Bab 12

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

A/n: Teman-teman, kamu bisa baca karyaku lainnya. Ada It Starts with Hello yang sudah komplet. Kamu bisa baca keseluruhan babnya dengan menggunakan 77 koin. Lalu, ada The Breadcrumber, Dating a Celebrity, dan Drunk in Love yang bakal aku update secara bergantian. Atau ingin buku cetak? Bisa. Kamu bisa membeli karyaku berjudul Pop the Question. Ini bukunya bisa dibeli di Shopee Tokotmindo, yaaa. Sudah ready stock dan ada potongan harganya kalau nggak salah😆

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

"KAMU NGGAK seharusnya ngelakuin ini ke aku," kata Helena saat melihat Trey sudah kembali ke mobil. Laki-laki itu menjinjing sebuah plastik putih sambil mengabaikan pertanyaannya barusan. "Lagian, luka ini cuma lecet sedikit, kok. Aku juga bisa atasi ini sendiri di rumah. Kalau nggak, aku bisa minta bantuan Jason atau Leo."

Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban selama lima belas detik. Karena Trey hanya diam dan sibuk menyetir sampai Helena menyipit ketika laki-laki itu menoleh ke arahnya sekilas. "Kamu pergi bersamaku, artinya tanggung jawabku juga."

"Dih, sok, jadi gentleman banget!"

"Well, itu faktanya," balas Trey. Dia mendongak, menyaksikan papan lalu lintas yang masih menunjukkan angka tiga puluh. "Aku tahu gimana Papamu berikut sifatnya dari Alonzo. Dia selalu berusaha memastikan agar semuanya aman. Dan kalau kamu ingin tahu, kami pernah beberapa berbincang di ruangan yang sama. Artinya, aku kenal dengannya, dan beliau tahu aku."

"Terus?"

"Kamu mau biarkan aku membawamu pulang dengan dahi yang lecet? Yang ada nama baikku jadi jelek!" Saat papan menunjukkan angka nol, Trey kembali menekan pedal gas agar mobilnya maju lagi. "Walau kupikir dia juga akan bingung kenapa kamu bisa denganku. Iya, kan?"

"Kalau kamu tahu, kenapa masih tanya lagi?" Helena hanya mendapatkan Trey yang diam. Dia merengut kesal, melengoskan mukanya ke jendela. "Dan ini ... semua ini ... kamu mau bawa aku ke mana?"

"Aku tahu dimana tempat yang bagus buat obati lukamu."

"Di rumah sakit?"

"Bodoh banget." Trey memutar matanya. "Kalau aku kepikiran buat bawa kamu ke sana, aku tidak perlu mampir ke apotek buat beli beginian."

Trey terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi bimbang. Berulang kali Helena mendapati mata Trey mengarah padanya. Walaupun sebentar. "Kamu mau ngomong apa? Kelihatannya gelisah banget."

"Aku cuma...." Trey menghela napasnya. "Lukanya cuma ada di dahi, kan? Atau ada lagi?"

Helena menggeleng. "Cuma itu."

Dan itu cukup membuat Trey lega. Karena bagaimanapun luka Helena karena tragedi tadi—yang kemungkinan besar menyangkut namanya. Asli, dia tidak berpikir akan ada serangan seperti itu. Apa maksudnya? Apa penembakan tadi murni untuk kafe atau jangan-jangan dirinya? Namun, kalau itu untuk dirinya, lantas mengapa Trey peluru itu seperti sengaja mengarah ke Helena?

Trey mengintip lagi sosok di sebelahnya. Apa mungkin perempuan seperti Helena ini punya saingan hingga tega mencelakai seperti tadi? Ya Tuhan, kalau pun iya, sebetulnya itu tidak pantas. Lagipula, Helena masih anak SMA. Pasti masalah yang mengelilingi perempuan itu hanya sebatas pendidikan atau perkara asmara yang labil. Tidak sampai mempertaruhkan nyawa.

"Kita sampai."

"Heh?" Helena melongo. "Kamu serius?"

"Yap," jawab Trey sembari melepas sabuk pengaman.

Helena pasrah dan ikut membuka mobil. Dia agak bingung soal kata pas yang dilontarkan Trey sebelumnya. Apa tempat sehening ini akan bagus kalau mereka tempati? Kalau dia boleh menilai, tempat ini sebenarnya tidak buruk-buruk banget. Malah, bersih. Namun, Helena tidak ingin mendebat soal itu karena sudah lelah berhadapan dengan Trey.

Akhirnya, Helena ikut duduk di sebelah Trey. Selagi Trey sibuk mengeluarkan benda-benda yang ada di plastik, Helena menoleh ke depan. Ada sebuah danau dengan genangan tenang di hadapannya. Helena tidak bisa memprediksi, apakah air di sana masih jernih atau sudah keruh seperti danau kebanyakan? Di sebelah danau, tepatnya sebelah tenggara ada sebuah tiang lampu yang cahayanya putih terang. Seperti lampu di sampingnya.

Helena meluruskan kakinya. "Aku nggak nyangka kamu bakal nemuin tempat seperti ini."

"Sekarang, kamu sudah tahu. Aku melakukannya juga karena terpaksa. Kamu harus aku obati," terang Trey. "Sini. Menoleh padaku. Kalau kamu miring begitu, pengobatannya tidak selesai-selesai. Dan waktu pulang kamu makin lama."

Helena menoleh sekilas ke bawah. Dia mengernyit. "Kenapa banyak banget? Harusnya obat merah sama plester aja cukup."

"Kalau mau mengobati orang, jangan setengah-setengah." Trey membuka kemasan kapasnya lalu mengambil isinya satu. "Lagian, kalau aku cuma beli obat merah sama plester, aku gunakan apa buat baluri cairannya? Pakai baju aku? Maaf, aku tidak mau. Selain bajuku bisa kotor, itu juga tidak higienis." Tangan Trey yang sebelahnya, dia gunakan untuk menuang sedikit air ke kapas. Lalu mulai mengusap luka lecet itu dengan pelan.

Helena meringis sedikit kala perih menerpanya. Tidak sadar dia sudah memindahkan tangannya ke paha Trey. "Aduh!"

"Sebentar," Trey memberi satu usapan lagi. "Biar debu di sana bisa hilang. Jadi lukamu tidak kotor dan biar bisa cepat mengering." Setelah itu dia sedikit mundur. "Kata Matt, sih, begitu. Aku harap dia benar soal ini. Biar urusanku sama kamu selesai."

"Hei, aku nggak pernah maksa kamu buat obati begini, ya! Kamu sendiri yang mau!"

"Aku tahu," balas Trey. Dia kembali mengambil kapas kedua yang dibaluri obat merah. Lalu kembali menekannya kecil ke dahi Helena. "Dan memang semua ini kemauanku."

Saat Trey menunduk karena sibuk membuka plester, Helena langsung bertanya, "Eh, perlu dipakaikan itu juga?"

"Biar lukamu tidak kena debu," balas Trey. "Memangnya kamu tidak malu punya goresan di dahi? Itu kentara banget."

"Dan kamu pikir kalau aku make plester, makin nggak kentara? Jangan bodoh deh!" Helena menyipitkan mata saat tangan Trey berada di rambutnya.

"Rambutmu panjang. Ada poninya juga. Pakai itu saja buat menutupi si plester. Gampang, kan?"

"Tetep aja jadinya jelek!"

"Sudahlah. Turuti saja apa kataku. Biar semuanya beres. Oke?" Ketika mendapati tatapan mematikan dari Helena, Trey melanjutkan, "Kalau kamu lupa, pertemuan kita sudah lebih dari yang disepakati. Tapi, kamu tidak perlu cemas. Aku sudah memberi tahu Alonzo untuk ini. Kuharap dia mengabari Dave."

Tersadar, Helena buru-buru mengambil ponselnya dari tas. Beruntung saat keluar dari mobil dia masih menyempatkan diri untuk menyampirkan tasnya ke punggung. Namun, miris, ponselnya malah kehabisan baterai.

"Ada apa?" tanya Trey sambil melekatkan plester itu ke luka Helena. Perempuan itu terlihat cemas.

"Ponselku mati."

"Oh."

"Oh? Gila! Kamu ini beneran nggak punya hati, ya?" Helena meraup wajahnya sendiri. "Aku jadi nggak bisa ngabarin, Dad! Ya ampun, semoga aja dia nggak cemas sekarang...."

"Aku sudah memberi tahu Alonzo. Kamu tidak mendengarkanku, ya, tadi?" Trey menyodorkan ponselnya ke Helena. Perempuan itu tidak langsung menerimanya, malah memerhatikan Trey dengan pola sama. Mata, turun ke ponsel. Naik lagi ke mata, turun lagi ke ponsel. Sampai Helena berhenti karena dehamannya. "Mau pakai atau tidak? Mumpung aku sedang baik, nih!"

"Tapi aku nggak hapal nomornya."

Tiba-tiba ponsel Trey menyala dan nama Alonzo di sana. Trey membuka pesannya yang ternyata berisi nomor Dave. Helena kembali menatap Trey. "Pakai saja. Aku baru save nomor Papamu."

"Dari siapa?"

"Alonzo. Sudah. Gunakan saja sekarang. Kabari dia." Helena tidak punya pilihan lagi selain menerima tawaran Trey. "Dan PIN-nya, tanggal dan bulan lahirku."

"Heh? Harus pake tebakan segala?"

"Harus. Biar kamu ada tantangan sedikit." Trey tersenyum miring. "Biar aku kasih clue-nya. Untuk tanggal tidak lebih dari tiga puluh satu, dan bulannya antara Januari sampai Desember."

***

"Biar aku yang nyetir!"

Trey yang tahu kalau sekarang Helena sudah marah, dia hanya tersenyum tanpa perlawanan lebih. Dia langsung disuguhi wajah muram Helena ketika memasuki mobil. "Aku pernah baca di sebuah artikel. Kalau orang yang hobinya menekuk muka, kerutan di wajahnya bakal datang secara tidak wajar dan dari perkiraan biasanya."

"Menurut kamu?" Helena menggeram dengan jari-jari menekan kemudi. Dia melirik Trey melalui spion depan. "Semua ini salah siapa?"

"Ya, mana aku tahu. Memangnya itu keharusan buat aku tahu?"

Beruntung saja mobilnya masih diam di tempat. Helena tidak bisa menebak kalau dia berkendara dengan hati yang panas. "Kamu!"

"Aku?"

"Karena kamu, aku marah begini!" Melihat ekspresi Trey yang tanpa dosa, kekesalan Helena semakin memuncak. "Gara-gara kamu, aku nggak bisa mengabari Dad!"

"Loh? Aku sudah memberimu kebebasan memakai ponselku kali." Trey merogoh saku dan mengangkat ponselnya tinggi-tinggi di hadapan Helena. "Selama apa pun itu. Aku tidak akan memprotesnya. Asalkan kamu bisa menebak PIN-nya."

"Terserah!"

"Padahal gampang."

Helena mendengkus. "Ya itu karena kamu tahu. Duh, nyesel deh aku nurutin kemauan kamu!"

"Menyesal hanya datang dari mulut-mulut orang yang tidak pernah bersyukur," balas Trey. "Kalau kamu lupa, sebelum ini aku memberimu dua opsi. Bicara dengan aku atau cium aku. Kamu memilih yang kesatu lalu aku turuti. Namun, ujungnya apa? Kamu menyesal karena keputusanmu sendiri. Jadi, mau kamu bagaimana? Memilih yang kedua?"

Trey melipat tangannya di dada sembari memiringkan kepalanya. "Kalau itu, aku bakal menerimanya. Sumpah. Walaupun sepayah gimanapun nanti ciuman kamu."

Helena semakin menutup mulutnya rapat-rapat. Berusaha memikirkan yang tenang-tenang. Trey yang menyadari suasana mulai hening, dia beranjak mengaktifkan musik. Helena melotot dan mematikannya. Sayangnya, Trey belum mau menyerah dan kembali mengaktifkannya. Ketika Helena ingin membalas, telapak tangan Trey menutupi benda itu hingga Helena menyerah.

"Kamu mau aku pulangkan dimana?" tanya Helena.

"Di mana saja aku boleh, sih," balas Trey.
"Ya ampun. Aku serius!"

Trey mengangkat wajahnya dari ponsel. Dia menatap Helena. "Lalu kamu pikir aku bercanda? Misalkan kamu ingin menurunkan aku di sini, aku juga tidak akan menolak."

Sayangnya, Helena tidak sejahat itu. Jalanan ini masih sangat sepi. "Maaf, tapi aku bukan orang jahat kayak kamu."

"Bagus. Aku juga malas buat menunggu jemputan." Punggung Trey bersandar di kursi. "Kata Alonzo, mobilku sudah ada di depan rumahmu. Jadi, kalau bersedia antarkan saja aku ke sana."

"Oke."

"Dan, Helena."

"Hm?"

"Zodiakku Taurus. Aku Tell-it-like-it-is. Lahir tanggal delapan belas, bulan Mei."

Helena langsung terdiam. Ketika mobilnya melewati pos polisi yang sudah kosong dan gelap, barulah dia berkata, "Eh? Beneran?"

"Tidak ada gunanya aku bohong." Lidah Trey bergerak menjilat giginya sambil memandangi jalanan melalui kaca. "Memangnya ada yang salah dengan tanggal kelahiranku?"

"Bukan. Cuma tanggal lahir kamu nggak beda jauh sama aku," kata Helena. "Aku sembilan belas Mei."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top