BWIL - 9. Suka ya!
“Apa adanya bukan berarti harus menunjukkan segala kekurangan diri. Sederhana saja, cukup tunjukkan kebenaran yang memang perlu diketahui orang.”
— BWIL —
“Brandon.”
Sang empunya nama mengalihkan fokus dari majalah, beralih pada sesosok wanita yang menjulang di depannya. Sonya. Rupanya perempuan ini benar-benar terobsesi dengan dirinya.
“Kenapa tiba-tiba nikah sama anak ingusan itu? Ucapan kamu yang mau serius sama aku pas itu apa artinya? Cuma main-main aja?” cercanya merapatkan diri duduk di samping pria berkaos polo itu.
Bibir Brandon mengatup rapat. Merepotkan sekali berurusan dengan wanita, selalu saja menuntut ini itu. Tidakkan dia mengerti, dengan Brandon menikahi wanita lain berarti dia memang tak pernah benar-benar Brandon inginkan.
“Dengar, Nya. Kamu itu teman kuliah, rekan kerja juga, kita udah kenal lama. Kamu udah saya anggap seperti saudara sendiri. Kamu juga tahu, kalau saat itu saya hanya butuh status perkawinan biar nama saya bersih dan bisa segera naik jabatan.”
“Tapi aku sayang sama kamu, Don.”
Untuk sesaat, manik Brandon terperangkap pada mata lebar Sonya. Dia cantik, manis, tubuhnya perfect. Brandon akui Sonya tentu lebih baik dijadikan istri, daripada Dara yang manja, kekanakan, juga kasar. Tapi perasaan cinta wanita itu, akan berkali-kali lipat menyusahkan dan memperpanjang masalah Brandon.
“Saya gak bisa ngasih lebih buat kamu.”
Sonya mendengus pelan, ia kembali berkata, “Jadi, kamu mau mempermainkan adik perempuan Marchel?”
Brandon mendecih, memalingkan wajah ke arah pintu masuk ruangan spa. Semakin diladeni, rasa ingin tahu perempuan semakin menjadi-jadi. “Dara butuh saya, saya juga butuh dia. Kami sama-sama butuh. Tak ada yang dirugikan atas pernikahan ini. Dan kamu, saya rasa bukan saya yang kamu butuh kan.”
Brandon bergegas pergi dari sana saat Sonya menahan langkah dengan cekalan tangan di telapaknya. “Jujur, kamu gak cinta kan sama dia, Don?”
“Gue udahan.”
Dua manusia berbeda gender itu sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Sonya melepaskan cekalan, mundur menjauh dari jangkauan Brandon.
“Mbaknya mau spa juga?” tanya Dara yang direspon anggukan kecil dari Sonya. Suasana menegang, sunyi seketika. Brandon berharap Dara tak mendengar apa-apa.
“Kalau begitu saya duluan. Mari.” Dan Brandon cuma bisa mengangguk takzim seolah-olah tak ada yang terjadi beberapa menit lalu.
Menutup kelopak mata, Brandon mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia bersikap seolah sedang ketahuan selingkuh. Sial!
“Jadi sekertaris om itu, mbak mantan juga, ya?”
Brandon ingin sekali tertawa dengan sikap sok tau anak ini. Naif sekali. Memang hanya orang pacaran yang punya perasaan seolah-olah memiliki. Adik perempua sahabatnya ternyata memang tidak tahu apa-apa soal cinta.
“Om masih belum bisa move on dari mbak itu, ya?”
Enggeleng kecil, Brandon buka suara. “Enggak, saya gak ada perasaan apa-apa ke dia.”
Gadis dengan baju terusan selututnya terlihat sedang memikirkan sesuatu, entah apa itu. “Kalo perasaan om ke aku gimana?”
“Kamu gak perlu tau perasaan saya, lagian gak penting juga kan buat kamu.”
Dara mengendikkan bahu acuh. Membenarkan tas selempangnya. “Om duluan aja ke kamar, nanti dibeliin makanannya. Om mau makan malem pake apa?”
Brandon menghela napas pelan, melihat ke arah lain dengan perasaan jengkel. “Kita ke pantai dulu, liat sunset.”
***
Brandon tersenyum tipis diantara sapuan angin yang menerpa wajah. Maniknya tak luput dari gerakan luwes Dara yang berlari ke sana-kemari, menerjang sapuan air di pinggir pantai. Dia terlihat lebih manusiawi dengan wajah bahagianya, tidak seperti biasa yang suka memasang wajah kesal.
Ponsel disaku jeansnya bergetar. Satu panggilan dan itu dari boss Brandon.
“Halo, om.”
“Halo, Brandon. Bagaimana kabar kamu di sana?”
Brandon sedikit terperangah dengan pertanyaan dari orang di seberang telepon. Masih melangkah menjauhi bibir pantai, Brandon menjawab, “Saya baik, Om. Perjalanan bisnis om di Amerika bagaimana?”
“Lancar, seperti biasa.”
Haris Dharmawangsa tak pernah meneleponnya jika memang bukan hal yang bersangkutan dengan bisnis ataupun putranya, Satya. Ah, ini pasti tentang anak itu. Brandon yakin sekali.
“Saya menelepon karena dapat laporan kalau acara kenaikan jabatan kamu ditunda. Ada apa memangnya sampai harus ambil cuti?”
Brandon melirik ke atas tebing, satu tangannya mengusap rambut ke belakang. “Saya cuti untuk bulan madu, Om.”
“Oh ya, maafkan saya karena lupa mengucapkan selamat atas pernikahanmu.” Brandon diam, hanya bisa tersenyum kecut.
“Saya berterima kasih banyak. Untuk yang kesekian kalinya. Kamu membantu Satya keluar dari masalah yang ditimbulkan karena kebodohannya.”
Pria setengah abad itu tertawa sumbang. “Saya selalu berharap bisa memiliki putra secerdas dan yang bisa diandalkan sepertimu. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih.”
“Saya akan selalu membantu. Berkat om, keluarga besar saya bisa hidup berkecukupan. Dan berkat bantuan beasiswa dari om juga, saya bisa secerdas ini.”
Selayaknya dua pria dewasa tertawa renyah. Seperti itulah percakapan keduanya berakhir. Senyum kecut Brandon, tak sepenuhnya berarti kemalangan. Sebaliknya, Brandon sangat puas. Jabatan incarannya sudah di depan mata.
Tak masalah jika harus mengorbankan status lajang. Kesempatan langka ini tak akan datang dua kali. Saat Marchel dan Haris membutuhkannya, Brandon datang lalu mengambil keuntungan. Sejauh ini Brandon senang, tujuannnya semakin dekat. Dan sepertinya semua berjalan lancar, tak akan ada halangan.
“Om!”
Dari arah berlawanan, Dara berlari melawan arah hembusan angin. Rambut coklatnya melambai pun begitu dress yang dikenakannya tersingkap kesana-kemari. Dia tak mencoba menutupi paha mulusnya dari Brandon. Astaga, Brandon tak habis pikir dengan anak itu. Sengajakah dia.
“Om senyam-senyum sendiri. Gue tau kok gue cantik.” Dara masih tersenyum lebar dengan napas terengah-engah.
“Awas naksir.” Brandon masih diam, gadis di hadapannya tiba-tiba menunjuk dengan wajah menyelidik geli. “Jangan-jangan, om udah naksir gue, ya?”
Ya Tuhan, anak ini terlalu percaya diri. Tak mengindahkannya, Brandon berbalik menuju anak tangga. Di belakangnya Dara berteriak heboh, menyebutnya sedang malu-malu.
Kalo ngamuk mirip dajal, lagi seneng kaya orang hilang akal, batin Brandon menggelengkan kepala.
Tiba-tiba, “Om!” Dara menggelayuti tangan kanannnya. Kenapa anak ini.
“Makasih udah ngajak gue ke sini. Harusnya dari kemarin-kemarin, kan. Biar main ke pantainya gak cuma hari ini doang.” Dua anak adam itu masih berjalan di bawah langit yang mulai menggelap.
“Eh, tapi kenapa tangan om keringetan dingin gini?”
Brandon refleks menariknya dari jangkaun Dara. “Gapapa.”
“Om tuh asik kalo gini, gak kaku-kaku amat. Apalagi kalo om senyum.”
“Kenapa?” Brandon menoleh. “Tambah ganteng?”
Dara mengangguk antusias. “Menularkan kebahagiaan juga.”
Brandon tertawa sekikas, kaku berujar, “Kamu juga, lebih manis kalau lagi senyum.”
Dara terkseiap, mematung di tempat. Eh, dia kenapa. Apa ada yang salah dengan kejujurannya. “Om nih, ngingetin aku sama Satya yang suka ngomong gitu juga.”
Oh, shit! Istrinya sungguh sangat naif.
To be continue ...
Thanks buat yang udah dukung Brandon-Dara sampai detik ini. Love you, muaaah '³
3 Mei 2021
23.42 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top