Bab 14

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

A/n: Halo, ini harusnya buat jam 7an tadi. Cuma karena beberapa penulis mengalami keluhan Wattpad yang eror, jadi aku tahan-tahan dan baru publishnya jam sekarang deh. Sori kalau kemalaman😃

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

HELENA MASIH belum bisa mengangkat wajahnya ketika Dave mondar-mandir seperti sedang menginterogasi pelaku kejahatan. Dia sudah menduga kalau kedatangan Daddy-nya di kamarnya mempunyai tujuan.

"Bisa nggak, sih, kamu jangan bikin Dad pusing gini?"

"Dad, tapi aku cuma...." Tidak kuasa menatap mata Dave, dia beralih ke dinding. "Ke rumah Kak Alonzo. Jagain Alaric. Makanya aku pulang telat gini."

"Bohong banget!"

"Dad, kalau nggak percaya—"

"Setop!" potong Dave sambil menjulurkan telapak tangannya. "Dad tahu kalau kamu bohong. Jadi, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu tahu, kan, Dad paling nggak suka sama kebohongan?" Sembari bersedekap, dia duduk di sebelah Helena. "Waktu kamu buat jelasin cuma ada lima menit. Kalau masih tetep diam begini, siap-siap aja dengan risikonya, Helena."

Kalau sudah begini, Helena bisa apa selain menjelaskan seada-adanya?

"Oke. Aku ketemu Trey di rumah Kak Alonzo. Dia ngajak aku buat ngobrol sebentar di salah satu kafe kota. Awalnya aku nolak, aku keinget janji buat cepat pulang. Tapi dia maksa dan aku menyetujui karena nggak mau ribut karena hal sepele." Helena berusaha mempertahankan nada suaranya agar tetap stabil. Dia tidak boleh terdengar sinis atau lesu yang malah melahirkan kecurigaan Dave. Oh! Dan soal ancaman ciuman! Jelas saja dia tidak akan menceritakannya kepada Dave. "Di sana kita mengobrol biasa. Ya, Dad pasti tahu apa yang kumaksud."

"Dan luka di dahimu?"

Helena membeku. Tidak sadar dia mulai menyentuh plester menggunakan telunjuknya. Apa ini harus diceritakan pada Dave juga? Namun, kalau tidak, itu jadi masalah. Dave sudah tahu kalau ada luka di sana. "Apa ini ada kaitannya sama penembakan yang dibilang Trey?"

"Dad, apa ini isi pembicaraan kalian tadi?"

Dave mengangguk. "Kamu tahu siapa yang melakukannya? Apa kamu punya masalah? Atau, ada orang yang nggak suka ke kamu?"

Itu juga yang Helena pikirkan. Penembakan tadi jelas bukan tanpa sebab. Dia yakin, penembakan tadi bukan bermotif untuk menghancurkan kafe. Ini lebih mengarah ke satu pihak—antara dia atau Trey. Dan Helena pikir, peluru tadi untuknya. Karena dia bisa melihat moncong pistol itu mengarah padanya—bukan Trey. "Aku nggak tahu sama sekali tentang itu, Dad. Kalau pun aku punya salah, aku pasti langsung minta maaf."

"Jangan kamu pikirkan. Yang penting kamu nggak apa-apa." Dave mendekat, memberi pelukan hangat pada Helena. "Dad janji semuanya bakal baik-baik aja. Dad akan urus ini secepatnya."

Helena percaya itu. Dave mengecup puncak kepalanya sekali sebelum keluar. Helena memutuskan untuk beranjak ke lemari. Dia mengeluarkan pakaian tidur, melepaskan ikatan rambutnya dan masuk ke kamar mandi. Hanya butuh dua puluh menit sampai dia keluar dengan keadaan sudah bersih. Helena memakai pakaiannya cepat dan beranjak ke cermin rias.

Apa hidupnya akan berubah sekarang? Bagaimana kalau penembak tadi belum merasa puas dan malah terus menembaknya berulang-ulang? Ya Tuhan, dia tidak ingin itu terjadi. Helena mau hidupnya damai-damai saja seperti sedia kala.

Sembari mengeringkan rambutnya, Helena kembali mengaktifkan ponselnya yang kini sedang dicharge. Ada dua pesan singkat dari Matt.

Matt: Malam ini kamu baik-baik saja, kan?

Matt: Hai, sedang apa kamu? Lama kita tidak berjumpa ya? Mau meet up kapan-kapan?

Helena tanpa sadar tersenyum. Dia selalu senang kalau bertemu Matt.

Yuk. Atur aja nanti ya.

Terkirim. Tidak mau kembali memikirkan kejadian bersama Trey, Helena memilih membuka buku. Buku fisika menjadi pilihannya. Sepuluh menit berlalu dan diakhiri erangan. Helena menggelengkan kepala. Belajar malam ini bukan hal bagus.

Helena pun memutuskan untuk keluar kamarnya dan menuju lantai bawah. Dan tanpa sadar dia sudah memasuki kamar Leonard.

"Loh? Kak?" Leo langsung duduk saat melihat Helena di kamarnya. "Ada apa?"

Helena duduk di sebelah adiknya. "Ikut aku yuk?"

"Ke mana?"

"Cari angin. Cari apa, deh. Aku bosen."

Leo mengernyit. "Dih. Ngapain, sih? Gabut banget," semburnya. "Kalau pengin angin, tinggal buka jendela kamar aja. Beres."

"Ihhh! Bukan gitu juga!" Helena menempatkan satu tangannya ke paha. "Kamu butuh apa? Atau pengin apa, deh?"

"Hm, banyak sih yang aku penginin. Kenapa?"

"Nah! Kalau pergi ke supermarket, gimana?"

"Udah jam sembilan. Yakin nekat pergi?"

"Nggak apa-apa. Ayo." Helena menarik lengan Leo. "Buat masalah bayaran, kamu nggak perlu khawatir. Aku yang bayar semuanya."

***

Trey perlu memastikan kalau penglihatannya benar. Barangkali saja dia menghayal tentang keberadaan Helena yang ada di balik lorong mie instan. Maju melangkah, Trey mengedipkan matanya lagi. Tujuh kali. Postur tubuh itu masih berada di sana—sebelum melangkah maju—dan kini menghilang di antara lorong lain. Trey mengambil susu kotak, beberapa perawatan rambut yang diperintahkan Deline lalu mendorong trolinya.

"Sial. Ke mana hilangnya dia?" Trey mendesis. "Mentang-mentang punya kaki yang panjang, seenaknya dia berlari seperti rusa. Sombong banget!"

Trey menengok kanan-kiri. Dia harus segera menemukan Helena lalu membuat ulah. Bukan apa-apa, makin ke sini, dia malah suka membuat perempuan itu marah. Seperti ... seru saja.

"Apa jangan-jangan dia sudah ke kasir?" Merasakan sentuhan di bahunya, Trey langsung menoleh. Ada seorang remaja laki-laki yang kini memandanginya dari atas ke bawah sembari mempertahankan tangannya di gagang troli. "Maaf? Kenapa kamu melihatku begitu?"

"Loh? Seharusnya aku yang tanya," kata remaja itu. "Kenapa Om ngoceh-ngoceh sendiri? Ada masalah? Atau cari orang?"

Trey menggelengkan kepalanya. Sementara remaja itu mengedik lalu pergi. Dengan pemikiran yang masih menebak keberadaan Helena, Trey melangkah lagi. Sudah dua lorong berbeda dia telusuri, dan hasilnya tetap nihil. Namun, ketika menoleh ke kiri, dia mendadak mengernyit.  "Kenapa bocah tadi ada di samping Helena?"

Trey langsung saja menuju kasir dan menaruh semua belanjaannya. Setelah itu dia membawa plastiknya dan ditaruh ke bagasi. Melihat pintu market terbuka, bibir Trey merangkak ke atas. Dia segera berlari. "Oh hai! Ternyata kita bakal bertemu lagi!"

"Kok, Om ini lagi?" Bukan Helena yang menjawab, malah Leo.

"Leo? Kamu kenal dia?" tanya Helena.

"Nggak juga, sih," balas Leo. "Tadi aku nggak sengaja lihat dia bengong sambil ngomel nggak jelas di lorong celana dalam. Nggak tahu kenapa. Aneh."

Mendengar itu, Trey hanya mampu berkedip malu. Berengsek. Bisa-bisanya dia tidak sadar mengomel ini itu di lorong celana dalam?

"Hei!" Helena bersedekap. "Jangan bilang kamu sengaja ngikutin aku sampe sini, ya?"

"Heh? Apa?" Trey mendengkus. "Pede banget kamu!" semburnya. "Sebelum ketemu kamu, aku juga sudah ada di sini buat berbelanja. Lagian, buat apa aku mengikuti kamu? Kurang kerjaan sekali!"

"Belanja? Belanja apaan?" Helena mencibir, "Kantongnya aja nggak ada. Jangan bohong kamu!"

Mendengar semua perdebatan kusir itu, membuat Leo berdecak. "Kak, kenapa kamu ladenin, sih?" tanyanya. "Ayo pulang aja!"

"Bener juga. Oke, ayo pulang."

Dan ketika merasakan tangan Trey mencegahnya, Helena tahu dia sudah tidak punya jalan lain kecuali menurut.

***

Setelah memastikan Leo sudah masuk ke mobil, Helena langsung menarik tangan Trey sambil menyeretnya ke selasaran supermarket. Dia langsung duduk, diikuti Trey di depannya. "Plis, aku nggak ngerti banget sama jalan pikiran kamu," sembur Helena. "Apa, sih, yang mau kamu omongin lagi? Bukannya udah kelar?"

"Memangnya ada larangan buat bicara dengan seseorang?"

"Terus kamu pikir aku nggak punya hak buat nolak kamu?"

Lihat, kan? Baru dipancing segini saja, Helena sudah marah. Bagaimana tidak menyenangkan? Trey tertawa kecil sembari menaruh kedua lengannya di meja. "Well, sepertinya kamu sudah lupa bagaimana keras kepalanya aku," katanya tenang. "Sekali aku ingin bicara, bisa tidak bisa mereka harus menuruti kemauanku."

"Dasar pemaksa!" cibir Helena. "Maniak kontrol!"

"Wow. Itu aku."

Helena mendesah pasrah. Lagi. Cara satu-satunya menghadapi Trey adalah dengan ketenangan. "Jadi, apa yang kamu mau?"

Alih-alih menjawab, Trey menoleh ke plastik belanjaan Helena. "Apa yang kamu beli?"

"Itu basa-basi?"

"Entahlah. Mungkin saja iya?" Trey mengedik tidak acuh. "Kalau di sana ada minuman, mendingan kamu ambil saja satu. Siapa tahu nanti kamu haus."

"Nggak perlu. Lagian ini juga bakal sebentar."

"Percaya diri sekali kamu! Memangnya siapa yang bilang kalau pembicaraan ini bakal sebentar?" Dan Trey kini mendapati wajah Helena yang memerah. Bukan karena merona, tetapi kesal. Dia semakin merasa puas. "Ef-way-ai, kamu tidak ambil minum, aku juga tidak bicara."

"Kamu mengancamku?"

"Well, aku bisa melakukan apa saja. Betul?"

Sabar.... Sabar.... Seraya merapalkan itu, Helena mengambil salah satu botol minuman di plastiknya, lalu menaruhnya di meja. "Lihat? Udah, kan?" katanya. "Jadi sekarang bilang, apa tujuan kamu melakukan ini?"

Trey menyandarkan punggungnya. "Bagaimana dengan luka di dahimu?"

"Oke."

"Oke?"

"Ya gitu. Biasa aja," balas Helena. "Terus itu ... kenapa tiba-tiba muncul luka di sudut bibir kamu? Tadinya nggak ada, kan?"

Mengingat luka ini dari Matt, Trey pun mengangguk. Dia tiba-tiba saja mencondongkan badan sembari menahan belakang kepala Helena yang kini tersentak. "Kira-kira...," katanya, "...luka ini sakit tidak, ya?"

"Kenapa tanya aku?"

"Dan kenapa kamu malah gemetaran?"

"Aku—" Terhenti. Helena berakhir tertegun ketika Trey menarik telunjuk kanannya untuk diarahkan ke bibir lelaki itu. Dia bisa merasakan tekstur bibir Trey yang lembut—ditambah lagi yang merah muda walaupun Trey adalah perokok.

"Bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Kamu percaya kalau penyebab luka ini adalah Matt?"

"Heh? Matt? Beneran?" Helena masih tidak percaya. "Ah, nggak mungkin. Dia baik. Mana bisa memukulmu begitu."

Trey kembali duduk bersama ekspresi muka yang tidak suka. "Artinya kamu belum tahu banyak tentang Adikku."

"Oh ya?"

"Ini bisa dijadikan bukti." Trey menunjuk lukanya. "Kalau orang yang lembut dia juga bisa berubah kasar."

"Ya, pasti ada sebabnya, kan?" Helena memutuskan untuk minum. "Pasti masalahnya ini ada di kamu. Aku yakin."

"Cih! Sok tahu banget!" Trey memutar matanya jengkel. Kenapa dia yang salah lagi? "Padahal awal mula kami berselisih begini, ya, kamu."

"Heh? Aku?"

"Dia seperti diserang rasa cemburu karena aku ketahuan sedang bersama kamu tadi."

"Kok, dia bisa tahu?"

"Dia bilang dari titik lokasi kita."

"Astaga!" Helena tidak menduga kalau Matt bakal bertindak sejauh itu. "Untuk itu, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud buat kalian berantem."

"Nope," balas Trey. "Bukan masalah besar."

"Cuma ini, kan, yang mau dibahas?" tanya Helena. "Kalau gitu, aku udah bisa pulang?"

"Silakan."

Mendengar itu, Helena langsung berjongkok untuk mengambil plastik belanjaannya lalu pergi. Leo sudah menunggu cukup lama di mobil, dan dia tidak bisa mengulur waktu untuk tidak segera tiba. Bisa-bisa adiknya curiga. Helena melangkah cepat, nyaris berlari, sampai berbelok untuk menuju mobilnya. Sayangnya, ketika sedikit lagi tiba, Trey tiba-tiba menarik satu tangannya, menarik dirinya untuk pindah di sekat mobil lain—sebelum melakukan hal yang tidak pernah diduga-duga Helena.

Trey menciumnya.

Yang bisa saja menjadi gerbang pembuka dari kisah mereka yang bakal berbeda dari seharusnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top