Phoebe: Aku Tangguh

I'll be a queen whom doesn't need a king.

***

Sejak kecil, orang tuanya selalu mengajarkan Phoebe agar dia bisa membela dirinya sendiri ketika tak ada penjaga yang berada di dekatnya--walau itu mustahil.

Sejak kecil, Phoebe selalu diajarkan untuk membela dirinya sendiri bila dia memang benar. Jangan takut salah jika memang kebenaran ada pada kenggamannya.

Sejak kecil, Phoebe diajarkan bahwa dia bisa melakukan segala sesuatu sendiri kalau saja tidak ada orang di sekitarnya--walau itu mustahil.

Akan tetapi, perjodohan antarkerajaan tak dapat terelakan. Phoebe adalah seorang Putri Mahkota, anak sulung dari Raja Fergus dan Ratu Elinor, yang harus mencari seorang pangeran untuk dinikahinya.

Baru saja kemarin mereka makan siang bersama, kemudian berdiskusi tentang hal itu. Phoebe tidak mendengarkan, sayangnya, dia sedang berkutat dengan makanannya.

Karena itulah, Phoebe sedikit terkejut dengan diskusi keduanya.

"Me ... menikah ...?" Phoebe membenarkan posisi duduknya, menatap kedua orang tuanya dari balik rambut yang menutupi sepasang mata.

Elinor mengangguk. "Sudah saatnya kamu menikah pada usiamu yang ke-16 ini, Phoebe."

"Benar! Ayah yakin kamu akan menarik banyak pangeran kemari, dari dalam maupun luar. Bukankah itu bagus? Kamu bisa memilih mereka saat mereka berkumpul di ruang dansa kita nanti." Fergus menambahkan.

Phoebe hanya tersenyum, menatap kedua orang tuanya yang duduk di ujung meja makan, berseberangan dengannya.

Menikah merupakan sesuatu yang sakral, bagi Phoebe, hanya perlu dilakukan sekali dalam hidupnya. Untuk itu, dia tidak mau terburu-buru. Namun, sekarang dia harus memilih pasangan hidupnya hanya dengan satu pertemuan antarkerajaan saja.

Apakah yang seperti itu bisa?

Tentu saja bisa. Dia adalah Merida Phoebe Beathan, Putri Mahkota kerajaan DunBroch.

"Yang Mulia, bukannya saya mau menolak, tetapi bukankah pendidikan lebih saya butuhkan pada usia 16 tahun ini? Ada banyak buku di perpustakaan yang ingin saya baca."

Elinor tersenyum, dia beranjak dari duduk kemudian dengan eloknya berjalan mendekati Phoebe. Dia duduk di kursi samping putrinya, mengelus puncak kepala Phoebe pelan.

"Oh, Phoebe. Kamu sudah cukup pintar, pendidikan apa lagi yang kauperlukan?" tanya Elinor.

Phoebe hanya bisa tersenyum, ia tak sampai hati untuk menolak kebijakan kerajaan yang juga telah dilalui sang ibu. Bukankah dahulu, ibunya juga dijodohkan pada usia yang sama dengannya?

Jika Elinor bisa melakukannya, menerima segala keputusan Raja dan Ratu terdahulu, maka seharusnya Phoebe juga bisa.

Gadis bergaun hijau yang elegan itu mengangguk, melempar senyum kepada Elinor. Dengan begitu, Elinor tahu bahwa Phoebe tidak keberatan dengan kebijakan istana yang sudah dilaksanakan turun temurun.

"Jadi, Yang Mulia, kapan pestanya akan diselenggarakan?"

Fergus terkekeh. "Anakku yang manis, kapan kamu akan memanggilku Ayah? Kita sedang di ruang makan, berkumpul seperti keluarga biasa! Santailah sedikit."

Phoebe mengangguk. "Maafkan atas kekakuanku, Ayah."

"Hoho, tidak masalah! Untuk pestanya, mungkin akan diadakan dua minggu lagi dari sekarang. Untuk itu, kamu bisa mempersiapkan diri."

"Apakah yang datang akan memadatkan kerajaan, Ayah? Aku tidak mau sampai terlalu padat dan mengganggu rakyat-rakyatku."

Mendengar itu, Raja dan Ratu kerajaan DunBroch saling berselisih pandang. Mereka menghela napas serentak, tersenyum tipis kepada Phoebe.

Rasa bangga itu selalu muncul, hati mereka selalu tergugah karena ketulusan Phoebe. Gadis itu, sejak usianya menginjak tujuh tahun, jiwa kepemimpinannya sudah nampak.

Mereka selalu yakin, suatu saat nanti, Phoebe akan dipandang oleh semua orang sebagai Putri Mahkota yang cantik hatinya. Mereka akan menyayangi anak Raja dan Ratu, merasa berat hati bila Phoebe tidak memimpin negerinya.

Phoebe sendiri, dia tidak banyak berbicara. Semua keputusannya ia simpan dalam-dalam, tahu-tahu saja sudah dilakukan. Dia memang tipe orang yang bekerja tanpa banyak bicara. Bukankah itu menarik?

Dia memang jarang mengatakan apa pun. Suaranya yang jarang terdengar itu membuat orang-orang semakin penasaran akan dirinya.

Merida Phoebe Beathan, Putri Mahkota yang tak dapat ditebak jalan pikirnya.

***

Sejak dua hari terakhir, banyak sekali kapal layar yang berbondong-bondong datang ke negeri mereka. Kapal-kapal itu diisi oleh masing-masing pangeran dari kerajaan seberang dan kerajaan-kerajaan negeri lainnya.

Mereka beragam, ada yang kelihatan sangat tegas dan ada pula yang kelihatan sangat elok. Mereka datang hanya untuk meraih hati seorang Putri Mahkota dari kerajaan DunBroch, Skotlandia.

Sementara itu, para rakyat kelihatan antusias dengan pemilihan calon Putra Mahkota untuk Putri Phoebe. Biasanya, untuk memilih seorang Putra Mahkota yang kompeten, Raja akan melakukan sebuah kontes tertentu yang harus dimenangkan oleh setiap kandidat.

Siapa pun yang memenangkan kontes tersebut, maka dianggap berhak meminang Putri Mahkota yang hendak dilamar. Karena itu, selama dua minggu itu juga, mereka mempersiapkan diri.

Phoebe telah mendengar kabar bahwa semua kandidat Putra Mahkota sudah sampai di negerinya. Dia terduduk di hadapan sebuah cermin, bersolek agar dirinya kelihatan memikat.

Dengan bantuan para pelayan wanita, Phoebe menggunakan korset serta gaunnya. Gaun putih yang anggun, sederhana tetapi terlihat elegan ketika Phoebe memakainya.

Salah satu pelayan hendak menata rambut Phoebe, tetapi dicegah olehnya. Dia menoleh, menatap pelayan tersebut dengan manik di balik rambutnya yang menutupi sebagian wajah.

"Soal rambut, biar saya yang urus. Kalian sudah boleh mengundurkan diri."

Dengan kalimat itu, ketiga pelayan yang membantu persiapan Phoebe kini mengucapkan salam dan pergi dari kamarnya.

Mulutnya mengeluarkan sebuah senandung yang indah, seraya mengisir rambutnya yang bergelombang. Dia tersenyum, seolah senyuman itu tak pernah luntur.

Diam-diam, Phoebe penasaran dengan para pangeran yang akan ditemuinya beberapa jam lagi. Dia ingin tahu, sesemangat apa mereka untuk mendapatkan hatinya yang tak tersentuh selama 16 tahun lamanya.

Dia mengimpan sisir di atas meja rias, berbalik, kemudian berjalan perlahan menuju ruang dansa di lantai bawah. Kamarnya yang megah ia tinggalkan, pintu berwarna cokelat itu ia tutup rapat.

Phoebe tersenyum, masih bersenandung lemah. Lorong lantai dua telah dihias sedemikian rupa, padahal menurutnya hal tersebut tidak perlu. Tamu mana yang akan datang ke atas?

Karpet lantai diganti, kini seisi kerajaan dihiasi dengan karpet berwarna merah yang sedikit kusam. Lampu-lampu hias dinyalakan, seolah mereka memang mengundang tamu yang menjunjung tinggi keindahan.

Riuh suara sekumpulan pria yang sedang berbincang mengitari seisi kerajaan, hingga Phoebe pun dapat mendengar mereka. Dia melewati patung seeorang beruang, kemudian berbelok untuk menuruni tangga.

Maniknya, walau tersembunyi di balik rambut yang panjang itu, dapat melihat sekumpulan Raja dan Pangeran yang asing untuknya.

Hanya dengan kehadirannya, tanpa mengatakan apa pun, semua orang yang berada di ruangan itu bungkam ; terkesima dengan keelokannya.

Betapa cantiknya, indah, menawan. Siapa yang tidak menginginkannya?

Phoebe tersenyum ramah, menganggu kepada mereka ketika Fergus berseru entah dari arah mana, mengatakan bahwa akhirnya putri sulungnya itu telah tiba.

Sebetulnya, Phoebe masih mencerna keadaan. Seharusnya, dia tidak bertemu dengan mereka sampai beberapa saat setelah persiapan. Namun, sepertinya acara dipercepat dengan alasan yang belum jelas.

"Semuanya! Ini adalah putriku, Merida Phoebe Beathan." Fergus merentangkan tangannya di samping Phoebe, menatap setiap Pangeran dan Raja yang ada di ruangan.

Rasa bangganya memuncak ketika Phoebe membungkuk tanpa diminta. Dia kembali berdiri tegak, dengan senyumnya yang manis.

Hanya dengan satu lengkungan itu, setiap Pangeran yang ada di ruangan terkesima. Mereka jadi bersemangat, menginginkan Phoebe untuk diri sendiri.

Cantik, adalah satu kata yang hanya diperuntukkan olehnya.

"Baiklah! Kontes akan dimulai sebentar lagi. Untuk itu, kupersilakan kalian mempersiapkan diri masing-masing, hoho!" seru Fergus.

Semuanya bersorak, meninjuk udara tak bersalah, kemudian pergi dari Kerajaan DunBroch. Phoebe menoleh. "Kapan akan dimulainya, Ayah?"

"Sekarang, tentu saja. Memangnya menurutmu, kenapa mereka pergi keluar bersama-sama?"

Phoebe tersenyum, menerima uluran tangan Fergus kemudian mereka pergi keluar. Lebih tepatnya, mereka pergi ke halaman kerajaan yang luas. Halaman luas itu sengaja dibuat kosong untuk acara-acara seperti ini.

Ada tenda yang telah disiapkan, lengkap dengan tiga singgasana yang diperuntukkan untuk Phoebe, Fergus, dan Elinor. Sementara Phoebe baru keluar bersama ayahnya, Elinor kelihatannya telah lama duduk di singgasana paling kanan.

Phoebe membungkuk. "Yang Mulia," sapanya. Dia hendak menduduki singgasana sebelah kiri, tetapi Fergus mencegahnya.

"Kenapa, Yang Mulia?" tanya Phoebe.

"Apa maksudmu, kenapa? Singgasanamu itu yang tengah. Kamu akan menjadi pemimpin negeri, 'kan? Kamu harus membiasakan diri."

Gadis berusia 16 tahun itu mengangguk, ia terduduk di singgasana tengah. Para Pangeran, calon Putra Mahkotanya, sudah berbaris rapi sesuai dengan urutan.

Adu kejantanan.

Sebentar lagi, mereka akan memainkan pedang, panco, atau bergulat sampai ditemukan tiga orang terbaik untuk nantinya dipilih sendiri oleh Sang Putri.

Semua itu disaksikan langsung oleh keluarga Kerajaan DunBroch, sampai akhirnya secara adil sudah terdapat empat Pangeran yang kompeten. Berlangsung cepat, seolah semua pangeran yang datang sangat menginginkan Phoebe untuk mereka sendiri.

Lebih banyak satu orang dari dugaan Raja Fergus sendiri. Pelayan kerajaan maju, berdiri di depan singgasana Phoebe dengan secarik kertas kuning untuk mengumumkan nama kandidat yang lolos.

"Pangeran yang berhasil lulus sejauh ini adalah Wee Dingwall, putra Lord Dingwall. Mlori Macintosh, putra Lord Macintosh. Young MacGuffin, putra Lord MacGuffin. Dan Evan Skye Morven, putra dari--ah."

Pelayan kerajaan berhenti. Dia berdeham setelah sesekali mencuri pandang kepada setiap kandidat di hadapannya. "Pangeran Morven ... datang sendirian."

Riuh para pangeran dan raja lain kemudian terdengar. Raja Fergus selaku penyelenggara pun ikut tertegun, pasalnya dia tidak tahu ada seorang pangeran yang berani datang sendirian.

Para rakyat yang menonton di balik pagar juga ikut berbisik-bisik. Kemudian, halaman luas itu menjadi ramai dengan suara dari banyak pihak.

Phoebe tersenyum simpul, berdiri dari singgasananya kemudian menampakkan diri kepada semua orang yang hadir di sana. Hanya dengan itu saja, mereka bungkam.

Keelokannya memang sulit ditolak.

"Tidak apa-apa, saya tidak melihat masalah mengenai seorang Pangeran yang datang kemari sendirian. Bukankah begitu, Yang Mulia Raja Fergus?" Phoebe menoleh, menatap ayahnya dengan senyuman tipis.

Fergus mengangguk, dia lompat dari singgasana itu lalu mendarat tepat di samping Phoebe. Dengan semangat, Fergus meminta Phoebe untuk memilih satu lagi kontes agar bisa memilih calon pasangannya.

"Kamu tidak perlu terburu-buru. Mereka bisa beristi--"

"Tidak, Yang Mulia. Saya sudah terpikirkan sesuatu." Phoebe memotong seraya maju untuk memberitahu keempat pangeran yang berhasil melewati kontes-kontes yang disiaplan Fergus.

Dingwall, Macintosh, MacGuffin, dan Morven menatap Phoebe setenang mungkin. Wibawa yang diterapkan sejak sampai di Kerajaan DunBroch tak lepas dari sikap mereka.

Phoebe memanggil pelayan kerajaan, membisikkan sesuatu kemudian pelayaan kerajaan itu pergi. Tak lama kemudian, beberapa pelayan kerajaan lain datang dengan empat target panah dipasang beberapa meter dari tempat mereka berdiri.

Morven, dengan manik hijaunya yang berkilau, mengerjap. "Ini ...."

Tak menunggu lama, Phoebe berjalan dengan anggun ke depan area yang dipasang target panah. Dia merentangkan tangannya, tersenyum lebar kepada keempat kandidat.

"Panahan!" serunya. Seketika, rakyat bersorak penuh kegirangan.

Salah satu bakat yang dimiliki Phoebe, yang tak dimiliki putri kerajaan lain, adalah bakat untuk memanah. Dia bisa menggunakan senjata jarak jauh itu dengan terampil, maka sangat masuk akal bila Phoebe menguji bakat keempat kandidat dalam panahan.

Masing-masing kandidat mendapatkan satu busur dan satu panah. Mereka hanya diberikan satu kesempatan untuk mencetak poin sebesar-besarnya.

Yang pertama memanah adalah Dingwall. Banyak orang dari berbagai negeri mengatakan bahwa Dingwall memiliki wajah dungu yang tak menyakinkan.

Akan tetapi, sejauh ini, Dingwall yang tak pernah menyakinkan khalayak itu selalu berhasil mencari jalan keluar dengan pemikirannya yang tak terduga.

Walau demikian, kemampuan fisiknya memang diragukan. Dingwall memiliki fisik kurus tinggi, sedikit bungkuk, terlihat lemah saat berjalan. Hanya dengan sekali lihat saja, rakyat Kerajaan DunBroch tidak menaruh harapan mereka kepadanya.

Dingwall menarik busur, membidik beberapa saat seraya menjilat bibirnya yang mengering. Dia melepas ekor panah kemudian menutup mata karena tak yakin dengan kemampuannya.

Hening.

Pangeran Dingwall, putra Lord Dingwall, membuka matanya. Ia melihat sendiri panahnya hanya mengenai poin lima.

Dari semua orang yang menyaksikan, hanya Phoebe yang tepuk tangan. "Hebat. Selanjutnya, Pangeran Macintosh."

Macintosh mengangguk, tersenyum lebar dengan bangga. Fisiknya lebih baik dibandingkan dengan Dingwall, tetapi dia dikenal sebagai seorang pemuda yang terlalu gegabah dalam bertindak.

Walau demikian, dilihat dari segi manapun, Macintosh unggul dalam kontes yang dipilih Phoebe. Dia membidik, menarik busur kemudian menahan napas. Tangannya melepas ekor panah, membiarkan benda itu melesat mengenai poin delapan.

Lebih unggul tiga poin.

Semua orang di belakang sana bersorak setelah hening beberapa saat. Phoebe mempersilakan MacGuffin untuk memanah. MacGuffin terkenal sebagai pangeran yang pemurah dan ramah, tetapi dia tidak memiliki banyak bakat.

Penalarannya standar, pun kemampuan fisiknya yang tidak bisa menandingi fisik Macintosh. Bahkan fisik Dingwall sekali pun.

Dia tetap membidik, menarik busirnya sejajar dengan telinga kemudian melepas ekor panah. Panah itu melesat, menancap pada poin empat.

Sekali lagi, hening. Sejauh ini, poin paling tinggi yang didapat adalah delapan, yang dipegang oleh Macintosh.

Kini, giliran Morven, kandidat terakhir. Belum pernah ada yang mendengar nama keluarganya, tidak ada yang tahu bakat dan kemampuannya. Mereka hanya berbisik-bisik, membiarkan Morven menarik busur kemudian membidik.

Lama menunggu, akhirnya Morven melesatkan panah miliknya. Keheningan kemudian melingkupi halamam Kerajaan DunBroch, karena panah milik Morven berhasil mencetak angka sepuluh.

Bullseye.

Sorak sorai terdengar, begitu kencang sehingga tiga kandidat lain hanya bisa menatap Morven tak percaya. Padahal, Morven kelihatan sangat tenang dan tidak mencolok.

Bagaimana bisa dia mencetak angka sempurna?

"Oke." Phoebe mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tidak ada yang menyadari dia telah menggendong tas panah dan busur pada tangan kanannya.

Putri Mahkota Kerajaan DunBroch berjalan menuju area memanah, membungkam semua orang yang menonton. Elinor sempat berbisik, bertanya apa yang sedang Phoebe lakukan.

Phoebe mengambil satu panah dari tas panahnya sambil berjalan. Dia membidik sekilas, menarik busur kemudian melesatkan anak panahnya pada sasaran milik Dingwall.

Sepuluh poin. Bullseye.

Ia mengulang gerakannya sambil berjalan ; mengambil panah dari tas, membidik sekilas, menembak, kemudian mencetak sepuluh poin. Ketiga kandidat yang sasarannya telah dibabat oleh seorang putri kini menganga, tak percaya mereka dikalahkan begitu saja.

Kini, Phoebe berdiri tepat di hadapan Morven. Dia membidik, menarik busur, kemudian melepaskan ekor panah.

Panahnya melesat, membelah anak panah milik Morven yang ada di poin sepuluh.

Kontesnya berakhir dengan Phoebe yang mematahkan pencapaian keempat kandidat. Elinor menatapnya dari singgasana tak habis pikir, sedang Fergus bingung harus melakukan apa.

Phoebe berjalan ke tengah halaman, melepas genggamannya pada busur di tangan kanan. Dia tersenyum, bertepuk tangan seorang diri ketika para penonton menyorotnya tak percaya.

Kemampuan Phoebe sudah sehebat itu.

Berdirinya Phoebe di tengah-tengah lapangan dengan percaya diri, di samping busur miliknya yang digunakan untuk membungkam poin keempat kandidat, seolah memberikan pesan tersirat yang dimengerti setiap orang.

Bahwa Putri Mahkota Kerajaan DunBroch tidak membutuhkan seorang Pangeran untuk memimpin negerinya.

***

2272 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top