Phoebe: Kutukan
I've been told a fairytale once, about a princess whom lived happily ever after by only found herself a prince. That's a pity, for it's just one of life's many beautiful lies.
***
Sebuah kalimat di luar ekspektasinya, berhasil melebarkan maniknya, membuat pupil matanya mengecil sebagai reaksi dari perasaan terkejut yang menjalar pula di dadanya.
Phoebe mengerjap, terkekeh. Kali ini, tawanya sungguhan. Belum pernah seumur hidupnya ada orang yang menyetujui kebebasan itu. Kebebasan yang diinginkannya selama ia tumbuh, sebuah euforia yang tak akan pernah terwujud.
"Kamu yakin?" tanya Phoebe seraya membenahi posisi duduknya. "Memangnya, di Inggris juga sama seperti di sini, ya? Berat."
"Tempatnya tidak berpengaruh. Sekali bangsawan, mereka tetap seorang bangsawan. Di mana pun itu, mereka pasti harus melakukan apa yang dilakukan bangsawan lainnya. Bukankah kamu juga seperti itu?"
"Apa?"
"Dahulu saat kamu masih kecil, kau dilatih untuk berjalan anggun menggunakan gaun dengan buku pada kepalamu?" Kini giliran Evan yang membenahi posisi duduknya, dia menatap sungai yang memantulkan sinar rembulan, begitu tenang dengan beberapa kunang-kunang bertebaran.
Agaknya, Evan bisa mengerti mengapa calon istri yang duduk di sampingnya itu menyukai hutan. Nuansa yang diberikan begitu tenang, hati Evan hanyut dibuatnya. Udara yang ada di sana sejuk, berkat banyaknya tumbuhan yang bermekaran.
"Saya tidak diajari untuk berjalan anggun," Phoebe turun dari gubuk untuk berjalan perlahan mendekati sebuah semak dengan buah beri berwarna ungu, "saat pelajaran itu diberikan, saya sudah biasa."
Kedua alis Evan terangkat. "Ah, benarkah?"
Phoebe mengangguk. "Saya tidak suka disuruh-suruh. Kalau memang ada sesuatu yang harus saya kuasai, maka saya akan menguasainya sendiri."
Hebat.
Niat untuk mendekati Phoebe yang melihat-lihat beri ungu yang tumbuh di semak-semak samping sungai, Evan turun dari gubuk. Membiarkan sepatunya dikotori tanah yang hampir basah, berubah menjadi lumpur.
Dia berdiri di samping Phoebe, mengamatinya dengan saksama. Walau sebagian wajah Phoebe tertutup, Evan yakin di baliknya ada seorang gadis cantik yang selalu menutup perasaannya untuk memenuhi keinginan kerajaan.
Kepemimpinan.
Teladan rakyat.
Semuanya.
Kami juga manusia.
Keinginan adalah sesuatu yang normal untuk dimiliki siapa pun. Namun, bagi para bangsawan, hal itu sulit untuk dimiliki. Mereka tidak bisa meminta ini-itu, apalagi harus keluar dari kerajaan dan memulai kehidupan baru sebagai seorang rakyat biasa.
Selain tidak diizinkan karena mereka harus bertanggungjawab atas apa yang mengalir dalam darah, mereka tak diizinkan menginginkan banyak hal karena tidak boleh mencoreng nama baik kerajaan.
Sungguh menyiksa.
Helaan napas terembus dari hidung Evan. Dia tersenyum tipis, menatap hutan sejauh mata memandang di seberang sungai.
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya, M'lady?"
Phoebe terkekeh untuk kali kedua. "Rasanya aneh kalau kau memanggil saya seperti itu."
"Ah, tidak boleh ya? Kamu mau memilih suamimu di masa depan seorang diri nanti?" Evan menoleh, begitu pun dengan Phoebe. Mereka saling tatap, tersenyum satu sama lain.
Phoebe terlihat semakin elok di bawah sinar rembulan.
"Tidak, saya pikir di usia saya yang ke-16 tahun ini, pernikahan adalah sesuatu yang terlalu terburu-buru. Bukankah usia normal untuk menikah bagi wanita adalah 23 sampai 25 tahun?"
Jawaban Phoebe berhasil menyakinkan Evan bahwa Putri Mahkota Kerajaan DunBroch memang benar-benar ingin lepas dari takdirnya sendiri.
Akan tetapi, untuk melepas sesuatu yang telah melekat sejak lahir, tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi, ini menyangkut martabat keluarga dan kerajaan. Bila dia ingin benar-benar lepas, Phoebe harus memiliki sebuah alasan dan rencana yang matang.
Alasan apalagi yang tidak lebih matang dari keterikatannya yang menyiksa? Hidup sebagai Putri dan Putra Mahkota tidaklah mengasyikan. Terkadang--tidak. Mereka selalu merasa iri kepada para rakyat yang bisa memiliki teman dan bermain bebas.
Mereka punya teman, tentu. Namun, teman seperti apa? Setiap bertemu hanya membicarakan tentang aturan baru dari kerajaan, membuat sebuah ikatan tak kasatmata.
Dengan kata lain, pertemanan mereka sebagai keluarga kerajaan hanya sebuah ikatan bisnis semata.
"Apa yang kamu miliki untuk memutus belenggu takdir itu, Putri Phoebe?" Evan menghadapkan tubuhnya kepada Phoebe, masih dengan senyuman tipis miliknya.
Phoebe berhenti mengamati buah beri ungu pada semak-semak, menoleh hanya untuk mendapati Evan menghadapnya seolah siap dengan jawaban apa pun walau bisa jadi di luat ekspektasinya sendiri.
"Tahukah kamu, Pangeran Morven, mengenai legenda Mor'du?"
"Tidak, Putri. Aku bukan seorang pangeran berdarah Skotlandia. Bila kamu berkenan, maukah menceritakan legenda itu bila memang berkaitan dengan jawaban untuk pertanyaanku?"
Gadis bersurai kelam yang terurai bebas, bergelombang sampai pinggang itu berjalan menuju gubuk, terduduk di sana sambil menatap Evan yang berdiri tepat di depan sungai.
"Dahulu, ada seorang pangeran dari negeri Skotlandia yang memiliki tiga saudara laki-laki. Mereka dibesarkan dengan segala latihan dan antek-anteknya, diperlihatian bagaimana caranya memimpin dan bertarung.
"Kemudian, salah satu dari empat bersaudara itu memiliki suatu rasa dalam dadanya. Tumbuh sebuah perasaan egois, menyebar luas dalam tubuhnya ; ia menginginkan takhta itu untuk dirinya.
"Saat ia bertanya kepada sang ayah soal bagaimana caranya meraih takhta itu, sang ayah menjawab bahwa hanya pria paling kuat yang bisa mengalahkan siapa pun termasuk saudara-saudaranya.
"Dengan pemahaman yang salah, Sang Pangeran bertekad untuk memperkuat dirinya dengan berlatih sendirian di hutan agar saudara-saudaranya tidak mengikuti. Agar dia bisa meraih takhta itu untuk dirinya sendiri dengan mudah.
"Motivasi yang dipakai Sang Pangeran adalah, dia harus memiliki kekuatan sepuluh orang pria untuk mengalahkan tiga saudaranya sekaligus dan menjadi pemimpim negeri Skotlandia.
"Seseorang mendengar keinginannya ; memiliki kekuatan sepuluh orang pria dalam satu tubuhnya sendiri. Maka orang itu, yang ditemui Sang Pangeran di pinggir hutan, mengabulkan permohonannya.
"Alih-alih menjadi kuat dan besar, Sang Pangeran malah berubah menjadi seekor beruang hitam yang tinggi. Akalnya yang masih seorang manusia terkejut bukan main, bertanya apa yang baru saja dilakukan orang itu terhadapnya.
"Tentu, orang yang baru saja mengabulkan permohonan Sang Pangeran merasa tidak bersalah. Dia hanya merubahnya menjadi seekor beruang setinggi 13 kaki dengan cakar-cakarnya yang besar, kekuatannya sudah setara dengan sepuluh orang pria. Persis seperti yang diinginkannya.
"Sang Pangeran geram, hendak menyerang orang itu tetapi dia mengurungkan diri. Segala usahanya kini sia-sia, siapa yang akan percaya padanya? Siapa yang akan mengerti geramannya? Dia hanya seorang beruang hitam.
"Mor'du, nama pangeran itu, kemudian melayang begitu saja. Sempat dicari ke mana-mana, tetapi tak satu pun dari pihak kerajaan maupun masyarakat yang pernah bertemu dengannya.
"Seolah menghilang tanpa jejak, seolah Mor'du memang tidak pernah dilahirkan. Kemudian, tidak ada satu pun yang pernah melihat si Pengabul Permohonan yang merubah Mor'du menjadi seekor beruang.
"Cerita ini kemudian menyebar, ketika salah satu penduduk menemukan bangkai beruang dengan banyak luka dan anak panah yang menancap pada tubuhnya. Dia memiliki manik seolah milik manusia, mirip dengan manik mata Pangeran Mor'du.
"Dengan sedikitnya bukti, dia membawa bangkai itu ke kerajaan kemudian diantar pulang. Bangkai itu, diyakini sebagai Mor'du yang telag memberikan akal manusianya kepada wujud beruang yang menjadi kutukan abadinya.
"Nah, Evan. Legenda yang menarik ya? Kalau dilihat dari sudut mana pun, masih tidak masuk akal. Bagaimana bisa cerita ini menyebar hanya dengan begitu saja? Padahal awalnya tidak ada yang melihat."
Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Evan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap Legenda Mor'du yang baru saja diceritakan Phoebe.
Evan berdeham. "Baiklah, lalu apa hubungannya dengan jawabanmu, Putri Phoebe?"
Phoebe hanya tersenyum, menelengkan kepalanya sejenak kemudian membenahi posisi duduknya. Dia mengangkat tangan kanan, jari jemarinya membelai rambut yang menutupi sebagai wajah cantik Phoebe.
Kedua alis Evan terangkat untuk kali kedua. Dia berasumsi bahwa Phoebe akan memperlihatkan seluruh wajahnya secara cuma-cuma. Namun, mengapa?
"Pangeran Evan Skye Morven. Maukah kamu melihatku dengan benar sekarang?"
Sebelum Evan sempat menjawab, Phoebe telah menyibakkan rambutnya. Sepasang manik hijau milik Putra Mahkota Kerajaan Inggris itu kini melebar, memandangi apa yang baru diperlihatkan kepadanya dengan saksama.
"Putri ... Phoebe ...."
***
"Phoebe!" seru Elinor seraya berlari mendekat. Ia memeluk putri sulungnya, menitikkan beberapa tetes air mata kemudian melepaskan dekapannya. Sorot mata Elinor sarat akan kekhawatirannya.
Phoebe tersenyum, menatap Elinor dengan manik yang tersembunyi di balik rambut panjangnya. "Maafkan aku telah lari darimu tanpa izin, Yang Mulia. Syukurlah Pangeran Evan menemukanku."
Ucapan Phoebe membuat Elinor beralih kepada Evan yang berdiri di samping Phoebe, berterima kasih tanpa henti, kemudian menangis tertagan.
Evan hanya mengangguk, mengantar Phoebe menuju kamarnya dengan alasan agar ia tidak lagi keluar tanpa seizin Ratu Kerajaan DunBroch.
Seharusnya, Elinor melihat wajah Evan. Remaja itu terlalu tenang, bahkan untuk dirinya sendiri. Senyuman tipis yang kali ini terukir adalah senyuman paksaan, tidak terlihat walau sebetulnya sangat jelas.
Sesekali, sepanjang perjalanan menuju kamar Phoebe, Evan mencuri pandang sedikit.
Putri Phoebe ....
***
"Putri ... Phoebe ...."
Evan tidak tahu harus mengatakan apa. Pemandangan yang sekarang nampak di hadapannya tidak bisa dipercaya begitu saja. Dia ingin mengatakan sesuatu, menutup rasa terkejutnya dengan senyuman.
Akan tetapi, sebelum Evan sempat melakukan itu, Phoebe telah menurunkan kembali rambut panjang yang selama ini menutupi sebagian rambutnya.
"Akan kujelaskan kapan-kapan, tetapi itulah jawabanku. Mari, Pangeran Evan, sepertinya Yang Mulia Ratu Elinor telah menunggu kepulangan kita."
Evan menggeleng, menyingkirkan segala pikirannya dan mengembangkan sebuah senyuman. Dia membantu Phoebe menaiki kuda putihnya, kemudian Evan menaiki kuda hitamnya sendiri.
Fokusnya kini hanya kepada Phoebe. Rasa penasarannya terhadap Putri Mahkota Negeri Skotlandia semakin memuncak, Evan semakin ingin tahu banyak hal tentangnya.
Setelah dia melihat apa yang ada di balik rambut Phoebe.
***
1481 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top