BWIL - 3. Kepergok!
Kelopak Dara terbuka lebar memandang langit-langit kamar. Semburat sinar mentari di mana-mana, ternyata sudah pagi. Kedua tangan ia regangkan ke atas, lalu menjatuhkannya kembali ke sisi badan. Dengan masih mengerjapcngerjapkan mata, satu telapaknya tak sengaja meremat kain tebal.
Eh, batinnya sambil mengubah posisi menjadi duduk.
Selimut yang semalam Om-om itu pakai, kini berada di atas ranjang, melindungi kaki jenjang Dara dari hawa dingin. Aih, dia perhatian dekali, tapi Staya lebih perhatian. Tiba-tiba saja, dirinya teringat akan suatu hal. Ini hari senin kan, Dara harus pergi kuliah.
“Mampus, gue telat!”
Berselang seperempat jam, dengan tergesa Dara memasukkan buku-bukunya ke dalam totebag. Membenarkan rambut kuncir kudanya, lalu menatap sekali ke cermin. Ok, perfect. Notifikasi pesan beruntun mau tak mau membuat Dara harus membalasnya.
“Ajudannya setan ya, gini, gak tau malu banget, njir.”
Rian
Lo utang crta ke gw!
Gw di dpan. Cpet keluar!
Klo gk, gw aduin ke kk lo. Klo lo sbnernya blom putus ama Satya
Tai. Ngapain lo ke sini?
Lo hrus ngampus klo gk mau nyesel.
Cpetan!
Meninggalkan aplikasi perpesanan. Dara berlari menuruni tangga sembari mengenakan jaket denim. Sepatu navy senada dengan rok selutunya berdecit. Berbelok ke meja makan, Dara agak terkesiap dengan pemandangan di sana. Kursi Dara, di tempati Brandon. Ya, hanya ada Brandon di meja dan kakak iparnya yang sedang menghidangkan makanan.
Kenapa gak enyah-enyah aja sih, nih, orang. Alah, persetan dengan suami baru. Dara menyambar satu roti isi, lalu bergegas berbalik badan, pergi.
Tapi tiba-tiba, “Mau ke mana?” Marchel muncul dengan setelan jas, berusaha menghalangi jalan Dara.
“Mau kuliah, sekarang hari senin.”
Tanpa perlu menunggu kalimat lain dari kakaknya, gadis itu melanjutkan langkah sambil mengunyah pelan rotinya. Namun, bapak beranak dua itu lagi-lagi menahan Dara.
“Kamu libur kuliah dulu.”
“Gak mau.”
“Loh, biasanya kamu malah suka bo—”
“Dara ada urusan. Udahlah, see you, Kak.” Berlari kecil meninggalkan ruangan. Dara nenghiraukan perintah Marchel yang memintanya untuk kembali dan duduk di meja makan.
Di depan gerbang, sebuah motor matic hitam terpakir manis bersama pengemudinya, Rian, sahabat sekaligus pesuruh Satya. “Lo mandi setengah mati kali, ya, makanya seabad.”
“Bawel, tai setan.”
“Buset, pagi-pagi udah kasar aja sih, lo.”
“Bodo!” Dara menerima uluran helm dari Rian, lalu duduk di jok penumpang. “Kali ini apa? Lo disuruh Satya jadi ojol gue?”
“Kagak, sih.”
“Terus?”
“Gue mau denger cerita lengkapnya dari lo.”
Dara mengernyitkan dahi tak mengerti. “Apa sih, njir.”
“Lo ninggalin Satya nikah, kan?”
Dara menggeram dalam hati, Ini pasti ulahmya si Dewa ember. Tekotok bangetlah.
***
Malam pesta hari ulang tahun Rian waktu itu, Dara tak menyangka akan sepanjang ini urusannya. Bersennag-senang di akhir pekan. Hanya itu niat awalnya. Tengah malam, saat pesta bubar. Satya bersama sopir awalnya berniat mengantarkan Dara pulang. Tidak lebih, tapi, Dara berbuat satu kesalahan saat mencium bibir laki-laki yang sedang di bawah pengaruh alkohol. Ciuman sampai jumpa itu malah berujung panas.
Decapan di sana-sini mengundang desisan kecil bibir Dara. Tak ada orang, kakaknya pasti sedang menjaga sang istri di rumah sakit sekarang. Dia tak akan pulang ke rumah. Itu berarti Dara bebas melakukan apapun.
“Eunghhh.”
“STOP. STOP!”
Dara mengernyitkan dahi, melempar pandangan bertanya.
“Gue gak perlu tau siapa yang mendesah pas itu,” ucap Rian memendarkan pandangan ke arah lain sesekali menggaruk kepalanya.
“Lo goblok apa sok polos, sih?”
Menukikkan alisnya, Dara mengenga tak percaya. Tadi minta diceritain, sekarang malah marah-marah gak jelas. Makhluk ini maunya apa, sih.
Rian mengusap wajah kasar. “Gue cowok, lo malah cerita kaya gituan. Kalo yang nanya cowo lain, lo ceritain juga?”
“Ya enggak. Kan ini elo, sahabat gue, sahabat Satya juga.”
“Ya, harusnya skip kek, bagian yang itu!”
“Yakan lo sendiri yang minta cerita lengkapnya.”
“Capek gue.” Rian menunjukkan satu bogemannya, “Minta gue tampol biar waras dikit?”
“Tau ah, rempong lo, Yan. Kaya ART julid di warung komplek.”
“Lanjut!” ujar Rian tanpa menghiraukan cibiran Dara.
“Gak, gobloklah, kalo gue ngomong ama cowo yang lagi PMS.”
“Tolol. Lanjut aja napa, sih. Baperan amat.”
“Abis malem pertama, kok, jutek amat. Ketauan gak teriak sih, lo. Makanya gak puas.” Dewa, tanpa diundang tanpa dijemput tiba-tiba duduk dan ikut bergabung bersama dua manusia berbeda gender itu.
“NAJIS!” Dara meludah berulang kali meludah ke tanah. Lalu menjambak rambut Dewa yang serta merta membuat lelaki itu berusaha berdiri dari duduknya.
“Anjir, sakit woy! Lepasin, Dar.”
“Bodo! Anggep aja ini jasa gratis pembersihan otak lo yang udah tercemar itu. Omongan lo bikin gue geli, najis.”
“Yaelah, ya maap. Lagian lo juga udah gak polos-polos amat.”
“Tampol, nih, mulut ember!” Dara mengacungkan satu tangannya ke arah Dewa yang sontak saja langsung meminta ampun.
Menatap bergantian dua orang di samping kiri-kannnya. Dara berdesis, “Sampe lo berdua sebarin berita nikahan gue ke anak satu kampus. Mati lo berdua, gak gue kasih contekan tugas.”
“Nggih, Nyonya.”
Nampaknya hanya Dewa yang ketar-ketir mendengar ancaman tersebut. Sedangkan Rian, cuma bersedekap sambil terus meminta Dara melanjutkan cerita.
“Oke.” Kedua pria itu memusatkan perhatian pada Dara.
“Pas gue sama dia udah sama-sama panas. Dikit lagi itu benda pusaka Satya buka segel gue, tiba-tiba pintu kebuka. Kak Marchel auto gebukin Satya, gak peduli dia lagi telanjang sekali pun. Sedangkan gue, cuma bisa telentang di sofa liat satya dihajar habis-habisan. Gue gemeteran banget pas itu.”
Dara terdiam sejenak. “Gue yakin sih, dari pintu pas pertama kali Kak Marchel liat. Pemandangannya pasti udah beda, kaya seolah-olah, Satya udah beraksi. Padahal masuk aja belom.”
Suasana hening, seiring berubahnya raut wajah Dara. “Yang kakak gue percaya, gue udah lepas keperawanan. Satya ngaku gak bisa tanggung jawab buat nikahin gue. Saat temennya mengajukan diri. Kak Marchel seneng banget, kaya nemu harta karun. Apalagi temennya itu udah kakak gue anggep kaya sodara sendiri.”
“Kakak lo kan dokter, kenapa gak divisum aja? Dia pasti ngerti yang begituan.”
Dara menoleh pada Rian, tersenyun kecut. “Gue goblok banget, gak tau hal yang begituan. Kalo tau, gue bakal keukeuh minta visum. Soalan Kak Marchel, dia gak perlu membuktikan lagi dengan cara lain, dia udah cukup percaya sama apa yang dia liat.”
“Kenapa lo mau dinikahin sama dia?”
Pertanyaan Dewa tak Dara hiraukan. Perempuan itu, mengunci setiap gerak langkah Satya yangvl muncul dari gerbang. Sepertinya dia mengarah ke gedung rektorat. Ini ... kesempatan Dara kan?
“Satya! Satya!”
Dara berlari memotong jarak di anatar keduanya. Gadis dengan rambut kecoklatan itu, memeluk Satya dari belakang tanpa peduli dengan mahasiswa lain yang berlalu lalang.
“Plis, jangan pergi. Jangan tinggalin gue sendiri, Sat.”
Tangan lain menarik Dara ke dalam dekapannya. Wangi Satya, hangat pelukan, sikap lembut, dan ucapan sopannya, Dara tak mau kehilangan semua itu. Siapa lagi yang bisa memberinya kasih sayang yang seperti ini. Kak Marchel? Tidak, dia pengganti papa, orang yang selalu keras pada Dara. Yang seperti Satya, Dara hanya punya satu saja.
“Aku pergi cuma sementara. Sampe studi aku selesai.” Usapan lembut telapak Satya mengalirkan debaran hangat di dadanya.
“Kamu juga harus serius kuliah di sini. Aku pasti balik ke indo, buat ka—”
“Tolong, itu istri saya jangan sembarangan kamu peluk-peluk.”
To be continue ...
8 April 2021
23.49 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top