° Two °

Sudah seminggu berlalu, Su akhirnya memilih untuk bertemu Sherry sekarang-sebab, ini adalah momen yang paling tepat, mendengar kabar bahwa Sherry baru saja sadar.

Sebenarnya, Su sangat ingin menghampiri Sherry, ia sudah menguatkan hati untuk takkan 'hancur' ketika melihat sosok gadis itu terbaring tak berdaya.

Namun, dunia tidak mengizinkannya. Selalu saja ada yang menghalangi Su tiap kali ia sudah melangkah menuju ruangan tempat Sherry dirawat. Seperti misalnya-korban tiba-tiba bertambah sangat banyak, dan Su sebagai dokter terhebat di sana harus turun tangan.

Sekarang adalah saatnya.

Kini Su berdiri di depan pintu kamar Sherry. Tangan kanannya membawa sekeranjang buah apel untuk ia berikan pada gadis itu.

Su menarik napas dalam-dalam, ia mengetuk pintu beberapa kali sampai terdengar suara yang menyuruhnya masuk. Diputarnya kenop pintu itu, ia lantas memasuki ruangan.

Gadis berhelai hitam itu terlihat jelas terkejut, ia spontan berkata, "Su?"

Su hanya membalas sapaan itu dengan senyuman pahit. Tanpa aba-aba lagi, ia mendekati ranjang tempat Sherry berbaring, ia duduk di kursi yang ada tepat di sebelah ranjang itu. Sepasang netra fuchsia milik Su memandang ke seisi ruangan-matanya tertuju pada sepiring bolu yang ada di atas nakas.

"Ah, itu kue buatan Sakura dan Kalpas. Tadi mereka menjengukku dan membawakan bolu." Sherry tertawa ketika mengingat dua rekan sesama Cocoon yang menjenguknya dengan cukup chaos, di mana Kalpas dan Sherry bertengkar lantaran Kalpas meledek Sherry, untung sekali Sakura ada untuk melerai mereka. "Kalau kau mau coba, makan saja. Rasanya enak, kok."

"Aku tak menyangka Kalpas bisa membuat bolu seperti ini, lho! Kalau Sakura sih memang sering."

Sherry ingin melanjutkan ceritanya atau berbincang-bincang dengan Su, menanyakan kejadian apa yang sudah terjadi selama ia tak sadarkan diri. Namun, sejak tadi Su tetap terdiam.

"Su?" Sekali lagi, Sherry memanggil sosok itu.

Ia tetap diam. Su meletakkan keranjang apelnya di samping piring bolu tadi, mengambil salah satu apelnya dan mengupasnya dengan pisau kecil yang ia bawa. Su juga sudah menyiapkan piring kecil dan garpu untuk memudahkan gadis itu memakan apel nanti.

"Makan apel ini, ya, Sherry."

"Aku tidak suka makan buah ... rasanya masam."

"Aku suapi."

Sherry memilih untuk mengalah, Su sudah repot-repot membawakannya apel, bahkan sampai mengupasnya supaya ia mau memakan apel itu. Su meletakkan potongan apel kecil itu di atas piring, mengambil sepotong dengan garpu kemudian menyuapi Sherry.

"Manis," kometar Sherry.

Laki-laki itu masih bungkam. Sejujurnya, Sherry sangat bingung atas tingkah Su-ia terlihat lebih diam dari biasanya, bahkan sejak tadi Sherry berbicara pun Su tidak menimpali.

Sherry menyadari satu hal.

Su pasti sedang marah-atau khawatir, atau apapun itu. Sekian tahun ia mengenal Su, Sherry sudah paham betul bagaimana gelagatnya ketika ia memiliki segudang kalimat yang ingin dibicarakan.

Biasanya, Su akan memendam kalimat itu untuknya sendiri. Namun, kali ini tidak bisa.

"Sherry." Su menarik napas dalam-dalam, ia mengembuskannya perlahan, bersama dengan meletakkan piringnya di atas nakas. Ia membuka matanya, sepasang netra fuchsia itu beradu tatap dengan netra hitam sang gadis. "Sampai kapan kau akan begini terus?"

Pertanyaan yang diberikan Su memberikan segudang tanda tanya dalam benak Sherry. Sepasang alisnya bertaut. "Maksudnya dalam konteks apa?"

"Sampai kapan kau akan terus memaksakan dirimu?" ulang Su sekali lagi, sekaligus menegaskan makna dari pertanyaannya barusan. "Bukankah aku sudah bilang? Hatiku sakit ketika melihatmu terluka."

Topik yang diangkat Su cukup berat bagi Sherry, tetapi wajar-sebab sedikit sekali topik ringan yang bisa dibahas di era penuh peperangan itu.

Sherry memandang langit-langit kamar, helaan napas tercelos dari bibirnya sesaat sebelum atensinya kembali tertuju pada Su. "Kau tahu jawabannya, 'kan?"

"Sampai umat manusia berhasil mengalahkan honkai."

Jawaban klasik, Sherry tahu.

Namun, hanya jawaban itulah yang dapat ia berikan. Sebab-mengalahkan honkai adalah tujuan mendiang kakak-kakaknya, untuk hidup di dunia yang damai tanpa honkai.

"Meskipun harus mengorbankan dirimu sendiri?" tanya Su, ia memandang Sherry dengan tatapan getir. "Bukan hanya tubuhmu, tapi pikiranmu."

"Aku sudah dengar dari Vill-V, katanya ingatanmu sedikit banyak terkorupsi lantaran terlalu sering menggunakan Void Archives."

Sherry tertegun. 'Vill-V ... pasti ulah si magician, padahal aku sudah bilang untuk merahasiakannya dari Su.'

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu, Su~? Daritadi kita membahas topik berat, bagaimana kalau kita mengobrol yang lain saja?" Sherry tertawa tanpa dosa, ia ingin menjauhkan Su dari topik ini secepatnya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Sherry!"

Senyum di wajah Sherry menghilang ketika mendengar Su meninggikan suaranya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Sherry mendengar suara Su yang marah seperti itu.

Su beranjak dari posisi duduknya, kedua tangannya menyentuh bahu Sherry. Ditatapnya lekat-lekat netra hitam yang tampak kebingungan itu. "Aku ... aku tak mau melihatmu terluka."

"Karena itu ... kumohon. Berhentilah, Sherry."

Suara yang Sherry dengar terkesan parau, perasaannya berkecamuk. Ia mengerti maksud Su, tetapi Sherry tidak bisa menghentikan apa yang ia lakukan sampai sejauh ini. Sherry tersenyum getir, "Aku tidak bisa, Su."

"Aku tidak memintamu berhenti sepenuhnya, tapi-setidaknya, berhentilah ketika kau sudah sampai di batasmu. Bukankah kakakmu juga berharap kau tetap hidup dengan baik?"

"Bagaimana bisa aku hidup dengan baik tanpa mewujudkan impian kakak-kakakku?!" Entah kenapa, Sherry merasa marah. Emosinya sedang tidak stabil-dan Su menyebut nama kakaknya. "Aku takkan berhenti sebelum impian mereka terwujud. Bahkan jika harus mati, aku tak peduli!"

"Tapi Sherry-"

"Diam, Su! Memangnya kau siapa bisa mengaturku seenaknya?!"

Keduanya terdiam setelah kalimat itu terucap.

Ekspresi yang tak dapat diartikan terpampang di wajah Su. Perkataan Sherry menusuk hatinya. Ia sadar diri dan tahu betul, status mereka saat ini bukan siapa-siapa.

"Maafkan aku, Sherry." Su adalah orang yang berkepala dingin. Ia tak memasukkan ke dalam hati perkataan itu-sebaliknya, ia berusaha memahami Sherry. "Aku terlalu terburu-buru, maaf ya. Aku pergi dulu saja, kita bicara lagi nanti."

Su tersenyum pahit, ia beranjak berdiri dan mengarahkan langkahnya menuju pintu keluar. "Apelnya nanti dimakan, ya."

Sherry terdiam, menyaksikan Su melambaikan tangan sebelum meninggalkan ruangan itu.

Gadis itu mencengkram erat-erat selimutnya, ia memejamkan mata dan membenamkan wajahnya ke selimut itu. "Ah, sial."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top