⌲Chap 7

Tok! Tok!

Pintu kamar terketuk membuat penghuni di dalamnya, yakni [Name] menoleh ke arahnya. 'Siapa yang mengetuk pintu ya?' pikirnya.

Tok! Tok!

Pintu kembali terketuk dengan suara agak keras, karena tidak ingin membuat pelaku yang mengetuk pintu menunggu, [Name] menutup buku yang sedang dibacanya lalu bangkit menuju pintu dan membukanya.

Kriet!

Benda persegi panjang terbuka lebar, menampilkan sesosok pria dengan mahkota di atas kepalanya. 'Akihiro,' batin [Name] saat melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Akihiro," panggil [Name] lembut, tangan kanannya masih setia memegang buku yang sedang dibaca olehnya. Akihiro, pria yang telah mengetuk pintu tadi perlahan masuk ke dalam kamar setelah [Name] menyingkir dari hadapannya. Setelah masuk, [Name] kembali menutup pintu, menatap punggung Akihiro yang sedang membelakanginya.

"Akihiro, ada apa?"

Akihiro berbalik menatap [Name] dengan lamat, tatapan lamat tersebut membuat si empu yang ditatap merasa risih. Sekadar informasi, [Name] tidak suka bila terus menerus ditatap oleh lawan jenis, apalagi sampai tidak berkedip.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanyanya risih, Akihiro menghela napas, maju beberapa langkah lalu menarik tangan [Name] dengan lembut, menyuruhnya untuk duduk di tempat tidur. [Name] hanya menuruti, duduk dengan tenang sembari meletakkan buku di gaunnya.

"[Name], ada yang ingin kukatakan sesuatu," ucap Akihiro memulaikan obrolan, serius.

[Name] menaikkan salah satu alisnya, melayangkan tatapan bertanya. "Apa itu?"

"Siapa namamu?"

[Name] mengerutkan dahinya, apa-apaan pertanyaan itu? Kenapa dia memberikan pertanyaan yang sebenarnya sudah ada jawaban yang jelas.

"[Name], Nanase [Name]," jawabnya dengan lugas. Akihiro manggut-manggut, dia perlahan berbalik lalu berjalan pelan dan berhenti. "Namamu masih tetap sama, tetapi sikapmu berubah."

"Maksudnya?" tanya [Name] tidak mengerti.

"[Name], namamu tetap sama, seperti yang kau jawab tadi. Tetapi tidak dengan sikapmu," ulang Akihiro dengan serius.

[Name] terdiam, memikirkan maksud dari ucapan Akihiro. 'Nama tetap sama tetapi sikap yang berubah,' batinnya kala itu.

"Sikapmu berubah, [Name]. Dahulu, kau tidak pernah membantah atau bersikap kurang mengenakkan untukku, bersikap tegas terhadap anakmu dan rakyat, suka memberikan hukuman bagi yang melanggar aturan baik ringan maupun berat. Selalu mematuhi peraturan di kerajaan ini, namun ... sekarang tidak lagi." Akihiro berbalik, menatap intens [Name]. Sedangkan si empu hanya terdiam, mencerna perkataan yang dilontarkannya tadi. Beberapa menit kemudian, ia paham apa yang dimaksudnya. 'Apakah masalah saat makan malam kemarin?' tebak [Name].

"Seperti waktu makan malam kemarin, kau menjawabnya dengan nada yang tidak menyenangkan untukku. Aku menanyakannya dengan baik-baik, mencemaskan dirimu, tetapi kau malah menjawabnya seperti itu. Ada apa denganmu, [Name]? Apa karena kau pingsan di taman bunga kala itu?" lanjut Akihiro dengan diakhiri dua buah pertanyaan.

[Name] masih terdiam, tak lama kemudian ia bersuara. "Apa itu sebuah bencana?"

"Apa?"

"Apa itu sebuah bencana? Maksudku, apakah perubahan sikapku menjadi sebuah bencana untuk kerajaan ini?"

Kali ini Akihiro lah yang terdiam, memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

"Bukan sebuah bencana, [Name]. Hanya saja aku terkejut atas perubahanmu secara mendadak, bisa dibilang sikapmu berubah 180 derajat, berubah secara total." Akihiro mengeluarkan suaranya, menjawab pertanyaan tersebut.

"Lalu kenapa kau mempermasalahkan hal itu?" tanya [Name] membuat Akihiro kembali terdiam. Wanita bermanik cokelat madu menghela napas, haruskah ia menjelaskan hal yang diketahui tentang perubahan untuk seorang raja di depannya?

"Akihiro, perubahan tidak mengenal waktu. Lambat laun perubahan akan datang secara tiba-tiba, tanpa bisa diprediksi oleh siapapun, bahkan seorang peramal sekalipun tidak bisa memprediksi kapan perubahan itu akan tiba. Kita harus siap menghadapi perubahan itu, contohnya saja aku." Tangan putih ia bawa mendarat di dadanya, seakan menunjuk ke arah dirinya sendiri. "Kau bilang aku mengalami sebuah perubahan besar dalam sikap, yang berarti meninggalkan sikapku yang dulu. Berarti aku yang sekarang berbeda dengan yang dulu, kau tahu? Rentang waktu sebelum dan sesudah berubah itu jauh, dulu dengan sekarang berbeda. Kau harus membiasakan diri, suka atau tidak suka harus dihadapi, harus diterima dengan lapang dada, ikhlas."

Akihiro terhenyak, mendengar dan mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut sang istri. Berusaha memahami apa maksudnya serta belajar secara tidak langsung darinya.

"Aku berubah menjadi lebih baik, bukan menjadi buruk. Kita sedari awal sudah berubah, dari bayi menjadi anak-anak, dari anak-anak menjadi remaja, remaja menjadi dewasa, apa itu bukan sebuah perubahan? Aku ingin bertanya kepadamu, apakah aku harus kembali ke sikapku yang dulu?" tanya [Name]. "Entahlah, aku tidak tahu." Akihiro menjawabnya dengan gumaman, tetapi itu masih terdengar oleh [Name] walau samar-samar.

"Akihiro ... jangan memaksakan seseorang untuk berubah seperti dulu lagi. Seperti yang kukatakan tadi, dulu dengan sekarang berbeda. Kita saat ini bisa dibilang sedang berevolusi menjadi lebih baik, bukankah itu bagus? Janganlah mempermasalahkan sebuah perubahan yang terjadi, nikmatilah perubahan itu, sugestikan bahwa perubahan yang sedang kita alami membawa kita menuju kebajikan." [Name] mengukir senyuman lembut, tangan putihnya mengambil buku yang sedari tadi berada di gaunnya. Meletakkan buku tersebut di meja, bergerak mundur lalu duduk sembari menarik sebuah selimut.

"Aku ingin tidur, kuharap kau mengerti apa yang kukatakan tadi, Akihiro. Selamat malam," ucap [Name] lalu berbaring, mata cokelat madunya perlahan tertutup.

Akihiro menatap [Name] yang sudah tertidur dengan tatapan tak bisa dijelaskan, mulutnya bergerak membentuk sebuah kalimat. "Selamat malam, [Name]."

TBC

820 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top