Page 1

.

Sudah beberapa hari ini, aku merasa ada bayangan yang selalu mengikutiku. Sosok itu muncul di saat aku tengah sendiri, bukan zombie, tetapi yang lebih menyeramkan dari itu. Aku tak percaya akan kehadiran hantu, namun hatiku mengatakan bahwa ia adalah manusia.

Setiap kali sosoknya muncul, hawa di sekitarku menjadi dingin. Aku selalu tak mampu menemukan siluetnya, mencoba menerka-nerka siapakah identitas tersebut. Lantas, aku menghela napas, memikirkan hal ini sama sekali tidak akan membuatku menemukan titik terang.

Patroli hari ini dimulai dengan membuka kelas usang yang tak terpakai.

Woosh!

Lagi. Ini bukan hanya perasaanku saja!

Aku menoleh, merasakan sensasi dingin yang mencoba menusuk kulitku. Mau tak mau, waspadaku meningkat. Lekas saja, tanganku segera mencari sesuatu sebagai bentuk pertahanan diri. Melangkah masuk ke dalam ruangan, lalu menutupnya dengan cepat. Perhatianku fokus, genggamanku pada pipa besi mengerat, siap kapan saja untuk mengayunkannya.

Irisku bergulir, menyusuri tiap ruangan. Aku pun bergantian menolehkan kepala ke sana kemari, namun berdiam diri di tempat. Mulutku membuka dan berseru kencang, "Siapa di sana?! Tunjukkan dirimu!"

Tidak ada balasan.

Derit kayu yang lemah mulai berbunyi perlahan. Aku tersentak kaget, seseorang sontak saja mencengkram kakiku, membuatku terjatuh ke lantai. Aku mengeluh, kesakitan. Tetapi, tidak ada waktu untuk meminta tolong. Lantas, aku mencoba memukulnya dengan pipa besi tersebut.

Gagal mengenainya, namun berhasil melepaskan diri dari cengkraman itu. Aku pun bangkit, berlari menuju pintu tadi dan keluar dari ruangan. Napasku terengah-engah, tak mampu untuk bertahan lebih lama lagi. Kepalaku pun menoleh, mengecek sosoknya di lorong. Tak ada.

Langkahku terhenti, aku mencoba beristirahat. Masa bodoh dengan keringat dingin ini. Tetapi, ada seseorang lagi di sini, selain kami.

"[Name]? Hah, kau kenapa, sih?" tanya seorang pemuda berambut merah. Ia menggerutu, mendapati diriku yang seperti dibuat babak belur oleh orang lain. Aku mendengkus kasar, memutar kedua irisku, jengah. Lalu, Zion kembali berujar dengan penuh kebingungan, "Apa ada sesuatu di sini?"

"Tidak, aku hanya takut hantu saja."

"Siang bolong seperti ini? Hei, candaanmu tidak lucu."

Senyum pahit aku ulas. Saat aku berniat untuk membalikkan badan, mengabaikan Zion. Pemuda berambut cokelat dengan kacamata bulatnya yang khas datang, mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi saat ini. Menyambut kedatangannya, aku pun berseru kecil, "Siang, Lawrence!"

Ekspresinya terlihat riang balas menatapku, mengembang menjadi penuh senyuman hangat. Ia terkekeh, melambaikan tangan pelan, lalu berujar, "[Name], sedang apa di sini?"

"Ah, tidak ... ada apa-apa. Sebenarnya, aku hanya berpatroli saja," tuturku berusaha menyembunyikannya agar mereka merasa tidak kesusahan. Saat menoleh, aku telah mendapati Zion yang pergi bersama Eugene, meninggalkan diriku berdua dengan Lawrence. Lantas, aku membalikkan diri dan mengangkat suara, "Lawrence, maaf. Kalau begitu, aku pamit, ya!"

Hendak berlari menuju kedua pemuda tersebut, namun niatku telah dicegah duluan oleh Lawrence. Iris cokelat itu terlihat mengkilat sejenak, lalu ia memasang senyum seraya melepaskan cengkramannya. Beruntunglah, sebuah senyum itu dapat membuatku nyaman. Aku memiringkan kepala, tidak mengerti akan tingkahnya.

"Lawrence?"

"Oh ..."

"Apa kau butuh sesuatu, Lawrence? Aku bisa membantumu mendapatkannya jika itu masih berada di dalam jangkauanku."

Iris tersebut meredup sekilas, lalu ia hanya kembali memasang senyum. Namun kali ini, berbeda. Senyum yang merekah tersebut nampak kesepian dan kecewa. Tanganku berniat untuk menyentuh pipinya, tetapi kuurungkan. Bagaimana aku tidak khawatir padanya apabila ia bertingkah seperti itu?

Hanya saja untuk menyentuhnya di saat kami belum terlalu dekat bukanlah hal yang sopan.

"Kau memang baik sekali, ya, [Name]," puji Lawrence sembari tertawa pelan.

Aku menggelengkan kepala dengan kuat, "Itu tidak benar. Terkadang, aku juga ingin waktu untuk diriku. Meskipun berusaha baik kepada orang lain, tetapi pasti akan merasa selalu lelah."

"Haha, apa kau berani bertaruh denganku?"

Ia mengulurkan tangan, menyeringai kecil. Dalam beberapa waktu, aku tidak bisa menerka apa yang berada di dalam pikiran sosok di hadapanku ini. Dahiku mengerut, namun perlahan-lahan kembali rileks. Walaupun tidak paham akan konteks taruhannya, aku tetap menjabat tangannya.

"Sudah kuduga, kau terlalu baik di dunia ini. Oh, dan keberanianmu itu perlu kita kontrol. Patroli malam nanti, semoga kita berpasangan, ya."

Ia tersenyum, "Kau akan baik-baik saja, aku berjanji."

Setelah mengucapkan hal itu, ia pun melangkah, meninggalkanku sendirian di koridor. Buru-buru, aku segera pergi dari tempat yang hampir saja membuatku trauma. Kalau berlama-lama di sana, rasanya aku akan stress karena selalu kepikiran. Aku menengadahkan kepala, meratapi langit biru yang mulai kelabu.

Lalu menunduk, memperhatikan gerombolan zombie yang berada di lantai bawah dari balik jendela kacah pecah. Helaan napas lolos dari mulutku, lantas aku pun berguman, "Semoga saja, tidak hujan deras."

Meskipun aku telah memanjatkan doa, namun sepertinya Tuhan tidak bersedia untuk mengabulkan. Rintik hujan mulai terdengar di indera pendengaran, menyebarkan petrichor yang segera ditangkap oleh penciuman. Aku mendesah, mengernyitkan dahi dan merekah senyum miris.

Benar, dunia terlalu kejam untukku.

Aku rindu dengan dunia tanpa mayat hidup yang berkeliaran. Meskipun tidak sepenuhnya damai, hal-hal kecil seperti keinginan untuk kembali mencicipi makanan pencuci mulut atau kentang goreng adalah salah satu dari sekian banyak alasanku bertahan.

Benar, aku tidak boleh menyerah.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top