Phoebe: Aku Ingin Kebebasan

I want to fly just like birds whom have their own liberty. Please, get me out of this birdhouse. Let me spread my wings to show you the power that I hold.

***

Sebuah permintaan yang sederhana, hanya untuk pergi dari sangkar yang dibuat ; sangkar rapuh yang pada akhirnya dapat dirusak dari dalam, yang menggunakan sebuah gembok untuk menguncinya pun sia-sia.

Sebuah permintaan sederhana, hanya untuk terbang tinggi dan menembus awan. Memberikan kesenangan sementara yang dapat dinikmati lebih lama dari apa yang dimilikinya sekarang.

Sebuah permintaan yang singkat, tetapi tak bisa dia raih. Tidak untuk sekarang, maupun selamanya. Belenggu rantai takdir yang menguasainya bahkan sejak dia masih berada dalam kandungan.

Terkadang, pertanyaan yang sama selama bertahun-tahun hidupnya selalu terbesit jelas. Mengganggu pikiran yang seharusnya fokus, memecah atensimya menjadi dua.

Terkadang, Phoebe selalu bertanya-tanya mengapa dia terlahir sebagai anggota keluarga kerajaan. Kenapa dia terlahir memiliki darah Kenapa dia menjadi seorang putri mahkota yang harus mengemban beban berat seperti melatih dirinya untuk memimpin sebuah negeri?

Terkadang, Phoebe selalu bertanya tidak bisakah dia pura-pura kecelakaan--atau kecelakaan sungguhan pun tak masalah--yang mengakibatkan dirinya amnesia jangka panjang dan satu keluarga dari rakyat biasa mengklaim sebagai keluarga kandungnya?

Terkadang, Phoebe selalu bertanya mengapa kedua orang tuanya tak bisa sedikit saja lebih mengerti keinginan Phoebe. Apa tidak bisa mereka memimpin kerajaannya lebih lama lagi, dan menyerahkan semua kekuasaan itu kepada adik-adiknya?

Merida Phoebe Beathan, merupakan seorang putri sulung dari pasangan Fergus dan Elinor Beathan, raja dan ratu dari Kerajaan DunBroch di Skotlandia.

Jangan salah, Phoebe sebetulnya senang dengan keluarganya yang sekarang. Dia hanya tidak suka dengan semua tradisi dan apa pun yang bersangkut paut dengan kerajaan.

Phoebe hanya ingin hidup seperti rakyat.

Sebuah ketukan terdengar dari pintu, gadis itu membiarkan siapa pun di balik sana masuk. Sosok sang ibu kemudian muncul, hatinya sedikit terbakar tetapi ia coba untuk menahan.

Senyumnya terbit. "Selamat pagi, Ibu."

Elinor mengangguk, membalas sapaan Phoebe. Mereka terdiam, tidak ada yang mengatakan apa pun sampai Phoebe selesai memakai gaunnya. Gadis dengan rambut poni yang menutupi sebagian wajahnya itu berbalik, menatap Elinor.

"Ada apa ke sini, Ibu?"

"Ah, Ibu hanya ingin minta maaf soal sikap Ibu kemarin. Maksudku, seharusnya Ibu tidak memaksamu menjadi seseorang yang ... bukan dirimu."

Mendengar permintaan maaf itu sebetulnya menjadi sesuatu yang sulit dipercaya oleh Phoebe, dia tidak mau terlalu berharap bahwa ibunya benar-benar berubah hanya dalam satu malam maka ia mengangguk saja.

Mereka berbincang sejenak, pada akhirnya sampai juga di topik malam hari kemarin. Benar dugaan Phoebe, bahwa Elinor masih menggenggam pahamnya yang menyebalkan.

Bahwa wanita tidak boleh terlihat tangguh.

Bahwa wanita harus duduk diam, tampil cantik untuk khalayak. Seolah mereka hanya boneka polesan pabrik terbaik, untuk dipajang sampai berdebu kemudian digantikan dengan yang baru.

Phoebe lelah, kemudian pada akhirnya, dia mulai membeberkan keberatannya selama ini. Elinor lebih membuka telinga daripada sebelumnya, membuat Phoebe lega barang sedikit.

Menceritakan bagaimana Phoebe ingin menjadi dirinya sendiri walau dia seorang royalty memang menyesakkan bagi Elinor. Namun, dia mencoba untuk mengerti. Mengerti keinginan Phoebe yang sederhana.

"Jadi, kamu ingin diperbolehkan untuk memanah?" tanya Elinor.

Phoebe mengernyit. Masih dengan senyuman yang terukir indah pada wajahnya, dia menggeleng. "Ibu tidak mengerti, ya? Bukan itu yang kuinginkan dalam hidup."

"Lalu, apa? Kamu menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana wanita juga bisa membela diri mereka dan memiliki hak untuk bertindak, tetapi bukan itu yang kauinginkan?"

"Aku ingin kebebasan." Phoebe tidak lagi menunduk, posturnya yang semula seolah menutup diri kini terbuka, menegaskan auranya yang kuat kepada sang ibu. "Aku ingin bebas."

Elinor tertawa canggung, merangkul anak gadisnya kemudian bertanya. "Kebebasan apa? Kamu 'kan tidak dikekang."

"Itu yang Ibu pikirkan. Ini yang aku rasakan. Aku dikekang oleh takdir, bahwa aku harus memimpin kerajaan walau itu bukanlah hal yang kuinginkan. Secara teknis, aku sudah dikekang sejak Ibu mengandungku."

"Phoebe!"

"Tidak, Ibu. Aku tidak menyalahkanmu atas kelahiranku. Atas keberadaanku di bumi. Yang kuinginkan adalah sesuatu sesederhana kebebasan, tetapi bahkan aku sendiri tak dapat memilikinya."

Hening. Nada bicara Phoebe terdengar begitu datar, dingin, tak berekspresi sama sekali tetapi Elinor tahu anaknya kesal. Dia kesal dengan kenyataan bahwa ibu dan ayahnya harus memiliki darah bangsawan, yang kemudian diturunkan kepadanya.

Pada akhirnya, Phoebe menyesal menjadi bagian dari keluarga Beathan. Rasa sesak menggelenyar di dada Elinor, memeluknya erat sampai ia membisu. Terpaku, menatap anaknya yang menunduk.

Rasa sakit yang belum pernah ia rasakan ; rasa sakit menghadapi kenyataan pahit, bahwa Phoebe membenci darahnya sendiri.

Akan tetapi, apakah itu hanya sebatas keinginan atau memang sebuah permainan kata semata? Bahwa Phoebe hanya ingin melepaskan kewajibannya sebagai seorang bangawan, dan pergi sejauh-jauhnya untuk hidup bebas.

Untuk saat ini, Elinor benar-benar tidak tahu. Sikap membangkang yang diberikan oleh Phoebe adalah sesuatu yang baru, karena semua anaknya sejak kecil selalu menjadi seorang penurut.

Rumit.

"Sayang, kamu tidak bisa begitu saja--"

"Aku tahu," sela Phoebe. "Tidak perlu ditegaskan ulang, aku tahu apa yang ingin kaukatakan. Aku tidak bisa begitu saja melepas kewajiban yang mengalir dalam darahku, 'kan?"

Menyedihkan.

"Bukan begitu maksud Ibu, Phoebe. Maksud Ibu, yah, kalau kamu mau bebas, kamu perlu membayar harganya. Apa yang akan kauberikan untuk kebebasan itu? Hm?"

Mungkin tidak terlihat, tetapi Elinor tahu Phoebe sedang meliriknya. Ia sedang memperhatikan Elinor dari ujung kepala sampai ujung kaki demi berpikir sejenak untuk sebuah jawaban.

"Jika aku memang bisa mendapatkan izin kebebasan itu sendiri, maka mempertaruhkan hidupku bukan masalah besar."

"Phoebe!"

Tidak sempat menegur, Elinor akhirnya terpatung dengan manik terbuka lebar saat Phoebe mendekati sebuah permadani dengan gambar Fergus, Elinor, dan Phoebe di atasnya.

Dengan satu tarikan, Phoebe mengambil sebuah pedang di samping perapian yang dekat dengan permadani tersebut. Dia berbalik, tersenyum sejenak, kemudian kembali menghadap permadani itu.

Menyebalkan.

Tangannya yang menggenggam sebilah pedang kini terangkat, merobek gambar dirinya dari permadani itu, terpisah dari gambar ibu dan ayahnya.

Kedua tungkai Elinor melemas, kedua alisnya bertaut. Ia terlalu terkejut sampai kedua tangannya menutup mulut. Phoebe melempar pedang itu ke sembarang arah, mendarat di bawah kasurnya.

Dia tersenyum. "Aku ingin bebas, Ibu."

Dengan kalimat itu, ia pergi meninggalkan Elinor yang masih terpaku. Langkahnya masih anggun, begitu santai membawa wibawa. Sementara di dalam kamarnya, Elinor menitikkan air mata.

Menyesakkan.

Tubuhnya tremor ringan, mendekati permadani itu untuk melepasnya dari dinding. Dia menatap gambar Phoebe pada permadani, kembali mengeluarkan tangisannya yang tercekat.

Elinor tidak pernah berniat untuk membuat Phoebe merasa terkekang. Sejak kecil, dia memang seorang bangsawan. Tidak tahu bagaimana rasanya menjadi rakyat biasa yang bermimpi hidup di istana.

Benar.

Elinor tidak tahu rasanya berada di bawah.

"Phoebe ...," panggil Elinor pilu. Dia menggeleng, menghapus jejak tangisnya kemudian menyimpan permadani itu di atas meja rias milik Phoebe.

Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan perlahan. Elinor berjalan keluar dari kamar, sesegera mungkin memberikan perintah kepada para penjaga untuk mencari Phoebe dari segala sudut negeri.

Mengenali putrinya, Phoebe pasti sudah lari dengan kuda putihnya.

***

Sudah malam, Phoebe pun belum kembali juga. Tepat saat ia sampai di pintu utama, para penjaga dari lantai dua berhamburan dan memanggil namanya. Dia tahu, Elinor yang memberikan perintah. Maka, Phoebe mengangkat gaunnya dan berlari sekuat tenaga menuju kuda putihnya yang cantik.

Dia lompat beberapa langkah sebelum mendekati kuda itu, kemudian melacu dengab cepat. Ketika Phoebe hampir sampai di gerbang, gerbang itu sudah hampir tertutup.

Perintah seorang pemimpin kerajaan ternyata mudah menyebar ke seluruh sudut. Pergerakan para penjaga pun terhitung cepat, mereka biasanya tidak seterkejut itu.

Phoebe pada akhirnya sembunyi sejenak dalam hutan, jauh dari jangkauan Elinor dan Fergus selaku orang tuanya. Sebetulnya, mereka bisa saja mengirim para penjaga itu untuk sebuah pencarian agar tidak menggegerkan masyarakat.

Hal yang naif.

Hutan sudah seperti rumah kedua bagi Phoebe. Dia tahu ke mana jalan menuju sungai dan ke mana jalan pulang. Dia tahu di mana bisa mendapatkan buah yang tidak beracun, dan lagi cara berburu hewan di hutan.

Phoebe adalah seorang putri dengan bakat yang luar biasa banyak. Tidak dapat ditebak bakat apa saja yang dia miliki, tetapi cukup untuk selalu membuat orang-orang tercengang.

Kalau begitu, bagaimana dengan tempat persembunyiannya dalam hutan?

Sudah sejak lama, Phoebe menyukai kehidupan dapam hutan. Pohon-pohon menjulang tinggi yang melindunginya dari terik matahari siang, terlihat indah saat malam hari.

Semak-semak yang mengelilingi hutan sebetulnya bisa saja membuat kesan menyeramkan pada malam hari, tetapi Phoebe tidak berpikir demikian. Dia selalu terpukau dengan keindangan hutan.

Ekosistem tertata, tidak pernah terdengar hewan yang ada di hutan habis karena dimangsa hewan lain. Mereka berburu pada siang sampai sore hari, membawa daging buruannya ke keluarga bila punya, kemudian memakannya bersama.

Bebas.

Bebas memakan apa saja.

Bebas melakukan apa saja.

Bebas menjadi diri mereka sendiri.

Kebebasan yang Phoebe inginkan.

Sejak mengakui keindahan hutan, Phoebe secara diam-diam mulai pergi ke sana untuk membuat sebuah gubuk kecil baginya supaya bisa bersantai. Sebuah tempat di mana Phoebe tak perlu memikirkan banyak masalah kerajaan, sebuah tempat yang akhirnya memersilakannya untuk bernapas bebas.

Phoebe menempatkan sudut pandangnya kepada para penjaga dan kedua orang tuanya. Dia tahu hal semacam ini, suatu saat nanti, pasti akan terjadi. Untuk itu, ia membuat gubuk kecil tersebut di lubuk hutan palimg dalam. Sebelah pinggir, dekat dengan sungai.

Sumber makanan yang paling melimpah. Karena menombak ikan adalah keahliannya yang paling mendasar kedua setelah memanah. Sumber air yang melimpah pula, tak perlu susah-susah mencari mata air ke pelosok hutan lain.

Di sana, Phoebe merasa aman. Merasa senang, merasa tenang, dan setidaknya bisa merasakan sedikit kebebasan. Sebuah kehidupan tanpa beban, hidup dengan usahanya sendiri.

Phoebe bisa--

"Oi."

--oi. Eh, kok "oi"?

Kepala Putri Mahkota Kerajaan DunBroch menoleh, mencari sumber suara yang baru saja mengetuk gendang telinganya. Seharusnya, dia sendirian dan tidak ada yang menemuinya di sini.

Seharusnya, tidak ada yang menemukannya sesingkat ini.

Setelah beberapa lama menyesuaikan pandang dengan sekitar, Phoebe bisa melihat sesosok tubuh mendekat. Dengan jubah dan sesuatu yang ia asumsikan sebagai sebuah pedang, orang itu mendekat.

Walau kedua manik Phoebe tersembunyi di balik rambutnya, dia tahu postur tubuh sosok itu tidaklah asing. Artinya, dia adalah seseorang dari kerajaan atau seorang rakyat yang pernah datang untuk berkonsultasi.

Akan tetapi, seingatnya, tidak ada rakyat yang memiliki pedang apalagi jubah.

Semakin mendekat sosok itu kepada Phoebe, semakin ia dapat mengenalinya sebagai Evan Skye Morven, pangeran berkebangsaan Inggris.

Phoebe mengernyit, memamerkan senyumnya yang dipaksakan. Sebuah tawa palsu ia lepaskan, menutupi rasa kesalnya dengan kasar. "Evan, apa yang kaulakukan di sini?"

Evan tersenyum. "Apa yang kamu lakukan di sini? Seharusnya kau ada di kerajaan sekarang, Putri Phoebe."

"Saya tidak menginginkannya."

"Kenapa?" Evan kini berada dekat dengan Phoebe, sekitar enam kaki jaraknya dari gubuk. Mungkin, sudah bisa dikatakan dia berada di halaman rumah kedua milik Putri Kerajaan DunBroch.

Helaan napas kasar terembus dari kedua lubang hidung Phoebe. Sekali lagi, dia menarik seutas senyuman paksaan, menoleh kepada Evan yang masih berdiri tegap.

"Tidakkah kamu pernah berpikir, kamu jenuh? Jenuh dengan semuanya. Apakah kamu tidak lelah?" tanya Phoebe. "Lelah dengan apa yang kauemban sejak lahir."

Kalimat Phoebe mudah dimengerti oleh Evan. Dia mulai membalas senyuman Phoebe dengan singkat, meminta izin untuk duduk di sampingnya, kemudian terduduk pula di gubuk itu.

Menjadi keluarga bangsawan adalah sesuatu yang berat. Tidak seperti mimpi setiap orang, menjadi seorang bangsawan artinya harus siap dengan segala tetek bengek negeri yang ada pada genggaman tangan mereka.

Mulai dari konflik masyarakat terkecil, politik, ekonomi, dan keamanan, semuanya mereka yang tanggung dengan bantuan para menteri dan prajurit andalan. Atas perintah mereka, para bawahan itu pasti melaksanakan dengan baik.

Orang-orang hanya bermimpi untuk hidup di sebuah istana, bermandikan kekayaan melimpah yang tak terhitung jumlahnya bahkan menggunakan kalkulator sederhana.

Untuk hidup seperti itu, ada yang harus dikorbankan juga oleh mereka. Sesuatu yang disebut sebagai kebebasan.

Sejak kecil, para anak-anak berdarah bangsawan sudah diajarkan untuk memegang pedang dan berjalan seimbang dengan buku ditaruh di atas ubun-ubun. Mereka harus menjadi sempurna, sebuah tolak ulur untuk para masyarakat.

Kalau kamu mau tampan, jadilah seperti Putra Mahkota.

Kalah kamu mau cantik, jadilah seperti Putri Mahkota.

Lihat Putra Mahkota? Dia adalah definisi dari sebuah kata yang berbunyi kekuatan. Segala sesuatu tentangnya sangat sempurna. Bukankah dia laki-laki yang berwibawa?

Coba lihat Putri Mahkota! Kecantikannya menyilaukan, pun ketangguhan yang dimilikinya. Menjadu seperti dirinya pasti dapat memikat banyak laki-laki.

Desas-desus seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Didengar sekilas sebetulnya kelihatan seperti sebuah pujuan biasa, tetapi bila terus dipikirkan lagi, mereka lelah menjadi contoh yang selalu dilihat.

Salah-salah, ketika mereka membuat sebuah kekeliruan, masyarakat yang sebelumnya benar-benar memuja pasti akan menghujat habis-habisan.

Menyedihkan. Hidup dipuja hanya katena gelar yang dimiliki?

"Benar." Evan mengangguk. "Jadi, kamu lari jauh-jauh ke sini hanya untuk memikirkan itu?"

Phoebe mengedik. "Mungkin, entahlah. Kamu sendiri, bagaimana caranya kamu bisa menemukkan saya?"

"Aku hanya mengikuti helai-helai bulu yang terputus dari ujung gaunmu. Karena jarang dan jatuhnya sembarang, aku baru bisa menemukanmu larut malam begini."

Penjelasan Evan cukup untuk Phoebe. Dia menatap ujung gaunnya yang dihiasi bulu-bulu berwarna putih, terlihat indah di bawah sinar rembulan.

Walau demikian, dia tetap merasa sesak.

Evan tersenyum. "Kamu pasti sudah menalar semuanya, ya? Karena sejak dulu sudah merasa terkekang."

"Iya."

"Kalau begitu, apa yang ingin kaulakukan selanjutnya? Bagaimanapun juga, kamu harus kembali ke istana."

Phoebe menoleh. "Kenapa saya harus memberitahumu?"

Hening sejenak, memeluk mereka dalam gelapnya malam. Sorot sendu Evan seakan menghanyutkan Phoebe dalam tatapan manik hijaunya yang tenang. Senyuman kembali terukir pada wajah Evan, membuatnya terlihat semakin menawan.

"Karena aku juga ingin bebas, M'lady."

***

2183 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top