana, waktunya nggak sebentar. Buat sekali perjalanan pake tol Jagorawi aja waktunya dua jam lebih. Belum lagi pulangnya," terang Jason. "Kita bakal makan waktu di perjalanan."

"Ya terus mau gimana lagi?" Helena masih belum bisa mengempaskan rasa khawatirnya sebelum memastikan secara langsung bahwa Megan baik-baik saja. "Aku nggak bisa biarin dia sendirian di sana!"

Jason mendesah pasrah sebelum menjalankan mobilnya. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak ingin memancing keributan dengan adiknya. "Saran gue, lo nggak usah panik sekarang."

"Tapi—"

"Gue tahu lo cemas dengan keadaan temen lo," potong Jason. "Tapi, lo harus mikirin diri sendiri juga. Tenangin diri lo. Kita bakal sampai sana, ngerti?"

Helena tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Ponselnya yang kembali berdering pun dia abaikan sampai terputus sendiri. Dia tahu siapa pemanggil beruntun itu, tetapi tetap mengabaikannya karena perasaannya sedang kalut sekarang. Helena mengubah ponselnya menjadi diam lalu menyimpannya ke tas.

"Ini ... masih lama, ya?"

"Ya elo pikir?" Jason mendengkus. "Perjalanannya masih lumayan panjang. Mending lo tidur aja. Biar nggak ganggu."

"Kamu pernah ke sana, Bang?"

Jason mengangguk. "Bareng Archimedes. Suasana di sana emang bagus buat bersantai."

"Kalau malem gimana, ya, penampakannya?"

"Ya mana gue tahu. Gue aja belum pernah."

"Tuh, kan!" Helena menggigit kuku jarinya. "Bang, ini bisa lebih cepat nggak? Lama banget!"

"Lo mau secepat apa lagi, Helena? Gue mending pelan asal selamat daripada kebut lalu celaka. Ogah banget punya nasib ngenes gitu," cerocos Jason. "Sabar dikit, ini juga gue lagi berusaha!"

Pada akhirnya Helena tertidur karena kelelahan. Dia juga tidak kuasa menahan tangis karena rasa khawatirnya pada Megan malah makin membesar. Jason yang di sebelahnya hanya bisa menenangkan sesekali mengejek hingga pipi Helena memerah. Jason yang mengerti keadaan, mulai berhenti pada salah satu minimarket untuk beli minum dan camilan pengisi perut. Dua jam melewati tol, jelas memakan energi. Dia segera membangunkan adiknya untuk makan.

Helena menerimanya setengah hati. "Nyampe belum?"

"Sebentar lagi."

"Kenapa berhenti, sih?"

"Gue bukan kaktus yang nyimpen cadangan air. Gue perlu minum. Sabar!" sembur Jason. "Lagian, lo minta tolong berasa nggak ada beban banget. Tiba-tiba gitu."

Helena memalingkan mukanya ke jendela, tidak ingin berdebat. Sikap Jason yang begini hanya bikin tensi darahnya meninggi. Beberapa setelahnya, mobil Helena memasuki daerah Pabangbon. Jalanan yang agak rumit dengan dipenuhi pohon-pohon besar lantas memberi efek khawatir lagi pada Helena.

"Ya Tuhan ... kenapa bisa seserem ini?"

"Lebih serem juga muka lo."

Helena memelotot. Jason berkedip beberapa kali sebelum memberi sorotan lampu pada bangku di depan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Helena tahu kalau sosok itu Megan. Dengan segera, Jason mematikan mesin dan mereka keluar. Helena langsung berlari. Begitu berpandangan, Helena merasa lega luar biasa dan memeluk Megan erat-erat.

"Makasih, Helena." Megan sesenggukan. "Makasih."

"Nggak apa-apa, Megan. Nggak apa-apa." Helena manggut-manggut. "Kita udah ketemu. Kamu baik-baik aja. Kamu jangan takut lagi, ya?"

Megan perlahan mundur dan mereka memutuskan kembali berjalan. Helena yang tahu kalau Jason masih ada di depan kap mobil, memberi isyarat agar tidak terjadi perdebatan. Beruntungnya, Jason hanya berdecak tidak suka sebelum memasuki mobilnya.

Helena menyusul, dia memilih duduk di bangku belakang bersama Megan yang memutuskan untuk tidur.

"Jangan tanya masih lama atau nggak," kata Jason setelah menyaksikan tatapan Helena dari spion tengah. "Kita baru masuk tol, artinya masih ada dua jam ke depan."

"Ya ampun...." Helena mendesah lelah. "Ini sama aja aku ngelanggar janji ke Dad buat nggak pulang kemalaman."

"Sedari tadi lo nggak ngabarin mereka?"

"Nggak, Bang."

"Bego," cibir Jason. "Ya udah, biar gue yang jelasin ke Dad soal ini. Abis ini lo langsung masuk kamar aja."

***

Gara-gara mode diam, Helena lupa untuk mengecek ponselnya kembali. Alhasil, saat mengeceknya lagi, Helena dikejutkan dengan banyak pesan—dan notifikasi panggilan tidak terjawab dari Trey. Bodoh banget, bagaimana bisa dia mengabaikan Trey padahal mereka sudah ada janji buat bertemu?

"Bang, turunin aku di sini! Sekarang!"

"Apa sih? Jangan ngaco! Katanya mau nganter si Megan?"

"Bang...." Helena tidak mungkin membeberkan soal pertemuannya dengan Trey pada Jason. "Aku janji ini permintaan terakhir buat sekarang. Turunin aku! Di sini! Nggak pake lama!"

"Terus temen lo?"

"Ya kamu yang anterin. Udah tahu juga, kan, alamatnya?"

"Nggak! Enak aja kalau ngomong!"

"Bang...."

"Gue bilang nggak, ya, tetap nggak!"

"Turunin sekarang atau aku loncat?"

Helena harap gertakannya barusan ampuh. Menyadari Jason yang bimbang, kemudian mulai menepi, Helena berusaha untuk tidak tersenyum. Dia tetap menahan wajah marahnya sampai turun dan mobilnya menjauh.

Helena melambaikan tangan pada taksi yang kebetulan melintas. Lalu dia mencari ponselnya dan segera menelepon Trey. Nomor lelaki itu tidak aktif. Helena berharap Trey sudah pulang. Hampir lima jam buat menunggu tanpa kepastian bukanlah hal yang menyenangkan. Helena tahu kalau tindakannya sudah salah. Dia sudah mengingkari janji. Helena harusnya mengangkat telepon Trey dan menjelaskan semua yang terjadi.

Tanpa sadar Helena mengerang. "Astaga...."

"Kenapa, ya, Dek?" Sang sopir taksi menoleh sekilas. "Ada masalah?"

"Nggak apa-apa, Pak," balas Helena sambil tersenyum.

Beberapa menit kemudian, taksi itu sampai di tujuan. Helena turun dengan cepat begitu selesai melakukan pembayaran. Dia bahkan tidak memedulikan lagi soal penampilannya—yang barangkali banyak keringat—barangkali rambutnya sudah kusut. Dia hanya masuk buru-buru dan salah satu pelayan perempuan menghampirinya.

"Kak...." Helena terengah. "Atas nama Trey Calson dimana, ya?"

"Oh, pria yang sedari tadi diam terus, ya?"

"Kok? Maksudnya?"

"Dia cuma duduk terdiam tanpa mau menyentuh makanannya. Hampir lima jam dia begitu terus, Kak. Mari saya antar."

Perkataan itu membuat rasa bersalah semakin berkembang di hati Helena. Dia mengekori pelayan itu dengan bahu gontai. Tepat beberapa langkah kemudian, pelayan itu berhenti melangkah, dan Helena mengenali betul perawakan punggung lelaki di depannya. Trey.

"Makasih, Kak," kata Helena, dan pelayan itu pun pergi.

Sekarang, mau bagaimana lagi? Andaikan saja situasinya tidak begini, Helena pasti tidak perlu merasa kesulitan hanya untuk memanggil nama Trey. Namun, untuk berdiam lebih lama juga bukan tujuannya. Dengan jantung berdebar, Helena memberanikan diri. Dia melangkah ke depan Trey sembari memanggil, "Trey...."

Trey mendongak, tatapannya berbeda sekali dari biasanya. Dan hal itu sukses memberi rasa mati pada tubuh Helena sekarang. Dia mencoba memulai pembicaraan, tetapi gagal karena bibirnya hanya bisa tertutup. Keringat dingin mulai dirasakannya setetes demi setetes. Helena berusaha mempertahankan kepalanya untuk tidak menunduk begitu Trey mulai bangun dan berhasil mengintimidasinya.

"Pertama, aku mau bilang sori banget ke kamu," kata Helena cepat. "Sori, Trey, aku nggak bermaksud—"

Trey langsung memotong, "Sudah puas?"

"Trey, aku ... aku bisa jelasin kalau itu—"

Namun, terjadi hal yang di luar dugaan Helena. Trey menamparnya kuat sehingga membuatnya terlempar ke belakang. Pipinya serasa kebas. Suasana restoran mendadak riuh. Para petugas berdatangan, sementara beberapa pengunjung membantu Helena. Helena merasa darah dari hidungnya keluar. Dia menggigit bibirnya antara ingin menahan tangis, atau bersiap melawan Trey karena tindakan lelaki itu sudah di luar batas.

Namun, yang terjadi....

"Dengan kesombongan apa kamu berani memperlakukan aku begitu? Kamu buat aku merasa tolol dengan menunggu di sini lima jam, Helena! LIMA JAM!" Trey memberontak begitu petugas keamanan mulai mencekal tubuhnya, menariknya mundur. Trey menjerit. "Kamu, Helena. Ini salah kamu. Kamu yang buat aku begini!"

Helena hanya bisa mematung. Isi kepalanya penuh dengan pikiran yang berdatangan tanpa rencana sehingga membuatnya tidak tahu harus melakukan apa. Tetapi, rasa pusing yang kini dirasakannya membuatnya goyah. Helena sontak berpegangan pada meja lalu mendongak demi menahan darah yang kembali mengucur dari hidungnya. Namun, sebelum lebih kacau lagi, Helena segera mengirimkan lokasinya pada Alonzo.

Dan kali ini, Helena kalah dengan kegelapan yang merenggut kesadarannya. Dia ... pingsan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top