Evan: Aku Menerimamu Apa Adanya
You being yourself is enough. Do you wanna know why? Because strong is beautiful.
***
"Sepertinya Anda tidak perlu sampai semarah itu hanya karena Putri Phoebe memanah di depan rakyatnya sekali saja." Evan tersenyum, mendorong piringnya tanda ia menyudahi makannya. "Walaupun memang dia memiliki pengaruh yang besar, tetapi dia berhak menunjukkan dia kuat."
Pangeran Kerajaan Inggris itu berdiri, merapikan pakaiannya. Ia melirik Elinor, kemudian melangkah pergi dari sana. Sebelum ia benar-benar meninggalkan ruang makan, ia berbalik.
Senyuman tipis yang manis itu terlukis pada wajahnya yang menawan. "Untuk tampil cantik, Anda tidak perlu menjadi wanita yang duduk diam menanti seorang pangeran."
Secepat yang ia bisa, kakinya pergi melangkah menjauhi ruang makan untuk membuntuti Phoebe yang entah sudah pergi ke mana. Asumsi Evan sekarang adalah Phoebe pergi ke kamarnya atau ke taman kerajaan.
Entahlah, apakah Kerajaan DunBroch memiliki taman kerajaan?
Evan telah melewati beberapa ruangan, berpapasan dengan beberapa penjaga yang membungkuk setiap ia lewat, tetapi tidak bertemu dengan Phoebe.
Walau Phoebe tidak mengatakan apa pun, walau wajahnya tertutupi rambut panjang yang bergelombamg, Evan bisa melihat dari senyuman yang Phoebe ukir ; terpaksa. Senyuman yang dipakai untuk menutupi amarah dan kesedihannya.
Senyuman muak.
Phoebe, di sisi lain, masih berjalan menjauh dari ruang makan. Niatnya, ia akan pergi ke kamarnya dan mengurung diri sejenak kemudian keluar seolah tak ada masalah sama sekali.
Putri Mahkota Kerajaan DunBroch berhenti, menatap sekitarnya. Dia berada di ruang utama kerajaan, dengan kata lain ruang singgasana dan ruang dansa yang digunakan kerajaan apabila ada sebuah perayaan.
Suatu saat nanti, ia akan duduk di sana bersama Evan sebagai suaminya. Suatu saat nanti, dia akan memimpin kerajaan ini bersama Evan.
Sebagai seorang putri, sejujurnya, dia tidak menginginkan itu. Yang dia inginkan adalah hidup bebas seperti para rakyat, tidak perlu menjadi contoh untuk khalayak luas, hidup sebebas-bebasnya dengan keinginan sendiri.
Menjadi seorang putri, apalagi putri mahkota, itu tidak seindah yang dibayangkan setiap orang. Phoebe harus bangun pagi-pagi sekali hanya untuk mandi, berpakaian, bersolek, kemudian duduk diam dengan senyumannya di singgasana putri.
Dia, setiap hari, harus mendengarkan keluhan rakyat-rakyatnya. Phoebe harus memperhatikan kedua orang tuanya berpikir kemudian memberikan solusi yang pantas.
Phoebe tidak mau seperti itu. Baginya, hidup hanya untuk memimpin banyak orang dan memberikan solusi atas hidup mereka merupakan sesuatu yang berat.
Hidup mereka, kenapa dia yang mengatur? Kalau salah sedikit saja, yang kena racunnya adalah mereka.
Senyumnya melebar, dia berusaha untuk tetap tenang. Kedua tungkainya kembali menuntun tubuh Phoebe untuk pergi dari sana, menuju kamarnya untuk merenung.
Dia berbalik, sebetulnya untuk pergi. Namun, Evan berada di ambang pintu dengan dada kembang-kempis.
Phoebe, sebisa mungkin, tersenyum dengan tenang. "Pangeran Evan. Seharusnya Anda masih ada di ruang makan, berbincang dengan calon mertua Anda."
Evan terkekeh, mendekat dengan tenang. Manik hijaunya memperhatikan dengan saksama, mencari-cari guratan tertentu yang dapat memperlihatkan suasana hati Phoebe.
Ia berhenti tepat 12 langkah di depan Phoebe. "Porsi makanku tidak terlalu banyak."
"Begitu, ya. Kalau begitu, saya permisi--"
"Putri?" panggil Evan bahkan sebelum Phoebe sempat menyelesaikan kalimatnya. "Kamu tidak baik-baik saja, ya?"
Pertanyaan itu tidak dijawab. Mereka terjebak dalam keheningan, beberapa lama kemudian Phoebe hanya terkekeh pelan lalu menggeleng, akhirnya pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Maka, yang perlu Evan lakukan hanya meloloskan isi pikirannya.
"Kamu tidak perlu semarah itu karena paham Ratumu sedikit membelok."
Ah, luapan emosi kini mulai menguasai Phoebe.
Kekehan pelan kemudian berubah menjadi tawa yang menggema. Evan menutup matanya, mendengarkan tawa Phoebe yang terkesan mengintimidasi.
Dia berbalik, mendapati Phoebe telah berhadapan dengannya. "Sedikit membelok? Sedikit? Dia berpikir, kami para wanita hanya harus bersolek dan harus kelihatan lemah. Inti dari pemahamannya seperti itu. Apa kamu pikir--"
"Karena kamu tahu lebih baik darinya, maka kamu tidak perlu marah seperti itu."
Phoebe terdiam. Tangannya yang sudah terkepal erat kini melonggar. Kalau saja Evan dapat melihat kedua alis Phoebe yang saling bertaut, dia pasti telah terkekeh karena Putri Kerajaan DunBroch tidak paham sama sekali dengan kalimat penyangkalan Evan.
"Maksudmu?"
"Maksudku," Evan mendekat beberapa langkah, "karena kamu tahu lebih baik dibandingkan dengannya, maka kamu hanya perlu diam dan membuktikan."
Kedua tangan Evan menepuk pundak Phoebe, tersenyum hangat kepadanya. Manik hijau itu sirat akan semangat untuk berdiri kembali, mengulurkan tangan kepada orang lain agar dapat berjalan bersamanya.
Hangat.
"Aku tidak mempermasalahkan kamu, seorang gadis dengan prinsip yang berbeda dari Ratu Elinor," Evan melepas tangannya dari pundak Phoebe, "karena kita sama."
"Aku juga berpikir, kalau kekuatan wanita adalah kecantikan mereka yang paling menonjol."
Hanya satu kalimat.
Satu kalimat, dan api amarah dalam hati Phoebe lenyap. Untuk kali pertamanya, hari itu, Phoebe mengakui kepantasan Evan sebagai pangeran yang memenangkan kontes kejantanan tempo hari.
Dia bukan laki-laki yang buruk.
***
Tiga ketukan terdengar pada pintu kamar Phoebe. Ia hanya melirik, memberikan izin kepada siapa pun yang ada di balik pintu untuk masuk. Buku dalam gemggamannya tak ia simpan, sepasang mata yang tidak pernah terlihat di balik rambut panjang Phoebe itu membaca dengam cermat.
Seseorang memasuki kamarnya, tetapi Phoebe tidak cukup tertarik untuk melihat siapa yang mampir pagi-pagi buta begini.
"Phoebe."
Suara itu.
Phoebe tidak bergerak, membiarkan matanya melirik kepada siapa yang berdiri di depan pintu kamarnya. Ia mendapati Fergus ada di sana, tersenyum tipis.
Hatinya merasa lega, yang masuk ternyata bukan Elinor. Walau amarahnya telah mereda, ia tetap tak bisa bertemu dengan Elinor untuk sementara waktu.
Fergus, sang ayah, mendekat. Dia terduduk di ujung ranjang putri sulungnya, menatap penuh harap akan sesuatu.
"Sebetulnya, kamu dan ibumu sudah berbaikan atau belum?"
Ah, masalah itu.
"Belum, tetapi saya pasti akan menghadap Ibu dan meminta maaf padanya atas sikap saya yang kurang sopan pada makan malam kemarin." Gadis cantik itu menutup bukunya, menyimpan benda tersebut di atas sebuah meja yang ada di samping ranjang.
Fergus tersenyum. "Jangan diambil hati, ya. Ibumu itu sebenarnya menyayangi dan menghormati semua pilihanmu, dia hanya terlalu khawatir kamu akan disakiti."
Phoebe menghela napas pelan. "Katakan kepadanya bahwa saya akan baik-baik saja. Ayah sendiri yang mengajarkan saya untuk membela diri kalau saya memang ada di pihak yang benar."
"Kamu yakin kamu baik-baik saja? Kelihatannya, kamu terganggu dengan penekanan ibumu."
"Sudah bukan masalah," Phoebe menggeleng. Ia beranjak dari kasurnya, berlutut di hadapan Fergus yang terduduk di ujung ranjang, "karena saya lebih tahu mana yang lebih baik untuk saya sendiri."
Fergus tersenyum. Pamit kepada Phoebe kemudian menghilang di balik pintu. Sementara Phoebe, dia masih terdiam dalam pose berlututnya.
Senyuman itu, senyuman lagi. Senyuman yang hanya bisa ia pasang pada wajahnya yang tertutupi rambut panjang. Senyuman yang seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, karena dia bisa mengatasinya.
Kali ini, senyuman yang diukirnya adalah senyuman bangga terhadap diri sendiri.
"Aku juga berpikir, kalau kekuatan wanita adalah kecantikan mereka yang paling menonjol."
Kalimat Evan yang kemarin malam tersampaikan kepadanya secara langsung di ruang singgasana kerajaan kembali berputar pada benaknya.
Kalimat itu, satu kalimat itu, dapat mengubah suasana hatinya dengan cepat.
Apakah itu memang benar karena kalimatnya, atau karena Evan yang mengatakannya?
Phoebe belum tahu.
Yang dia tahu, ia merasa senang dengan kehadiran Evan sekarang.
***
1144 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top