Bab 25

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

TIGA HARI setelahnya, semuanya berjalan normal: Helena tidak melanggar aturan, begitu juga Trey. Mereka masih saling bertemu, mengobrol ringan, dan Helena yang menyempatkan diri membalas pesan Trey yang—bisa dibilang—tidak penting banget.

Pasca kejadian dilabrak kekasih lain dari Isac, Helena berusaha menghindari Isac meski mereka berada di satu sekolah yang sama. Dan sepertinya usaha Helena berhasil. Kesal? Jelas. Namun, Helena lebih memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Lagipula, hubungannya dengan Isac juga hanya sebatas untuk mengancam Megan. Tidak ada keseriusan dan rasa saling cinta.

Karena tahu bahwa Megan membenci Isac, Helena baru berani menceritakan semuanya sekarang. Dia takut hal itu malah menyulut amarah Megan, dan malah menimbulkan masalah lain dengan Isac. Sayangnya, ketakutan Helena terkabul. Baru saja Helena menyelesaikan ceritanya, Megan sudah berdiri seraya mendengkus keras. Wajahnya memerah karena kesal.

"Sialan banget, sih, tuh orang!" semburnya. "Dia kira dia siapa? Masih seumur jagung aja udah sok-sokan buat mendua! Sok iya banget, najis!"

Tidak lama setelahnya, Megan menyelonong keluar kelas. Helena sontak mengejarnya. "Meg! Meg! Kamu mau ke mana?"

"Plis, Helena, kali ini jangan tahan aku lagi!" seru Megan. "Aku harus kasih pelajaran ke si tengik itu biar nggak seenaknya!"

"Meg, tapi—"

"Nggak ada tapi-tapian!"

Kali ini bersikap pasrah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan Helena. Tinggal, dia berharap kalau setelah ini tidak ada masalah yang berlanjut antara Megan dan Isac. Mereka mengarah pada lapangan yang kini diisi Isac beserta teman-temannya yang bermain basket. Helena hanya diam tergugu-gugu di pinggiran lapangan, sementara Megan sudah berlari ke tengah tanpa peduli tatapan heran orang lain karena sudah mengganggu permainan. Dia juga melakukan aksi lain berupa juluran kaki saat salah seorang lelaki tengah men-dribble bola hingga terjatuh. Ketika Isac menatapnya, Megan segera memungut bola basket di bawah kakinya lalu mendekati lelaki itu.

"Bocah sialan!" Megan mendorong beberapa lelaki lain yang mencoba menghalangi langkahnya. "Kalau emang lo bodoh, kenapa harus ditunjukkan banget, sih? Biar apa lo sok-sokan mendua? Mau terlihat keren karena punya dua cewek? Biar lo terlihat wah karena tampang ingusan lo itu laku? Cih! Mati aja lo, tolol!"

Tidak memberi Isac kesempatan bicara, Megan melempar bola basket di tangannya ke lelaki itu. Isac seketika merasa pusing karena hantaman bola itu mengenai kepalanya. Dan dia terjatuh begitu saja saat Megan mendorongnya. Melihat itu, sontak saja Helena melongo. Dia tidak menduga kalau Megan bakal senekat itu kepada Isac.

Megan berlari, merangkul Helena lalu membawanya pergi. "Nggak usah kamu pikirin. Laki-laki monyet kayak dia emang pantes digituin."

"Meg, tapi itu Isac nggak apa-apa, kan, nantinya?"

"Duh, Helena, itu aku masih baik cuma lempar basket. Aku belum kepikiran buat pecahin kaca riasku buat sayat tangannya sampai berlumuran darah." Megan manyun. "Ke kantin yuk. Cari minum."

***

Helena menggerakkan telapak tangannya terbuka, tertutup, dengan maksud perenggangan setelah menulis esai bulanan. Dia melakukannya berulang-ulang sebelum kembali menghabiskan sisa es kopi yang tadi dipesannya. Di kafe Simponi Rasa, Trey pernah meyakinkannya kalau kopi tidak seburuk yang Helena duga. Helena menoleh ke kiri, tepatnya di meja nomor tiga belas dekat dengan pilar di mana malam itu dia bersama Trey.

Helena memutar-mutar gagang sedotan stainless-nya sambil tersenyum. Trey rela menjadi lelaki yang baik dengan memberinya dua gelas kopi. Merasa kurang, Helena kembali memesan sambil menyelesaikan sisa tugas lain. Hanya butuh lima belas menit sampai dia mendapatkan gelas keduanya di meja. Untuk sesaat, Helena terfokus menggerakan jemarinya di keyboard laptopnya, sampai sebuah sapaan berhasil mendistraksinya.

"Kamu Helena, kan?"

Helena menelan ludah, rasa was-was seperti menggedornya dan dia buru-buru merapikan barang di meja. Walaupun kisah lamanya dengan Harry sudah lama usai, tetapi Helena belum siap bertemu lelaki itu lagi. "Mau apa kamu?"

"Kamu buru-buru?"

"Kelihatannya?" balas Helena sinis. Mau itu Harry, mau itu Mike, yang pasti orang itu sama. Laki-laki yang sudah memainkan perasaannya!

"Tunggu! Kita harus bicara!"

"Har, apa sih mau kamu? Kita udah selesai. Nggak ada lagi yang perlu diomongin!"

"Helena...." Mike memegang lengan Helena. "Tolong dengarkan aku dulu."

Helena menyentak pegangan itu. "Aku mau pulang!"

"Duduk, Helena. Kumohon."

Helena akan mengejek dirinya bodoh kalau dia masih terbuai dengan tatapan Mike. Dulu, mata itu selalu terlihat menawan yang membuat Helena terpesona. Dulu, mata itu yang buat dia yakin kalau Harry adalah sosok lelaki impiannya. Namun, sebanyak apa pun yang Helena harapkan dari Mike, lelaki itu hanya memberinya penolakan bahkan di tahap awal.

Diam-diam Helena mengetikkan pesan pada Trey untuk datang ke Simponi. Persetan dengan perjanjian mereka, dia lebih butuh Trey untuk mengusir Mike dari sini. Saat melihat notifikasi pesannya terkirim, Helena bangkit dan tergesa-gesa melangkah menuju toilet. Karena di situlah tempat persembunyian yang sempurna dari kejaran Mike. Setelah berhasil mengunci pintu, Helena langsung menyandarkan tubuhnya di dinding. Dia lemas sekali.

"Helena!" seru Mike seraya menggedor pintu. "Buka pintunya!"

"Pergi, Har!" usir Helena. "Kenapa batu banget?"

"Tidak, Helena, kamu harus dengarkan aku dulu," balas Mike. "Buka pintunya, ya?"

"Aku harus dengerin apa lagi, sih?" Helena menarik napas dalam. Dia berusaha untuk tidak menangis. "Semuanya udah jelas. Kejadian itu udah kelewat bertahun-tahun lalu. Mau ngapain lagi?"

"Ya Tuhan...." Mike mengerang berat. "Apa sesulit ini buat aku meminta waktu kamu, Helena?"

"Ya."

"Helena...."

"Berhenti memanggilku dan pergi dari sini!"

"Tidak!" Mike kembali menggedor pintu. Kali ini lebih kencang. "Aku tidak bisa memendam ini lebih lama. Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Kamu harus tahu sekarang!"

"Terus? Apa mau kamu?"

"Bisa kita kembali seperti dulu, Helena?" tanya Mike tiba-tiba. "Sampai sekarang aku masih cinta kamu."

Kali ini Helena merasa tulangnya dilepas begitu saja dari kakinya, sehingga tubuhnya merosot ke lantai. Dia tergugu-gugu.

Mike curang.

Mike bisa dengan mudahnya mengucapkan kalimat tadi seakan tidak terjadi apa-apa.

Apa Mike tahu, sebelum ini Helena merasa seperti dikurung kesedihan saat cintanya dibalas dengan penolakan?

Apa Mike sadar itu?

Memang benar, Mike orangnya egois banget. Mike hanya bisa pergi tanpa ingin tahu apa akibatnya untuk Helena. Mike hanya seenaknya membawa perasaan Helena terbang, lalu dibiarkan jatuh begitu saja. Seandainya Mike masih punya perasaan, harusnya lelaki itu bersikap jujur dari awal. Katakan saja, dia sudah punya perempuan lain. Sehingga dari sana, Helena bisa mengendalikan perasaannya.

Tidak sadar, air mata itu lolos dari mata Helena. Dia menyembunyikan tangisannya di antara kedua lutut tanpa ingin tahu apa yang diucapkan Mike selanjutnya.

Mike tidak seharusnya begini.

Mike tidak seharusnya datang.

"Helena? Helena? Kamu dengar aku?" tanya Mike. "Aku akan dobrak kalau kamu masih menangis begini. Niat awalku hanya ingin kita bicara. Bukan buat—"

Selanjutnya, yang didengar Helena adalah keributan. Seperti tubuh Mike terempas karena terdengar bunyi kedebam disusul ringisan. Begitu suara Trey terdengar, Helena mengangkat kepalanya sambil berdiri dengan buru-buru dan kakinya masih belum sanggup. Alhasil, dia terjatuh lagi dan kini Mike dan Trey saling beradu mulut.

Helena meringis saat merasa linu di lengannya. Dia berusaha mengangkat lengannya, dan rasa sakitnya makin terasa. Helena kini pasrah dengan bersandar di dinding. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu Trey menemuinya di dalam.

"Pulang, Mike!"

"Tidak! Jangan suruh aku pulang. Aku harus—"

"Mike, kamu dengar perkataanku tadi? Aku bilang pulang! Sekarang! Jangan biarkan aku mendorongmu lagi lalu lukamu makin parah!"

"Tapi, aku perlu waktu bicara! Aku ingin Helena bisa—"

"Apa susahnya buat kamu menyingkir dari sini, Mike? Helena tidak ingin bertemu kamu lagi! Sadar itu!"

Ada jeda cukup lama di sana, tetapi tidak lama pintu terbuka karena dobrakan disusul Trey yang langsung merengkuh Helena. Dia tersentak saat mendengar Helena mengeluh kesakitan saat lengannya dipegang. "Sori, sori," katanya. "Sini, biar aku bantu kamu berdiri lagi."

"Pelan-pelan, Trey."

Trey mengangguk dan beralih memegang pinggang Helena untuk membantunya berdiri. Berhasil. Trey melirik kanan-kiri, barangkali saja Mike datang dan mengacaukan semuanya. Helena membiarkan dirinya kembali bersandar di dada Trey yang bidang. Setidaknya, ini sudah cukup memberinya perlindungan. "Kamu ... kamu tidak apa-apa? Selain lenganmu."

"Ya."

"Lengan kirimu terkilir."

"Aku tahu."

Trey menunduk lalu bertanya, "Kenapa Mike bisa ada di sini?"

"Aku nggak tau. Yang awalnya aku cuma ngerjain tugas dan dia tiba-tiba di sini," balas Helena.

"Kamu menangis?" Ibu jari Trey membelai pipi Helena. "Menangisi apa? Mike?"

Melihat Helena yang seperti kesulitan bicara, Trey sudah mendapatkan jawabannya seperti apa. Dia memeluk Helena lagi.

Lebih erat.

Lebih hangat.

***

(Kilas balik)

"Dan, Helena?"

"Ya?"

"Berarti poin kita sama-sama berkurang. Sisa punyaku, dua. Dan kamu, dua," kata Trey. "Kamu meminta bantuanku, dan aku memeluk kamu."

Iya. Ini masalah kesepakatan menjauhi larangan. Ada tiga larangan yang diberikan Trey: pertolongan, pelukan, dan ciuman. Di awal, Helena sudah percaya diri bisa mempertahankan poinnya tetap utuh sampai milik Trey habis duluan. Namun, belum ada seminggu kesepakatan mereka berjalan, poinnya malah berkurang satu. Kalau begini jadinya, rasa percaya diri Helena jadi turun beberapa persen. Meski dia yakin dua larangan lain dapat dia hindari, tetapi yang namanya waktu selalu memberi kejutan, bukan?

"Emangnya tadi dianggap melanggar, Trey?"

"Kamu lupa kalau kesepakatannya sudah berjalan dari tiga hari yang lalu?"

***

(Kilas balik selesai)

Mengingat itu, tidak sadar membuat Trey tersenyum. Dia mulai melirik laptopnya lagi, dan tersentak saat melihat kalau sekarang sudah pukul satu lebih. Dengan segera, dia menutup laptopnya lalu mengempaskan tubuhnya ke ranjang. Punggungnya sudah lebih enakan sekarang. Rileks. Trey mulai memejamkan matanya. Namun, alih-alih tertidur, Trey kembali membuka matanya saat melihat wajah Helena dalam bayang-bayangnya.

Sialan. Kenapa, sih, ini?

Apa yang terjadi?

Kenapa setiap kali melihat senyum Helena, jantung Trey berdebar?

Trey tidak mungkin menyukai perempuan itu, kan?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu tidak terjawab karena Trey lebih sering mengabaikannya.

Sekarang, Trey bersiap untuk tidur, tetapi dering ponsel di sebelahnya—berikut nama Helena yang tertera di sana membuatnya terduduk. "Halo?"

"Trey...."

"Kamu belum tidur?" Trey tertegun mendengar Helena terengah, seperti sehabis berlarian. "What's wrong with you?"

"Kamu ... kamu ada di rumah? Aman-aman aja, kan? Kamu ... kamu baik-baik aja?"

"Ya, ya." Rentetan pertanyaan itu hanya membuat Trey bingung. "Apa maksud kamu?"

"Nggak ada, Trey. Aku cuma mastiin."

Namun, Trey menyadari ada yang disembunyikan Helena. "Aku perlu ke rumah kamu?"

"Sekarang?"

"Dalam sepuluh menit."

"Tapi, Trey, ini udah malem banget."

"Lalu kenapa?" tanya Trey. "Kalimat kamu tadi juga ambiguitas. Sekarang, aku sedang bersiap-siap. Kamu jangan—"

Tut.

Trey mendengkus. "Sialan! Dimatikan?"

Dan Trey semakin kesal saat mengetahui nomor Helena sudah tidak aktif. Dia refleks melemparkan ponselnya ke dinding dengan keras. Barangkali pecah, barangkali rusak, tetapi dia tidak peduli. Yang pasti sekarang, Trey sudah melompat dari ranjangnya, menuju lemari untuk mengambil celana panjang serta hoodie—lalu berlari untuk mencari sepatu dan terpeleset saat sampai di undakan tangga terakhir.

Iya. Semua itu karena Helena.

Demi Helena.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top