Phoebe: di Balik Senyuman Itu
Every person has their own secrets. Even the ones who said they don't have any. It's either the fact that they hide their true emotions or their true nature.
***
"Apa? Bukankah Persephone baru saja memberikan instruksi untuk memperbaiki semuanya?" Evan mundur selangkah, menatap Phoebe tak percaya.
Sang putri berbalik alih-alih menjawab pertanyaan Evan yang lebih mirip seperti penekanan. Debat, itulah yang diinginkan Evan. Agaknya, mengatakan bahwa mereka tak perlu mengikuti arahan si penyihir.
Sampailah Phoebe di luar toko, ia tersenyum tipis kepada sang ibu. Elinor merasa kebingungan, ingin sekali ia bertanya tetapi raungannya tak mungkin dimengerti.
Bergantian dua kaki sang putri menuntun tubuh anggun itu menuju satu arah yang spesifik. Entah tujuannya ke mana, tidak ada yang berani bertanya.
Evan baru saja keluar dari gua, ia cepat-cepat membuntuti ketika mendapati Elinor dan Phoebe telah berjalan beberapa saat. Larinya dia perlambat, bermaksud menyamai langkah dengan Phoebe.
"Ke mana kita pergi?"
"Suatu tempat yang belum kaulihat."
Keningnya berkerut-kerut. "Ada banyak daerah dan tempat yang belum kukunjungi, Phoebe. Dan aku belum selesai berbicara."
"Kalau begitu lanjutkan."
Tanpa basa-basi, Evan menyampaikan apa yang ada dalam benaknya. Ia berhati-hati ketika bicara, waspada dengan kehadiran Elinor di belakang mereka.
Disampaikannya pertanyaan demi pertanyaan. Bahwa ia kebingungan mengapa Phoebe malah pergi ke toko antik Persephone padahal beberapa saat lalu sebelum jiwa Elinor beradaptasi dengan wujudnya, dia menolak.
Akan tetapi, ketika mereka tiba dan telah mendengar instruksi si penyihir, Phoebe berkata untuk tidak perlu mengikutinya. Jika Evan harus berkata jujur, ada banyak pertanyaan muncul dalam benaknya.
Sejak enam minggu lalu, di malam saat Phoebe kabur dari kerajaan, menunjukkan mata yang tersembunyi di balik rambutnya yang panjang. Hari ini pun, sang pangeran tidak bisa mengatakan apa pun yang dilihatnya.
Ia kehabisan kata-kata, lidahnya seolah kelu, mulut terkunci rapat. Satu-satunya yang dapat menggambarkan bagaimana dua pasang mata di balik rambut Phoebe itu adalah pupil Evan yang membesar.
Senyuman tipis Phoebe yang terlihat manis kini memuakkan bagi sang pangeran. Ketidakjelasannya membuat Evan sulit mengolah informasi.
"Bukankah sudah kubilang, tempat yang kita tuju akan menjelaskan semuanya. Tergantung kamu, mau dijelaskan dari mana?"
"Awal. Dari semuanya. Mengenai kebebasan itu, aku mengerti. Namun, bagaimana dengan itu? Dari mana kautahu keberadaan toko antik Persephone? Kenapa menurutmu instruksi tersebut tak perlu kita laksanakan?"
Terkekeh, seolah semua pertanyaan Evan hanyalah candaan semata, Phoebe melirik sang tunangan dari ekor mata.
Menyedihkan. Itu yang paling ingin kauketahui? Tidakkah kamu, Tuan Evan, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Mor'du?
Elinor meraung, maniknya menyiratkan rasa bingung. Bisikan-bisikan mereka membuatnya penasaran, apa yang sebetulnya terjadi selama mereka berada di luar lingkungan kerajaan?
Menengoklah sang putri, menatap ibunya yang berwujud beruang cokelat. Tak henti ia mengulas senyum, nampak mencurigakan tanpa membuatnya terlihat bersalah.
"Iya, Ibu?"
Kembali meraung, mengucapkan enam patah kata tanpa dimengerti siapa pun. Hidup sebagai beruang tidak selalu mudah, mereka para manusia belum tentu paham. Kemudian, anatominya tidak mengizinkan Elinor berjalan dengan dua kaki.
Hutan merupakan wilayah terasing baginya. Tak pernah sekali pun sang ratu berjalan di atas tanah basah yang mengotori kaki maupun gaunnya.
Lingkungan yang selama ini ia telusuri hanya istana-istana para kolega dan desa-desa para penduduk. Wilayah-wilayah liar macam hutan tak pernah ia sentuh, Elinor tidak tahu apa yang menunggunya di balik pepohonan.
Ketidaktahuan membuatnya takut, ketakutan membuatnya terisolasi dari dunia di luar batas.
"Aku menebak Ibu ingin tahu ke mana kita pergi dan apa yang sedang kami bicarakan. Tempat tujuan kita tidak terlalu jauh, perbincangan kami bukanlah sesuatu yang buruk."
Evan mengernyit. Bohong, aku tahu bagaimana kamu bila berbohong. Apa sebetulnya niatmu, Phoebe?
Semakin lama mereka berjalan, pohon-pohon di sekitar semakin menjulang. Sinar matahari sesekali menerobos dedaunan, temaram lah jalan mereka. Tidak sesulit itu untuk melihat, tetapi untuk pagi menjelang siang, cahaya yang ada begitu terbatas.
Berhenti mereka di hadapan reruntuhan, kebingungan kembali menangkap benak dua orang yang mengekori Phoebe. Tak satu pun dari mereka berani bertanya lagi, yang ada hanya desahan berat dari Evan.
"Reruntuhan apa ini, Phoebe?"
"Dulunya, ini adalah sebuah gua. Di mana dalam gua adalah tempat pandai besi paling andal milik kerajaan Negeri DunBroch. Disebut gua, sebetulnya tempat ini lebih mirip seperti toko Persephone.
"Hanya saja, ini milik keluarga Beathan. Tuan Evan, masih ingatkah kamu tentang legenda Mor'du?"
Evan hanya mengangguk, setengah lelah dan muak dengan Phoebe yang selalu berputar-putar ketika menceritakan sesuatu. Informasi yang ia dapat setengah, setengah, dan setengah.
"Mor'du dulunya sangat suka menyemprot pandai besi yang bekerja untuk kami. Berkata bahwa pedang yang ia buat tidak cukup tajam, atau tidak pas untuk genggamannya.
"Menyalahkan sang pandai besi karena kekalahan yang ia alami selama perang, luka-luka pada tubuh, dan luka permanen pada wajahnya yang menyilang.
"Obsesi terhadap kekuatan. Begitulah kamu dapat mengatakannya. Terdengar gila, ya? Mor'du adalah pangeran yang gila akan kemenangan. Apa pun caranya, ia harus lebih kuat dibandingkan yang lain."
Evan memotong, berkata bahwa ia telah mengetahui semua detail kecil seperti itu. Bila Mor'du tidak terobsesi dengan kekuatan, mengapa ia memohon kepada seseorang agar dapat kekuatan sepuluh orang pria?
Bebatuan yang menutup pintu masuk mereka pindahkan, lalu melangkah lah ke dalam. Puing-puing gua berserakan, tulang-tulang kotor dan jubah hitam robek sana-sini.
Ada sesuatu yang belah, seperti perisai dengan ukiran menawan. Kapak besi ada di atasnya, terlihat tebal dengan kayu lapuk.
Reruntuhan ini telah ditinggalkan lama sekali, itulah asumsi Evan ketika melihat banyak baju zirah dan senjata di mana-mana.
Elinor meraung, ia tidak mengerti mengapa mereka ada di tempat itu. Sang putri berbalik, berkata bahwa ini adalah salah satu cara untuk mengembalikan wujud sang ibu.
Terkejut, Evan mendekati Phoebe. Ia berbisik, "Bukan itu yang dikatakan Persephone. Tempat ini dingin, tidak seperti instruksinya. Mengapa kau berbohong kepada Ratu?"
Tidak ada jawaban, hanya senyuman memuakkan yang selalu terpampang pada wajahnya yang mulus bak porselen. Amarah memuncak, Evan sudah tidak kuat. Namun, entah mengapa ia tidak bisa mengekspresikan emosinya.
Tertawa.
Phoebe tertawa.
"Apa yang kautertawakan?" Evan mengepalkan tangan, menahan segala emosi yang terasa. Kalimat tanya itu bukanlah hal yang ingin dikatakannya.
Mengapa aku tidak bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan?
"Maafkan aku, Tuan Evan." Phoebe mengibaskan tangan. "Tempat ini memang dingin, tidak hangat bahkan panas. Tapi, itu lumayan hangat!"
Maniknya mengikuti telunjuk Phoebe, membelalak ketika didapatinya seekor beruang berdiri di ujung lorong yang entah ke mana.
Beruang itu tinggi, berbulu hitam dengan banyak senjata menancap tubuhnya. Meraunglah hewan tersebut, berlari ke arah mereka dengan cepat.
Elinor terdiam di tempat, ketakutan.
Evan bersiap dengan pedangnya.
Phoebe tersenyum tipis.
Mor'du.
***
1.064 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top