Evan: Gadis Penjaga Toko Antik
People was born their ways. It's no use to change anything about them when they love themselves regardless.
***
Perjalanan mereka jauh, walaupun begitu, Evan tetap bisa menikmati. Hutan yang dimiliki Negeri DunBroch asri, tumbuh dengan sehat tanpa kendala. Mengenai bunga yang bersinar dalam gelap itu benar adanya, sang pangeran dari Eropa dibuat terpukau.
Bunga-bunga itu bersinar berwarna biru, terlihat cantik seolah mereka anemon laut yang memberikan cahaya kepada para ikan di bawah sana.
Hal lainnya yang dapat disadari oleh Evan adalah bunga-bunga itu hanya berada di pinggir jalan setapak, menuntun mereka ke satu arah yang signifikan.
Tak kuasa untuk menahan kekagumannya, Evan terus menerus memuji kekayaan Negeri DunBroch yang ia akui tak ada di negerinya sendiri. Tentu, sulit untuk melihat apakah Phoebe bangga atau tidak merasakan apa pun ketika Evan memuji negeri miliknya.
"M'lady, apakah bunga-bunga ini tumbuh hanya untuk menerangi jalan? Semacam lampu taman yang dipasang berurutan?"
Phoebe menggelengkan kepala, asumsi Evan mengenai bunga-bunga bersinar biru itu keliru. Mereka tidak tumbuh sendiri, ada orang yang menanamnya.
Mengenai siapa yang menanam bunga-bunga ajaib itu, Phoebe sendiri tak menjawab. Mulutnya bungkam, meninggalkan Evan dalam pertanyaan baru yang muncul kemudian.
Ketika jalan mulai melebar, rerumputan halus pun menyapa. Sepasang manik sang pangeran tak henti menatap sekitar, keelokan asri hutan DunBroch membawa perasaannya tenang dan nyaman.
Barulah saat netranya menatap ke depan, ia sadar ada bangunan yang terbuat dari bebatuan berdiri kokoh. Pintunya berwarna hijau, terbuat dari kayu.
Jendelanya tidak dipasang kaca, hanya ada bingkau kayu yang bengkok. Mereka bisa melihat isi bangunan itu dari sana walau tidak terlalu jelas. Evan mengerjap, bunga-bunga biru itu tak lagi nampak.
"Apakah kita sudah sampai? Ini toko antiknya?"
Anggukan ringan yang diberi Phoebe menjawab pertanyaan Evan. Mereka menatap satu sama lain, kemudan kembali kepada toko antik tersebut. Agaknya, toko antik di hadapan mata itu terbuat dari gua kecil yang mungkin terbengkalai.
Evan mengerti mengapa Phoebe membiarkan toko antik ini tetap berdiri, bahwa siapa pun yang memilikinya membuat toko tersebut dari ekosistem mati di sekitar hutan.
"Bolehkah aku tahu, apa tujuan kita sebenarnya? Kamu bungkam sejak memutuskan untuk pergi ke desa dan mengunjungi toko antik unik ini," bisik Evan. Phoebe tidak menjawab, seolah pertanyaan sang pangeran lewat begitu saja.
Disentuhlah permukaan pintu, kemudian Putri Mahkota Kerajaan DunBroch mengetuk pelan. Beberapa saat setelah Phoebe menaruh tangannya di samping tubuh, pintu hijau itu terbuka.
Nampak seorang perempuan bertudung lusuh dengan baju robek sana-sini, menyapa mereka ke toko antik miliknya.
Saat kaki para bangsawan itu menapak dalam ruangan, barulah Evan menyadari toko antik tersebut hanya menjual barang-barang lama bertema beruang yang terbuat dari kayu.
"Kupikir kaubilang ini adalah toko antik?" Evan berbisik. Lagi, Phoebe hanya tersenyum. Seolah mengatakan kepadanya untuk menunggu sampai si gadis mempromosikan barang-barang yang dijualnya.
Akan tetapi, isi toko itu benar-benar hanya benda bertema beruang. Semuanya beruang, dimulai dari sendok hingga meja. Agaknya, toko si gadis hanya menyediakan perabotan sederhana.
Sang pangeran dari Negeri Inggris berjalan, melihat-lihat barang jualan yang dipajang. Semua terbuat dari kayu, sedikit berantakan di sudut yang melengkung. Pahatan, begitulah simpulan Evan.
"Anda pahat sendiri kerajinan-kerajinan di sini, Nona?" tanya Evan seraya berbalik untuk menghadapi si pemilik toko.
Gadis tersebut mengangguk. "Saya punya banyak sekali pahatan! Yang Mulia mau beli yang mana? Saya baru membuat patung beruang di belakang, apakah Anda mau melihatnya?"
"Tidak," Phoebe menggeleng, "aku datang untuk berbincang sejenak denganmu."
Penolakan yang diberikan Phoebe membuat si gadis tertegun. Dia mengernyit, dahinya amat mengerut. "Saya dengan hormat menolak tawaran Anda, Yang Mulia Putri Merida."
"Phoebe," ralatnya.
Si gadis mengangguk. "Putri Phoebe. Apakah Anda tidak berminat untuk membeli barang saya satu saja?"
Phoebe tidak menjawab. Keheningan kemudian masuk, tak diundang tetapi menyelimuti. Evan tidak mengenali si gadis, ia bahkan tidak tahu tujuan mereka sebetulnya untuk apa.
Saat keheningan itu berlangsung lama, Phoebe mulai berjalan mengitari meja-meja tempat si gadis memajang pahatannya. Toko antik, dia bilang, karena Negeri DunBroch memang kuat akan "beruang"-nya.
Kini, di era baru yang dipimpin Phoebe, tak ada lagi penduduk yang menjual barang bertema beruang. Ada pun, tak lebih dari barang rongsok yang dipersilakan dibeli cuma-cuma oleh sang penjual.
Jemari lentiknya menyentuh beberapa barang, seperti cangkir kayu dengan pahatan wajah beruang dan pajangan beruang sedang mencoba untuk menerkam.
"Evan, tahukah kamu di antara tiga orang dalam ruangan ini memiliki rahasia sangat besar?" tanya suara lembut sang putri. Ia berhenti berjalan, mengamati sebuah piring berukir kepala beruang.
Kepalanya menoleh. Walau kedua manik sang putri tertutupi oleh rambutnya yang panjang, Evan dan si gadis tahu bahwa Phoebe tengah melihat ke satu arah.
Si gadis penjaga toko antik.
"Saya tidak merahasiakan apa pun dari Anda, Yang Mulia. Saya tidak akan pernah berani."
"Jangan berbicara seperti itu, Persephone."
"Saya benar-benar tidak merahasiakan apa pun."
"Kau seorang penyihir."
Detik itu juga, Evan menoleh kepada Phoebe dengan cepat. Sekali lagi, keheningan mulai melingkupi. Kedua alisnya bertemu, mulutnya tak kuasa untuk menahan pertanyaan singkat supaya Phoebe mengulangi kalimatnya.
Sang putri mendekati Evan, berdiri di sampingnya untuk menghadap si gadis yang berdiri tepat di tengah ruangan. "Dia seorang penyihir."
"Bukan, Yang Mulia. Saya seorang pemahat kayu."
"Benarkah begitu?"
"Benar, Yang Mulia."
"Tahukah kamu, berbohong dengan dagu terangkat di depan putrimu sangat lancang, Persephone? Andai kata memang benar kau seorang pemahat, bagaimana kamu bisa menjelaskan bunga-bunga biru bersinar yang menuntun kami kemari?"
Persephone, si gadis, menggeleng. Kepalanya kemudian menunduk, seluruh tubuhnya melayu kemudian ia berlutut. "Saya memang bukan seorang penyihir."
"Putri," potong Evan. "Kumohon, bisakah setidaknya kamu menjelaskan sesuatu padaku?"
"Bukankah kamu ingin tahu apa yang dimiliki negeriku tetapi negerimu tidak memilikinya?"
Bahkan sebelum Phoebe mengiyakan, Evan telah mengerti jawaban dari pertanyaan tersebut. Gadis berpakaian lusuh di hadapannya adalah seorang penyihir, yang selalu ia dengar dari buku-buku sejarah dalam perpustakaan kerajaan.
Tak dapat ia pungkiri perasaan bingung sekaligus terkejut dalam hati. Bila benar adanya si gadis di hadapan merupakan seorang penyihir asli yang telah lama ia baca, maka Evan ingin sekali mencoba sesuatu.
Akan tetapi, ia tidak tahu dan tidak mengingat dengan baik bagaimana caranya penyihir bekerja. Yang ia tahu, para penyihir memiliki kekuatan magis abnormal.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Kebohongan yang tadi hamba sampaikan hanya untuk melindungi eksistensi hamba sendiri."
"Berdirilah," pinta Phoebe. "Aku tidak membutuhkan permintaan maafmu, Persephone. Kejujuranmu itu sudah cukup bagiku."
Persephone bangkit, membungkukkan tubuhnya kemudian menjentikkan jari. Cahaya hijau mengelilingi tengah ruangan, si gadis menyingkir dari tempatnya berdiri.
Saat itulah, ketel hitam melayang muncul. Terkejut, Evan sempar mundur beberapa langkah. Kerajinan-kerajinan yang tadi mengelilingi mereka kini lenyap, digantikan banyak gelas kaca berisi cairan-cairan berwarna aneh.
"Apa gerangan yang membuat Anda datang kemari, Yang Mulia Putri Mahkota Phoebe?"
Senyuman tipis Phoebe lukis di wajahnya yang tertutupi rambut. Ia membalikkan tubuh, menyorong untuk menatap Evan yang masih memproses semua informasi baru di hadapannya.
"Apa yang kamu inginkan, Tuan Evan?"
***
1.122 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top