Bab 10

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

KALAU SAJA Helena mengingat rentetan jadwal kesibukan anak semester akhir, harusnya jalan-jalan sore ini tidak termasuk list "have to do"-nya.

Helena lebih baik pulang ke rumah, mandi, makan sedikit sambil buka-buka buku guna mengingat lagi materi yang sudah dipelajari. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan ajakan Megan yang mau melipir ke toko buku. Helena sudah menduga-duga akan seperti apa jadinya. Pasti mereka akan mengobrol, berdebat soal review buku yang tersebar luas di platform bacaan, dan makan. Kalau untuk nonton bioskop, sepertinya tidak mungkin. Hari ini bukan hari libur. Jadi, mereka tidak punya waktu banyak.

Keduanya saling melirik, lalu membenahi peralatan masing-masing. Helena lebih dulu tertawa sambil menyusuri lantai koridor. Sampai sebuah suara menginterupsinya. "Helena?"

"Tante? Ada apa repot-repot ke sini? Mau ketemu siapa?" tanya Helena kepada Alena. "Oh ... apa Tante punya keperluan sama pihak sekolah? Aku bisa antarkan kalau Tante mau."

Alena hanya membalas dengan senyuman. Pemandangan putih abu-abu keponakannya ini sontak mengingatkannya pada masa mudanya dulu. "Kalian sedang sibuk?"

"Nggak begitu juga," jawab Helena. Dia menoleh ke arah Megan yang mengangguk setuju. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Sebenarnya kedatangan Tante ke sini mau bawa kamu, Helena," terang Helena. Dia sudah menduga kalau Helena pasti kebingungan. "Kalaupun itu nggak mengganggu aktivitas kalian."

"Nggak sama sekali," kata Helena.

"Iya, kita bisa maklumi, kok," balas Megan.

Alena tersenyum, sebelum menatap Helena lagi. "Kamu bisa temani Alaric di rumah?"

"Memangnya kenapa?"

"Karena Alonzo belum pulang dan Tante ada keperluan cukup lama ... jadi Tante minta tolong kamu temani Alaric. Kamu nggak perlu khawatir, semua makanan atau minum ada di sana."

Helena sontak menoleh pada Megan. Dia teringat ajakan Megan sore ini. Namun, yang tidak diduga, Megan mengangguk setuju. Megan juga berpesan padanya untuk tidak enak hati karena perjanjian itu bisa direalisasikan di hari berikutnya. Alena sampai ikut meminta maaf pada Megan.

Barulah ketika Megan berpamitan pulang, Alena kembali bersuara. "Nggak seharusnya Tante minta tolong ke kamu. Acara kalian jadi gagal, deh."

"Tante ini apaan, sih. Nggak apa-apa, kok. Aku sama Megan juga bisa undur ini kapan-kapan. Lagian, Alaric juga keponakanku. Masa iya aku nggak bersedia buat nemenin dia?"

"Alaric pasti senang dengan kedatangan Aunty-nya."

Helena tertawa sambil mengikuti Alena. "Dan aku kangen sama ocehan panjang Alaric. Duh, terakhir kali aku dapat nasihat buat ganti model rambut."

"Oh ya?" Alena menahan tawa.

"Dia minta buat aku potong rambut sebahu. Katanya, biar mirip Dora."

***

Helena sudah sampai di rumah kediaman tantenya. Karena sedang terburu-buru, Alena langsung berpamitan. Dia juga menyempatkan cipika-cipiki dengan Helena sebelum pergi.
Helena memasuki rumah, setelahnya mengunci pintu utama. Dekorasi rumah ini unik sekali. Tatanannya juga rapi.

"Sepi banget," gumam Helena sambil berjalan. "Saking sepinya, aku sampai bisa denger langkah kakiku sendiri."

Alaric pasti ada di kamar Alonzo, tepatnya di lantai dua dengan dihiasi beberapa guci keramik, dan rak berisi kumpulan koran di pinggir-pinggir tangga. Jadi, Helena langsung memutuskan ke sana saja. Belasan tangga dia lalui, setelahnya mendongak dan dihadiahi stiker bertuliskan 'Ketuk dulu, baru masuk' yang tertempel di pintu.

Tidak sadar, Helena tersenyum. Pasti ini ulah Alaric yang selalu punya pemikiran yang tidak terduga. Dia juga mendengar suara Alaric yang tengah berteriak seraya bernyanyi kecil. Ketika pintu dibuka, kedua mata Helena melebar. Banyak sekali mainan yang sudah tersebar secara berantakan di lantai juga kasur.

"Hmmm, sepertinya kamu sedang asik sendiri," cibir Helena. "Kamu nggak kangen aku, Aric?"

"Aunty?" Alaric langsung membalikkan badannya dan berlari. Helena menerima pelukan hangat bocah itu. "Aric sebenarnya kangen Aunty, tapi nggak jadi."

Helena bangkit berdiri lalu berkacak pinggang. Alaric yang kebetulan tingginya hanya sebatas pinggang, perlu mendongak agar bisa bertatapan dengannya. "Siapa yang akan bertanggung jawab soal ini?"

"Menurut Aunty?"

"Hadeh," Helena memutar matanya dengan telunjuknya bergerak ke kanan dan kiri. "Lihat nggak, semuanya berantakan mirip kapal pecah. Pusing aku lihatnya, Ric."

"Kok, pusing? Ini seru, Aunty. Aric punya banyak mainan. Banyak banget...." Alaric berlari ke arah kasur, menaikinya, lalu melompat-lompat girang. Tidak lama, bocah itu menunduk untuk memungut mainan mobil pemadam kebakaran. "Dan ini salah satunya. Aric kepikiran buat kerja sama bareng dia."

"Maksud kamu?"

"Aric, kan, Superman." Alaric menunjuk dirinya sendiri, kemudian ke mobil yang dipegangnya. "Terus mobil ini, bisa madamin api. Jadi, kita kerja sama buat bantu orang-orang yang rumahnya sedang terbakar, deh!"

Lihat, kan? Meskipun agak aneh, tetapi Helena akui niat Alaric baik sekali. Dia geleng-geleng saja. "Nah kamu, udah makan belum?"

"Aric?"

"Siapa lagi?"

"Kalau Aric, sih, belum. Kalau Maddie...." Alaric mengedik. "Nggak tahu, deh. Coba tanya sendiri."

"Maddie siapa?"

"Tuh," Helena tidak bisa menahan tawanya saat Alaric membawa sebuah boneka beruang untuk dipangku. "Kenapa ketawa? Nggak suka, ya, kalau Aric punya boneka begini?"

"Sejak kapan Aric suka boneka?"

"Ini pemberian Eyang, tahu! Katanya cowok juga pantas buat main boneka. Apalagi boneka ini empuk. Enak banget buat Aric peluk. Daripada meluk Ayah malah nggak bisa napas sendiri!"

"Oke, oke," balas Helena, berusaha tidak tertawa lagi. "Mendingan sekarang kita beresin semua ini. Abis itu, kamu mandi, ganti baju, baru makan."

"Ayeay! Siap, Kapten Aunty!" Alaric mengepalkan tangannya di udara. "Oh, iya. Aric punya banyak stok es krim, loh. Aunty mau nggak?"

"Heh? Kesambet apa kamu?" Helena memicingkan matanya. "Tumben banget nawarin gitu ke aku?"

"Nggak pa-pa," Alaric duduk lagi. "Aric bosen jadi jahat melulu, pengin coba baik hati. Siapa tahu masuk surga, terus bisa buat rumah es krim."

***

"Aunty!"

"Hm?"

Alaric mengubah mimik mukanya jadi cemberut. "Ayo suapi Aric lagi! Kenapa malah bengong?"

"Ih, nggak bengong, kok," balas Helena. Ia melirik televisi yang masih menyala, kemudian mengangkat sendok berisi nasi juga ayam. Alaric membuka mulutnya. "Kamu harus makan yang banyak. Biar sehat."

"Nggak mau banyak-banyak, nanti gendut."

"Lah? Kenapa?" tanya Helena. "Padahal, anak seumuran kamu lucu, loh, kalau punya pipi yang chubby."

"Nggak. Itu jelek, ih!" tolak Alaric. "Lagian, kenapa bisa sampe berpikir gitu, sih? Aric itu pengin jadi Superman. Nah, kata Ayah, kalau jadi Superman itu badannya harus tinggi besar. Punya banyak otot di lengan dan perut. Biar kelihatan keren dan kuat." Lalu, Alaric menekuk kedua lengannya untuk memeragakan gaya seperti binaraga. "Biar monsternya pada takut! Coba kalau Aric jadi gendut? Yang ada diketawain sama monsternya karena engap duluan kalau lagi adegan mengejar."

"Kan, bisa terbang."

"Kalau terbang melulu yang ada nggak keren dong, Aunty," terang Alaric. "Sesekali lari juga."

Selagi Alaric masih mengunyah suapannya, Helena mengangkat badannya untuk menggapai ponselnya yang berdering di atas meja. Dengan badan sedikit condong, dia melihat nama Daddy-nya di sana. Alaric memberikan anggukan kecil saat Helena meminta izin untuk mengangkat telepon. "Iya, kenapa, Dad?"

"Kamu lagi di mana? Kok, belum pulang-pulang?"

"Aku ada di rumah Tante Alena. Nemenin Aric." Helena sedikit menggeser tubuhnya hingga bisa bersandar di pinggiran laci. "Kasihan, Dad, dia sendirian. Tante Alena katanya lagi ada urusan. Dad, maaf, aku lupa kabari soal ini."

"Oh, begitu," balas Dave, Daddy Helena. "Ya udah kalau begitu. Dad bisa memakluminya, kok. Terus, kira-kira jam berapa kamu pulangnya nanti?"

"Aku nggak bisa mastiin, sih. Tunggu orang rumah datang aja." Helena melirik arlojinya di tangan. "Tapi, kayaknya nggak bakal lewat dari jam sembilan, Dad."

"Kamu bawa mobil, kan?"

"Bawa, kok."

"Kamu mau Dad ke sana?"

"Eh? Ngapain?"

"Nemenin kamu lah. Siapa tahu kerepotan sendiri."

"Dad...," kata Helena, "nggak usah, ah. Dad masih di mana sekarang? Udah pulang?"

"Hmmm."

"Ya udah. Mendingan sekarang istirahat aja. Capek tahu," balas Helena. "Aku juga bisa handling semuanya, kok. Aric juga untungnya nurut gitu."

"Oke kalau begitu. Dad tutup, ya."

Setelah itu, panggilan pun terputus. Helena kembali pada Alaric yang kini sudah terduduk di lantai. Punggung bocah itu sedikit menekuk dengan dua lembar kertas di depan. Helena menyaksikan Alaric tengah membuat sebuah pola lingkaran yang bentuknya tidak sempurna.

Helena menghela napasnya. "Kalau mau bikin lingkaran, mustinya kamu pakai jangka. Biar lebih rapi. Nggak begini."

"Aunty bawa?"

Gelengan kepala Helena membuat bibir Alaric cemberut lagi. Namun, bocah itu masih bersedia membuka mulutnya sampai isi piringnya habis. Alaric juga menerima sodoran jus mangga dari Helena dan meneguknya hingga tersisa setengah. Setelahnya kembali larut dalam kegiatan menggambar. Sedangkan Helena, dia menaruh piring juga gelas tadi ke wastafel untuk mencucinya satu persatu.

"Aunty!"

Setelah beres, Helena tinggal meletakkan piring juga gelas tadi ke rak. Lalu, dia mengelap tangannya yang basah ke salah satu kain di pantry. "Kenapa?"

"Look at this!" Alaric terlihat girang sendiri. Helena menunduk dan melihat yang digambar Alaric. Hanya ada sebuah bentuk persegi panjang berdiri dan beberapa hiasan berupa huruf m. "Berapa nilai untuk skyscraper ini? Delapan? Sembilan? Atau ... jangan-jangan sepuluh?"

"Skyscraper?"

"Iya! Lihat, bentuknya udah sama banget, kan? Ini berkat ajaran Ms. Alessia tahuuu!" Alaric mengambil satu tangan Helena. Wajahnya berharap sekali. "Sembilan?"

"Boleh, deh."

Alaric mencebik. "Ih, Aunty, kedengarannya nggak rela gitu."

"Beneran, kok," Helena mengambil hasil gambar Alaric. "Aku bakal kasih nilai sembilan. Gambaran kamunya aja bagus."

"Yeay!" Alaric berlari ke ruang tengah diikuti Helena. Dia sempat melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan angka enam. Helena yakin, sebentar lagi Alonzo pulang. Dengan begitu, dia bisa kembali ke rumah dan beristirahat. Helena hanya perlu menunggu sebentar lagi.

Terdengar bunyi bel ketika Helena ingin duduk. Dengan helaan napas, Helena pun beranjak pergi dan mulai membuka pintu utama. Dugaannya benar. Itu Alonzo yang datang dengan senyuman terukir di wajahnya meskipun terlihat lelah. Simpul dasinya sudah tidak berbentuk. Jasnya pun tidak terpakai lagi dan hanya disampirkan ke lengan. Helena menerima kecupan singkat Alonzo di pipinya.

Namun, melihat keberadaan seseorang di belakang Alonzo, langsung membuatnya bergegas ingin pulang. "Kak, aku izin pulang, ya?"

"Ada apa denganmu, Helena? Kenapa mendadak sekali?" tanya Alonzo.

Helena tidak mungkin mengatakan sejujurnya tentang keberadaan Trey yang mengganggu. Dia juga mendapati tatapan Trey padanya ketika mengangkat tas dari sofa. "Aku udah disuruh Dad buat segera pulang. Katanya mau ada ... makan malam. Ya. Makan malam di luar! Aku bisa pulang sekarang, kan, Kak?"

Trey masih menatap Helena dan itu hal yang buruk banget. Terlebih, ketika Alonzo hanya mengedikan bahu tidak acuh lalu pergi begitu saja. Dia harus segera pergi dan terbebas dari Trey. Sungguh, kekesalannya pada Trey perkara malam itu masih ada. Segala hinaan yang Trey lontarkan padanya masih dia ingat.

Beranjak pergi, Helena tiba-tiba merasakan tarikan tangan Trey pada lengannya. Dan kemudian dia merasa tubuhnya limbung saat laki-laki itu menariknya keluar. Pintu tertutup dan Helena terkurung di antara pilar-pilar menjulang dan badan kukuh Trey. Aroma lelaki itu terasa sekali di indera penciuman Helena. Maskulin. Seperti percampuran antara parfum dan feromon lelaki itu setelah seharian beraktivitas.

"Kita harus bicara."

"Nggak ada yang perlu dibicarakan. Aku mau pulang," tolak Helena. "Bisa minggir sekarang?"

"Kalau begitu, biar aku ralat kalimatku sebelumnya." Trey menatap Helena tanpa berkedip. Bibirnya membuka sedikit saat lelaki itu tiba-tiba maju untuk membisiki Helena. "Kasih aku kesempatan buat bicara, atau aku cium kamu di sini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top