Bab 26

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

TIDAK INGIN menambah beban di kepalanya, Helena memutuskan untuk memutuskan panggilan serta mematikan ponselnya. Terserah kalau setelah ini Trey tetap nekat datang ke rumahnya. Karena percuma saja dilarang sampai mulut berbusa, Trey tetap tidak mengindahkannya.

Dengan itu, Helena bangkit dari ranjang, mengambil gelasnya di nakas kemudian menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia butuh minum untuk meredakan kecemasannya karena mimpinya tadi.

Di mimpinya, Helena melihat Trey terkurung di sebuah ruangan isolasi dan terikat erat di kursi. Tidak cukup sampai sana, Helena malah mendapat pertunjukan lain ketika dua orang berkostum hitam-hitam tanpa muka menyayat beberapa bagian tubuh Trey tanpa rasa bersalah yang membuat lelaki itu menjerit kesakitan.

Helena tidak mengerti, mengapa dia harus bermimpi seperti itu. Tetapi, itu sukses membuatnya gelagapan dan langsung menelepon Trey demi memastikan kejadian itu hanyalah mimpinya.

Melihat kegelapan di luar kamarnya, Helena membeku. Tangannya dengan sigap meraih pembatas tangga sambil berulang kali mengembuskan napas. "Hah, aku kenapa jadi parnoan gini?" gumamnya. "Nggak. Aku nggak boleh gini terus. Lagian, itu cuma mimpi. Trey-nya juga baik-baik aja, kan?"

Itu cuma mimpi....

Itu cuma bunga tidur....

Ya. Hanya itu.

Lalu, Helena kembali melangkah. Langkahnya pelan sekali karena tidak ingin membangunkan keluarganya yang sudah tidur. Begitu sampai di dapur, dia segera mengisi gelasnya hingga penuh dan meminumnya sekali tenggak. Ini sudah lebih baikan.

Tepat ingin menutup pintu kulkas, Helena melihat ada sebuah minuman cokelat dingin di freezer. Dia lantas mengambilnya tanpa memedulikan itu milik siapa, lalu pemiliknya bakal marah atau tidak jika minumannya hilang.

Sampai di kamar, Helena langsung menyalakan televisi untuk mencari film seru di Netflix. Mumpung besok hari libur, dia manfaatkan saja untuk menonton film sambil menyeruput segarnya minuman cokelat ini. Namun, baru lima belas menit berjalan, Helena mendengar berisik dari jendela kamarnya yang seperti tabrakan antara kerikil dan kaca. Helena tahu siapa pelakunya.

Dengan menggerutu, Helena menuju jendela lalu menyibak gordennya keras. Trey ada di bawah. Benar, kan, tebakannya tadi? Dilarang atau tidak, Trey akan tetap datang ke rumahnya. Melihat lambaian tangan Trey begitu mereka bertatapan, Helena tidak punya pilihan selain turun menemui lelaki itu.

Helena menuju pintu utama, membukanya, dan dalam sekejap dia merasakan dingin karena angin tengah malam. Begitu mendongak, Helena mendapati Trey sedang mendekatinya. "Aku datang," kata Trey, membelai rambut Helena. "Demi kamu."

Ya terus demi siapa lagi? Helena mencibir di dalam hati.

"Helena, sebenarnya apa yang terjadi tadi? Kamu sampai meneleponku selarut itu," kata Trey. "Apa ada yang mengganggumu? Atau apa? Ceritakan semuanya ke aku sekarang. Tanpa nanti-nanti!"

"Duduk dulu." Helena mempin jalan dan diikuti Trey di belakangnya. Mereka duduk di sebuah kursi taman dekat keran air yang biasa digunakan untuk mencuci mobil. "Tadi aku mimpi buruk."

"Lalu hubungannya dengan aku?"

"Kamu ada di mimpi aku."

"Aku? Gimana bisa?"

"Trey, meski cuma mimpi, tapi aku merasa itu nyata banget. Suasana mencekamnya, kekejaman merekanya, darah yang ada di mana-mana, kamu yang kesakitan...." Walaupun Helena sudah berupaya untuk tidak memikirkan lebih dalam mimpi itu, entah mengapa rasanya sulit sekali. "Aku lihat semua itu dengan jelas, tapi aku nggak bisa apa-apa."

"Helena." Trey mengambil kedua bahu Helena agar mereka berhadapan. Dia bisa melihat betapa takutnya perempuan itu dari sorot matanya. "Aku tidak tahu bagaimana detailnya mimpi itu—yang katanya tentang aku. Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanmu saat itu dan sekarang. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, aku baik-baik saja sekarang. Aku di sini, di rumah kamu, di samping kamu."

Lalu dia membelai halus pipi Helena. "Jadi, bisa kamu lupakan saja mimpi tadi?"

"Terus kalau itu pertanda, gimana?"

"Kamu cuma sedang ketakutan, Helena. Pikiran kamu jadi ke mana-mana." Ketika Trey mulai memijat dahinya, Helena tidak menepisnya. "Lagian, kalau mau tidur itu jangan lupa berdoa. Biar setan di kamar tidak mengganggu tidur kamu."

"Wah, tadi aku dengar setan sedang membicarakan setan."

Alih-alih tersinggung, Trey tertawa. "Lihat, siapa yang sudah mulai berani bicara begitu?"

Helena lebih memilih meminggirkan badannya dari Trey ketimbang menjawab.

"Helena?"

"Apa?"

"Tumben sekali kamu mencemaskan aku?"

Mendengar itu, Helena lantas menoleh seraya mengecimus. "Siapa juga yang gitu?" cibirnya. "Pede banget!"

"Lalu tadi?"

"Cuma bersikap manusiawi."

Trey bersiap menjawab, tetapi suara dari perutnya yang datang tiba-tiba berhasil menghentikannya dengan rasa malu. Berengsek. Berengsek. Bagaimana bisa? Helena yang mendengar itu lantas tertawa, disusul sebuah guyuran hujan deras yang membuat mereka berlarian menuju teras untuk berteduh.

"Helena, sudah waktunya buat aku pulang," kata Trey. "Kalau gitu, aku—"

"Stay." Helena menahan siku Trey. Lelaki itu tidak boleh pergi dulu. "Seenggaknya nunggu sampai hujan reda dan perut kamu terisi. Sebentar, aku bikinkan kamu mi. Nggak pa-pa, kan?"

***

Ketika Trey menyetujui sarannya, Helena membawa lelaki itu masuk dan menyuruhnya menunggu di dalam kamarnya. Karena hanya di sanalah tempat persembunyian paling aman selagi dirinya masak di dapur. "Nanti kamu jangan berisik."

"Ini ... kamu serius?"

"Udah, kamu sana buruan naik," usir Helena. "Biar perut kamu terisi juga."

Trey sudah menaiki tangga, sementara Helena langsung menuju dapur. Dia membuka kabinet dan masih menemukan stok mi di sana. Setelah itu, dia beralih ke kulkas untuk mengambil telur, saus, kecap, dan beberapa sayuran segar seperti: wortel, sawi, dan daun bawang. Selagi menunggu airnya mendidih, Helena mulai mengiris sayuran dan mulai merebusnya bersamaan dengan telur.

"Helena?"

Panggilan itu membuatnya terkejut. "Ya ampun, Dad, aku kirain siapa," katanya. "Kebangun, Dad?"

Diiringi menguap, Dave pun mengangguk. "Iya, karena haus. Terus kamu lagi ngapain? Loh, masak mie? Buat siapa? Kamu?"

"Hehe, iya. Aku mendadak laper." Helena tersenyum kikuk, sedikit merasa bersalah karena sudah berbohong. Lalu, dia mengangkat telur dan sayuran sebelum beralih merebus mi. "Makanya aku bikin, sekalian nanti buat temen nonton."

"Oh...." Dave membuka kulkas. "Kok, es cokelat Dad hilang, ya? Perasaan tadi masih ada. Padahal, buat dapetin itu asisten Dad harus ngantri hampir sejam. Laris banget soalnya."

Helena sontak membuka mulutnya. "Dad, itu ... maaf banget ... aku yang minum es cokelatnya tadi."

"Oh, ya udah. Udah habis juga." Ketika Helena menawarkan untuk menggantinya besok, Dave menolak. "Nggak perlu. Dad juga sebenarnya nggak pengen-pengen banget."

Lalu Dave menuangkan air dingin dari kulkas ke gelasnya, dan diminumnya sekali teguk. "Kalau gitu, Dad masuk kamar lagi, ya? Kamu jangan bengong mulu. Nggak baik, ini udah tengah malem. Tuh, kompornya masih nyala."

Dave mengangkat tangan kanannya, pertanda kalau perbincangan sudah selesai. Helena mengembuskan napas panjang sebelum memindahkan mi ke piring. Lalu mengambil sendok, garpu, serta minuman soda botol.

"Trey?" panggil Helena begitu memasuki kamarnya. Dia melongo ketika menyaksikan Trey sudah tertidur sembari memeluk boneka beruang miliknya. Dengan segera, Helena menaruh piring dan botol di tangannya ke meja. "Dia kok bisa-bisanya tidur padahal perutnya lagi laper?"

Helena duduk di kursi belajar sambil memandangi Trey yang tertidur lelap. Dalam keadaan begini, Trey terlihat polos sekali. Tidak ada tatapan garang seperti biasanya. Tidak ada senyum usil yang sering kali membuatnya jengkel luar biasa.

"Terus gimana caranya aku bisa tidur?"

"Hei, kapan lagi kamu bisa tidur seranjang sama laki-laki hot, Helena? Ayo lakuin. Tidur di sebelahnya. Jangan kasih jarak di antara kalian. Syukur-syukur Trey nggak sadar kalau kamu peluk-peluk dia sampai pagi!" ujar sisi malaikat merah Helena yang sarannya menyesatkan.

Tidak lama, sisi malaikat putih Helena ikut bersuara. "Jangan! Walau kalian cuma tidur bareng, tetap aja nggak boleh. Kemungkinan lain bisa aja terjadi. Dengan kamu biarin Trey masuk kamar kamu aja udah salah, apalagi sampe tidur bareng? Gimana kalau tiba-tiba ada orang masuk terus melihat kalian? Nama kamu yang jadi jelek, Helena. Ingat itu."

Sementara Helena semakin bingung harus berbuat apa. Dia menggigit kuku jarinya demi mencari ide terbaik.

"Trey, minya udah jadi. Kamu nggak mau makan dulu?"

Tidak ada jawaban. Ya iyalah, Trey-nya saja sudah tidur. Karena tidak memiliki ide lain, Helena akhirnya mengikuti saran malaikat merahnya untuk tidur seranjang dengan Trey setelah mengunci pintu kamar.

Lalu Helena mulai menutup matanya, tidak ingin memikirkan hal lain sampai besok pagi.

***

Trey mulai mengerang saat merasa dadanya agak sesak. Dia mengernyit begitu melihat Helena yang bersandar manis di dadanya. Kali ini, Trey mengabaikan rasa sesak di dadanya dan mengusap berulang kali rambut Helena.

"Cuma karena boneka beruang aku sampai ketiduran?" gumam Trey begitu matanya melihat boneka itu terkapar di lantai.

Trey membiarkan Helena tidur sampai beberapa menit kemudian. Begitu merasa sentuhan lembut membelai dadanya, tanpa sadar dia mengerang. Celananya mulai sesak. Dan daripada jadi bagaimana-bagaimana, dia segera menyingkirkan Helena dari tubuhnya.

"Helena...." Trey mendengkus. "Bangun kamu!"

Helena mengernyit begitu merasa tidurnya terganggu. Dia mulai membuka matanya pelan-pelan dan terkejut menyaksikan ekspresi Trey yang jengkel. Tetapi, bukan cuma itu, dia melongo begitu menyadari dinding guling buatannya sudah hancur. Helena spontan duduk dan merasa kepalanya pusing. "Aduh!"

"Sudah puas kamu menyiksaku?"

"Menyiksa gimana?"

"Kenapa bisa kamu tertidur menyerempet ke arahku? Memelukku? Genit banget jadi perempuan!"

"A—apa?" Helena syok. "A—aku meluk kamu?"

"Bukan cuma itu, lihat." Helena mengikuti arah pandang Trey yang mengarah ke pangkal paha. Seketika perempuan itu menyesal. "Hormon pagiku makin membeludak karena kamu!"

"Kok, aku lagi?"

"Ya karena memang salah kamu!"

"Hei, yang mutusin buat tidur di sini kamu sendiri." Helena mendengkus lalu beranjak untuk mengambil sepiring mi semalam. "Aku cuma tawarin kamu makan. Tuh, bilangnya kamu laper. Giliran udah dibuatin, malah tidur. Nggak tau diri banget sih?"

Trey menyerobot piring yang ada di tangan Helena. Ekspresinya langsung berubah riang. "Aku makan sekarang, ya?"

"Katanya nggak mau bekasan?"

"Loh? Minya sudah dimakan orang?"

"Boro-boro, kamunya aja tidur. Kalau kamu nuduh aku yang makan, sori, aku nggak bisa makan tengah malem."

Trey duduk di pinggiran ranjang lalu mulai makan. Helena sendiri hanya sibuk mondar-mandir dan kini bergerak membuka gorden jendelanya. Sinar matahari belum terik karena masih pukul enam. Helena memutuskan untuk mengambil botol minum dan duduk di sebelah Trey.

"Kamu mau?" tawar Trey. Helena menggeleng. "Terus kenapa kamu lihat aku melulu?"

"Kenapa pede banget?"

Trey hanya mengedik tidak peduli sebelum melanjutkan makannya. Tidak terasa dia sudah disuapan terakhir—kemudian menaruh piringnya di lantai begitu habis. Trey mengambil sebotol minuman dari tangan Helena lalu meneguknya hingga sisa setengah. Helena refleks menjauhkan diri begitu mendengar sendawa Trey.

"Tidur di kamarku, makan seenaknya, terus sendawa di depan muka? Hidup kamu mulus banget, Trey!"

Trey tertawa. "Terima kasih buat kebaikannya."

"Tinggal begini aja baru bilang makasih!"

Trey memutuskan berdiri dan mengambil beberapa barang yang terjatuh di lantai. Dia juga memberi perintah pada Helena untuk bangun dan perempuan itu menurut. Setelahnya, Trey mulai merapikan ranjang Helena dari seprai, selimut, tata letak bantal hingga boneka beruang yang semalam membuatnya tertidur lebih cepat. Sementara Helena hanya diam dan hanya memandangi Trey yang bergerak ke sana ke mari dengan cekatan.

"Sudah. Anggap saja ini rasa berterimakasihku buat semalam."

Helena bersedekap. "Oke, aku terima."

"Helena, Sayang, kamu bawa temen semalam? Kok ada motor laki-laki di bawah?"

Suara Nada menginterupsi. Helena langsung panik dan spontan mendorong Trey menjauh. Trey yang kebingungan hanya pasrah sampai Helena membuka kaca jendelanya lebar. "Lompat dari sini, Trey! Cepat!"

"Serius? Kenapa kamu tega sekali ke aku? Ini tinggi, Helena! Kalau aku jatuh bisa patah tulang!"

"Haduuh, buruan lompat!"

Trey tak punya pilihan selain melompat. Helena sontak mengembuskan napas lega begitu menyaksikan pendaratan Trey sempurna. Lalu dia membuka pintu dan menemukan Venada yang terlihat masih penasaran.

"Eh, Mommy. Ada apa nih pagi-pagi ke sini?"

"Kamu baru bangun?" Helena mengangguk linglung begitu Venada masuk dan memeriksa kamarnya. "Ini kamarmu rapi banget? Terus kamu udah sarapan? Ini Mom nemuin piring kotor."

"Oh, iya, itu bekas semalam."

Diam-diam, Helena berharap Trey tidak menimbulkan suara begitu menyalakan mesin motornya. Namun, sepanjang dia mendapatkan interogasi dari Mommy-nya, tidak ada tanda-tanda keributan. Aman. Venada melirik jendela yang terbuka, sebelum kembali menanyakan soal motor.

"Hah? Motor? Motor apa?" balas Helena.
"Astaga, tadi Mom lihat di bawah ada—loh, ini kenapa sekarang ngilang? Perasaan tadi motornya masih ada!"

"Mom salah lihat kali?"

"Kayaknya. Ya udah, Mom keluar dulu. Itu kamu piring kotornya jangan lupa buat taruh di wastafel. Jangan kelamaan di kamar, takut banyak semut."

Lalu, Venada pergi dan saat itu juga Helena merasa rongga dadanya melega. Bertepatan dengan itu ada pesan masuk dari Trey.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top