BWIL - 7. Ditakutin Dewa

‍‍‍‍‍‍‍‍Ting tong. Ting tong.

Berdecak kecil, dengan terburu-buru Dara berlari menuruni anak tangga. Sepenting apa sih urusanya sampai nekat bertamu di saat muadzin masjid lagi kenceng-kencengnya adzan maghrib. Gak ada sopannya sama sekali.

Saat pintu putih ruang tamu dibuka. "Sore penganten baru. Boleh masuk gak, nih?"

Dara mengernyitkan dahi. Behel milik Dewa terlihat berjejer rapi saat laki-laki itu tersenyum menyebalkan. Tiba-tiba saja, Dewa melongokkan kepala didekat pintu.

"Gak ada si Bra, kan?"

Ngaco ni anak.

Suaranya tidak parau, hanya saja mata Dewa Sayu, tubuhnya berdiri agak tidak stabil. Dara tau persis anak ini kenapa. "Kalo lagi mabok pulang aja, jangan ke sini."

Dara bersiap menutup pintunya, tapi ... "Eeee tunggu-tunggu. Gue mau masuk bentar lah."

Dara gagal mengunci pintu. Belum sempat tertutup sempurna, Dewa sudah mendorong lalu melesak masuk secepat kilat. Ia langsung melemparkan diri di sofa coklat ruang tamu.

"Sini Dar, duduk." Dewa menepuk sofa tepat di sampingmya. Rambut gonrong keriting Dewa menutupi sebelah alis tebal lelaki itu.

Dara berjalan mendekat. "Bentar, aku ambilin air." Mendadak, sebelah tangan Dara ditarik kencang oleh Dewa.

"Apaan, Nyet!" rutuk Dara terang-terangan sambil sesekali menggeliat karena posisinya saat ini bersebelahan dengan Dewa.

"Duduk aja sini."

"Ya udah sih, jing. Lepasin!"

Dara membuang muka ke arah lain saat Dewa menatapnya sesaat sebelum melepaskan cengkraman di tangan. Gadis itu sontak berpindah ke sofa single sebelah kirinya.

"Gue pusing banget gak ada lo di kampus, Dar." Di sana Dewa menyenderkan kepala pada sofa, menengadahkan wajah ke langit-langit.

"Mana si Rian kaya tai. Istirahat nongkrong di kantin, gue dikacangin. Dia sibuk mabar AOV."

"Mana tugas banyak banget anjer. Gue bingung mesti nyari contekan ke siapa."Diam-diam dalam hati Dara tertawa bersyukur.

Dewa berdecak pelan lalu kembali bicara, "Lo mau hanimun aja pake cuti seminggu. Ngapain pake ke bali segala, di sini juga jadi."

Tiba-tiba, Dewa tertawa sumbang. "Anjir. Tiga hari empat malem. Lo pasti lepas perawan di sana."

Dara melotot mendengar itu. "NAJIS. Kagaklah, gue gak bakal lepas perawan sama dia."

"Lo pikir cowo beristri bakal peduli? Itu udah jadi hak dia, kewajiban lo buat ngasih."

Entah kenapa, dada Dara berdegup kencang. "Bodo. Nikah palsu, bulan madunya juga palsu. Gak ada yang bisa nyentuh gue sejengkal pun tanpa seijin gue."

Dewa lagiclegi mendecih. Kali inj dia mengatakan kalimat yang membuat Dara memukul kuat rahang kirinya. Semuanya berakhir begitu saja, saat diwaktu yang bersamaan Kak Marchel bersama Kak Maya dan Celya muncul di balik pintu utama.

Dara teepejam, oh, ganguan dari Dewa sudah terjadi sejak dua hari lalu. ‍‍‍‍Suara renyah kripik singkong di mulut Dara berbaur jadi satu dengan suara televisi. Masih menguyah pelan camilan kesukaannya, Dara meletakkan sembarangan kemasan tersebut di meja. Merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Pikiranya terus saja memutar ulang kalimat Dewa.

"Gue gak yakin lo bakal tahan, soalnya lo itu masih noob. Grepe dikit aja langsung gak karuan panasnya."

"Sialan si Dewa, bikin resah aja."

***

Hari ini sudah kamis, tengah hari. Dara sudah rapi dengan tanktop hitam di balik jaket denim putihnya membalut sempurna tubuh Dara. Kaki jenjang berbalut celana jeans putih Dara mengetuk pelan lantai, telapak Dara menggengam pelan tali tas selempang putihnya.

Cklek.

Jantung Dara berdebar kencang, gugup sekali saat orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Brandon. Di dalam kamar, lelaki itu sibuk melepas setelan kerja sesekali melihat ke arah Dara.

"Kamu gak turun ke bawah? Marchel udah di ruang tamu."

"Ee, enggak. Nanti dulu."

Suasana kamar kembali hening. Hanya ada suara krasak-krusuk Brandon yang sibuk mengganti pakaiaan. Dara, dia tentu tak melihat. Sejak suaminya datang ia hanya berdiri menghadap ke balkon kamar.

"Mendingan dibatalin ajalah bulan madunya." Dara berbalik badan.

Di sana, di pinggir kasur, Brandon menatap dengan pandangan tak percaya sambil mengenakan sepatu talinya. Tubuh tegapnya berdiri. "Saya sudah kosongkan semua jadwal di kantor, bahkan pelantikan kenaikan jabatan saya tunda sampai kamis depan. Dan seenaknya kamu batalin di hari keberangkatan."

"Percuma juga bulan madu, gak ada gunanya. Ya gak masalah juga kan buat, Om," imbuh gadis itu lagi.

Dara menatap manik Brandon. Dia diam, sedang berpikir ulang atau hanya menunda waktu mengatakan tidak. Wajah kakunya itu, Dara tak bisa menebak isi kepalanya. Dia tak berekspresi apapun.

"Enggak." Brandon mengejar lelaki itu yang berbalik masuk ke kamar mandi.

"Tapi buat apa? Kita nikah gak pake cinta, ngapain bulan madu segala." Brandon yang sedang mengaduk-aduk kantong celana setelan kerjanya terhenti sejenak.

"Kita harus tetap berangkat bulan madu."

Bahu Dara merosot seketika. Ia meminggirkan tubuh saat Brandon kembali keluar kamar mandi berama jam tangannya. Dia harus memutar otak. "Sia-sia, bosen doang yang ada malahan. Gak ada cinta ngapain mesti ribet-ribet bulan madu."

"Gak cinta pun tetep bisa bulan madu. Udah jangan rewel."

Apa artinya. Apa seperti yang dewa katakan saat itu. Minta jatah?

Dara refleks menggeleng. "Enggak! Aku gak mau kasih jatah apa-apa ke Om."

"Jatah?" tiru Brandon terkejut.

"Aku gsk mau dipegang-pegang apalagi ML sama om."

"ML?"

Brandon malah tertawa lalu kembali menatap lekat pada Dara. Dia melangkah, mendekat. "Memangnya kamu mau saya gimana selama bulan madu?"

"Ya ... ya gak usah gimana-gimana. Ah gak usah bulan madu aja. Batal aja, batalin semuanya."

Memegang bahu Dara berbisik di telinganya. "Jatah ML, ya." Mendadak tubuh Dara menegang hebat. Dia memerjelas semuanya dan itu semakin membuat Dara resah.

"Saya kan, suami kamu. Saya punya hak minta jatah kapan aja."

Mendongakkan kepala, Dara mendorong kuat dada Brandon. Memundurkan kakinya beberapa langkah menjauh. "Gak mau! Gue gak mauuu."

Seringaian Brandon semakin membuat Dara bergidik. Om-om ini cabul, dia mengerikan. Dara mana bisa tinggal bersama orang mesum seperti ini. Semua ketegangan berakhir saat ada sebuah ketukan pada pintu kamar yang tak tertutup sempurna, disusul suara Maya.

"Dara udah belum siap-siapnya."

Karena Dara diam saja. Brandon akhirnya menjawab, "Lima menit dan kami akan segera turun."

"Oh, oke."

Bayangan dari balik pintu menghilang. Brandon mendekat selangkah, tapi Dara jyga mundur selangkah. Lelaki itu memejamkan mata.

"Dengarkan .... Saya. Gak. Akan. Menyentuhmu. Sedikit pun."

Brandon tersenyum miring meneliti setiap jengkal dari Dara. "Jangan terlalu pede. Lagian ... Pinggang rata, dada segede bekel, pantat rata, gak semok."

"Saya gak pernah punya nafsu sama kamu. Kalau tidak, sudah sejak hari pertama kamu saya perawani." Brandon berbalik, bersiap menyeret kopernya.

"Tapi, tetep aja aku gak mau bul-"

"Ssst!" Ucapan Dara terpotong. "Kamu terlalu banyak maunya."

"Bodo amat. Kalo gue gak mau ya, gak mau."

Dara tak tau saja. Dibalik punggungnya, Brandon menyeringai tipis. "Marchel bakal nyuruh kamu tinggal di rumah saya, kalo sampe nolak hadiah dari tante kamu. Saya tau, kamu pake voucher bulan madu ini buat ngancem Marchel biar dia mau membujuk saya, agar saya mengijinkan kamu tinggal di sini. Benar kan?"

Data tetaplah dara yang berkemauan seperti batu. "Gue gak peduli. Bisa numpang di kostannya Dewa."

"Saya bakal buat Marchel benci sama Satya. Kamu berniat kabur sama Satya kan?"

Sial! Menggigit bibirnya, kartu As Dara ada ditangannya. Kak Marchel bisa begitu ketat, jika dia tau hal ini. Dara tak akan punya kebebasan lagi.

"Saya bisa bocorin hak ini ke Marchel kapan aja," imbuh Brandon.

"Lo mau apa?" Ini keputusan beresiko, tapi Dara tak punya pilihan.

"Saya mau kamu nurutin perintah saya."

Heh, itu bisa berarti oerintah jamak kan. Hell, ternyata pria tua ini mau membodohi Dara. "Gak adil."

"Apa perlu kita susun kesepakatan?"

To be continue ....

26 April 2021
23.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top