Page 4
.
Hari ini, aku tak menemukan keberadaan Lawrence sama sekali. Ternyata, mimpiku memang benar. Para zombie sensitif akan suara dan aku telah membocorkan fakta tersebut kepada mereka. Mereka tak mampu melihat dengan baik, tetapi indra pendengarannya sangat tajam layaknya hewan buas. Tim penyelamat, bahkan basement pun kudapatkan.
Beruntunglah, aku tak memisahkan diri dari Judy dan mengikuti kata Sue dengan waspada kepada sosoknya yang nampak ramah dan manis. Napasku terengah-engah, mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan menengadah kesal pada Zion yang tengah mendecih sebal saat mendengar bel sekolah berbunyi tiba-tiba. Irisku membelalak, menoleh ke arah lantai atas, tempat penyiaran pengumuman. Langsung menyadari bahwa lagu tersebut adalah Fur Elise.
Hendak naik ke atas, Eugene menahan tanganku dan membentak, "Bodoh! Kita segera harus pergi dari sini!"
"Tapi, Lawrence masih ada di atas, tahu! Aku tidak bisa meninggalkannya!" balasku tak kalah besar padanya. Keempat pemuda tersebut merasa enggan, mungkin karena tak mengetahui niat jahat Lawrence atau mulai meragukan kepercayaan mereka.
Ethan adalah orang yang pertama kali menginterupsi keheningan, "Dari dulu, aku sudah merasa aneh dengan kejadian para murid sekolah ini yang terpecah belah. Aku merasa kalau itu adalah ulah Lawrence, tetapi aku tetap berusaha bersamanya karena ia adalah yang paling kuat dalam hal bertahan hidup."
"Lagipula, ia adalah temanku. Kalau tidak sadar, mungkin aku harus memukulkan tongkat baseball-ku padanya," lanjut Ethan dengan wajah datar, membuat semua orang yang berada di sana mengerjap. Tentu saja terkejut akan penjelasan panjang dan to the point-nya.
Crang!
Kaca jendela yang rapuh pun telah sampai pada batasnya.
Graurrr!
Erangan penuh kelaparan terdengar dari ujung koridor. Mau tak mau, membuat kami semua harus segera memutuskan pilihan. Harry menyahut panik, "Aku akan tetap mengikuti [Name]!"
"Ck, terserah. Jika memang benar ia pelakunya, akan kuhadiahkan pukulan mentah dariku," tanggap Zion seraya menyeringai. Eugene mendengkus kasar, namun dengan sigap tangannya kutarik menuju lantai atas. Irisnya membulat, pipinya memerah, tetapi memilih untuk diam dan mengikuti langkah kaki kami menaiki tiap anak tangga.
Tujuan kami sekarang hanya satu, yakni ruang siaran. Sesampainya di sana, benarlah dugaanku, tetapi runtuh pula kepercayaan keempat pemuda itu pada sang ketua. Lekas saja, tanganku berusaha membuka gagang tersebut. Namun nihil, malah terkunci.
"Lawrence, buka pintunya!" seruku seraya mengetuk pintu besi abu-abu itu. Dari dalam sana, ia terlihat sungkan untuk membalas, lalu suaranya bergetar pun menanggapi.
"Haha, tidak, [Name]. Aku sudah membahayakanmu dan yang lain. Bagaimana bisa aku mempunyai muka untuk bertemu kalian saat ini? Semua rencanaku rusak, kita berdua tidak bisa bersama lagi. Aku tak dapat dimaafkan"
Murka, Zion pun menyuruh kami untuk mundur dua langkah, tak ingin membuang waktu mengingat para zombie kapan saja bisa menginjakkan kaki di atas. Dengan cekatan, ia menendang pintu tersebut, lalu mendobrak paksa gagangnya dengan pipa besi yang selalu ia bawa. Di saat pintu itu telah terbuka, pemuda pirang berjalan masuk dan menampar Lawrence.
Yang ditampar hanya bisa mengerjapkan mata, mungkin sudah pasrah jika akan dikeroyok, tetapi tidak menduga rasa sakitnya. Aku memarahi sang pelaku, "Eugene! Belum ada yang mati jadi kau tidak boleh sekeras itu padanya!"
"Tetap saja ia membahayakan kita, [Name]."
Aku menghela napas, memaklumi amarahnya. Lantas, aku menatap balik Lawrence yang tengah terdiam. Lalu, dekapan hangat kuberikan dan berujar lembut, "Pasti berat, ya, menanggung semua hidup kami. Maaf jika kami tak memberikanmu cukup bantuan. Tapi, apa kau tahu, Lawrence?"
Pelukanku kulepas, mengabaikan Zion dan Eugene yang tengah melotot padaku, serta Harry dan Ethan yang tak mampu menyembunyikan kerutan di wajahnya. Aku tak tahu mengapa mereka berekspresi seperti itu, tetapi mendapatkan kembali kepercayaan diri pemuda di hadapanku ini pada kami adalah yang utama.
"Kita semua adalah teman. Kau tidak sendirian," ujarku seraya mengulas senyum lembut. Lawrence menahan napas sejenak, lalu menggenggam erat tanganku dan tersenyum miris.
"Baiklah, apa sudah kalian bermesra-mesranya? Zombie mulai naik ke atas sini," potong Eugene dengan wajah tertekuk, membuatku terkekeh pelan ketika mendapati tingkah lucunya.
Aku menoleh pada Lawrence dan ia pun paham akan kodeku. Senyum tipis ia ulas, lalu menarik napas dalam-dalam dan mulai memimpin grup kami untuk membasmi zombie, menuju safe zone. Di balik pipa besi yang kugunakan sebagai senjata, perasaan lega sekaligus senang memenuhi relung dadaku.
Ia telah kembali, menjadi sosok seperti sebelumnya.
***
Kurentangkan badanku di atas tanah, menatap langit yang mulai menampakkan rona oranyenya, pertanda petang telah tiba. Beberapa teman-temanku juga ikut beristirahat, lelah setelah menghabiskan energi penuh. Namun, semua itu terbayarkan ketika kami sampai di safe zone, tempat yang Lawrence selalu sembunyikan informasinya dari kami.
Tak ada yang mati, semua lengkap, dan saat ini Judy serta yang lainnya tengah beristirahat di base camp. Sementara, para pemuda yang sebelumnya telah menemaniku berjuang antara hidup dan mati lebih memilih untuk ikut berbaring bersamaku di sini. Tak dapat kupahami, tetapi kubiarkan saja. Lain hal jika mereka mengganggu ketenanganku di sini, tidak akan kubiarkan.
"[Name]," panggil suara familiar. Aku tak membuka kelopak mataku, namun paham bahwa suara yang manis dan terkesan lembut padaku itu pemiliknya adalah Lawrence. Perlahan, aku membuka kelopak mataku, memperlihatkan dirinya yang tengah menatapku dari atas seraya tersenyum canggung.
Mau tak mau, aku pun bangkit dan duduk, lantas membalasnya, "Ada apa, Lawrence?"
"Rasanya ... aku selalu menyukai saat di mana kau menyebut namaku."
Aku tersedak akan saliva sendiri, mengerjapkan mata dan melemparkan tatapan kebingungan. Paham akan diriku yang memintanya untuk memberi penjelasan lebih, ia kembali mengangkat suaranya, mengabaikan kehadiran teman-temannya sendiri.
"Dari dulu, aku selalu memperhatikanmu. Ketika dunia ini mulai kehilangan kedamaiannya, di situlah aku berpikir, mungkin ini adalah kesempatanku untuk bersamamu. Saat aku bertemu denganmu kembali di hari itu, kupikir takdir telah mempertemukan kita berdua," jelas Lawrence, senyumnya merekah. Sementara, tanganku keringat dingin karena gugup diperhatikan oleh yang lain. Apalagi di saat Eugene memberikan tatapan menghakimi.
Aku paham! Aku paham, tahu!
Bagaimana bisa mengalami adegan romantis dalam situasi seperti ini?! Memangnya ini apa? Dunia simulasi game romantis dengan bumbu thriller?
Tanpa perlu diberitahu pun, aku sangat mengerti dengan arti tatapan tersebut. Mungkin, karena ia setahun lebih muda dariku. Jadi tingkahnya yang seperti adik laki-laki, membuatku tahu seluk beluk maksud sikapnya. Hanya saja, tidak sopan jika menyela Lawrence yang sudah berusaha untuk mengutarakan keberaniannya, "Aku tidak pantas untuk memberitahumu mengenai perasaanku. Tetapi, bisakah kita memulainya kembali, [Name]?"
Genggaman itu kian mengerat, seolah tak ingin melepaskan diriku kapan saja. Aku yang paling tahu bagaimana sosok di hadapanku ini dapat berubah menjadi tak manusiawi. Sebelum Zion dan yang lain hendak menyela, aku pun membalasnya sembari memasang senyum.
"Baiklah, Lawrence. Mulai titik ini, mari membangun hububgan bersama agar kita semua dapat bertahan hidup. Di saat itu telah terwujud, mungkin aku akan dapat menerima perasaanmu."
Iris cokelat itu berbinar, kembali mendapatkan cahayanya. Ia memelukku, membiarkan tatapan kesal dari yang lain mengarah pada kami. Aku terdiam, larut pada keheningan, namun tetap membalas dekapannya tersebut. Batinku tertawa, merutuki kebodohanku sendiri.
Aku tak tahu apakah aku terlalu berani karena telah jatuh hati pada sosok iblis berwajah malaikat ini. Aku juga tak bisa meyakinkan dapat merubahnya menjadi lebih baik. Yang jelas, ia berani untuk berniat berubah dan aku akan membantunya menggapai tujuan tersebut.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top