BWIL - 12. Nggak Pulang

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Brandon dengan jas abu dan tas di tangan kiri, menutup pintu kamar pelan. Maniknya tertuju pada bilik kamar Dara, bertanya-tanya dalam hati apakah gadis itu sudah bangun atau belum.

“Om Brandon, nyariin kak Dara kan? Dia gak di rumah. Dari kemarin Cely juga gak ketemu sama Kak Dara. Gak tau deh dia ke mana,” ujar gadis berumur tujuh tahun itu.

Brandon mendekat, mengusap sebelah pipi chubbynya. “Cely mau berangkat sekolah, ya?” helaian rambutnya yang dikuncir dua bergerak pelan.

“Emang Cely kelas berapa sekarang?”

“Kelas dua dong, om. Aku udah gede kan?” Brandon terkekeh kecil mendengarnya.

“Ya udah om, aku mau sarapan dulu. Nanti Mama marah kalo aku kelamaan di atas.” Gadis berseragam merah dengan ransel biru di punggungnya menuruni tangga dengan cepat.

Dia sangat mirip dengan Maya, batin Brandon.

Menghela napas kecil, ia melanjutkan langkah menuruni anak tangga menuju meja makan. Tak ada Marchel, hanya Cely dan adiknya yang masih berumur dua tahun.

“Ayo cepet di minum susunya. Kalo kakak makannya lama, nanti telat loh masuk sekolahnya.”

Maya terlihat sedikit terkejut dengan kehadiran Brandon. Meletakkan mangkuk nasi gorengnya, wanita itu duduk mengambilkan sarapan untuk putri sulungnya. Persis seperti ini keluarga kecil yang Brandon impikan.

“Mama, papa ke mana, kenapa belum turun? Nanti kalo Cely telat sekolahnya gimana?” keluh gadis kecil itu sambil terus menyuapkan sendok ke mulutnya.

“Cely sayang, Papa ada kerjaan di luar kota. Jadi gak bisa anterin Cely berangkat sekolah. Nanti biar dianterin sama Pak Sofyan, ya”

Gemelenting sendok yang beradu dengan keramik menyita seluruh perhatian. Gadis kecil itu merengut, menundukkan wajah. “Papa bohongin Cely. Katanya mau nganterin Cely sekolah, tapi malah pergi gak ngomong-ngomong sama Cely.”

Maya menggeleng, memegang pipi kiri putrinya. “Bukan begitu sayang, papa pulang subuh tadi. Habis ada operasi, papa harus langsung berangkat. Papa gak tega bangunin Cely yang lagi tidur.”

Brandon yang sejak tadi diam, ikut angkat bicara. “Kalo om yang anterin sekolah. Cely mau?”

Gadis berambut sebahu itu menoleh pada ibunya seolah meminta persetujuan. Belum sempat menjawab, kedatangan Dara di ruang makan membuat semua orang terdiam.

Manik Brandon sempat bersitatap dengan manik istrinya, hanya sejenak sebelum gadis muda itu menelusuri permukaan meja.

“Dara, kaka punyanya cuma nasi goreng aja. Gapapa, ya.”

Suara klakson dan motor meraung membuat panik gadis berambut kecoklatan itu. “Dara berangkst kuliah, Kak. Nanti gampang, sarapan di kantin.” Lalu melenggang pergi dengan langkah cepat.

Brandon tentu ikut menyusul, berteriak meminta gadis itu untuk berhenti. “Saya yang anterin kamu.”

Langkah panjangnya memudahkan Brandon menjangkau Dara dengan cepat. Tepat di teras rumah, Dara menyentak tangannya. “Gak usah, gue berangkat bareng Dewa.”

Dan Brandon hanya bisa melihat istrinya berlalu pergi diboncengan pria lain. Tepat ketika itu, Celya berlari ke bangku penumpang sedan hitam yang terparkir di pelataran rumah. Sopir yang dikhususkan Marchel untuk mengantar Celya ataupun Maya kemana pun mereka pergi.

Maya menyusul, melihat kepergian mobil yang ditumpangi putri sulungnya. Pergerakan tiba-tiba Brandon yang memegang tangannya, refleks membuat Maya menjauh. “Apa-apaan sih, kalo ada yang liat gimana?”

Brandon melangkah cepat menyusul Maya masuk ke dalam. Kali ini Brandon mengunci tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Menghidu aroma tubuh kakak iparnya.

“Lepas! Jangan kurang ajar, ya.” Maya menggeliat berusaha melepaskan diri dari lelaki ini.

“Kamu dulu selalu suka kalau aku begini.” Brandon masih tetap menenggelamkan wajah di sekitar tenguk Maya. Dia bahkan semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku udah bersuami, tolong lepasin.”

Brandon menggeleng masih dengan posisi yang sama. “Kamu gak pernah cinta sama dia, kan?”

“Berhenti berbicara omong kosong.”

Menegakkan kepala, Brandon melepaskan pelukan dan memutar bahu Maya menghadap padanya. “Apa aku salah? Dia anak konglomerat, makanya kamu mau nikah sama orang asing itu.”

Brandon tak mencegah saat Maya melangkah mundur, menjauh dari jangkauannya. Terlihat kelopak wanita itu dibanjiri air mata yang siap meluncur kapan saja.

“Kamu gak tau apapun tentang masa lalu. Jadi tolong, gak usah dibahas lagi.”

Maya berbalik badan, melangkah menjauhi Brandon. Tapi lelaki itu tak akan diam, dia harus tau kebenarannya dari mulut Maya sendiri. Kebenaran yang selalu dikatakan lewat matanya. Brandon tau, Maya masih mencintainya.

“Jujur Maya, kamu masih cinta sama aku bukan?”

Brandon yang tak sabaran, bergegas mendekat. Berdiri menjulang di depan wanita beranak dua itu. Mentap lekat maniknya lalu mengatakan sesuatu yang sangat berbahaya jika ada yang dengar.

“Aku masih mencintaimu, karenanya aku ke sini ingin mengambilmu kembali padaku.”

“Kamu gila!”

“Karena kamu,” tukas Brandon.

“Jangan mimpi, aku udah bahagia sama Mas Marchel. Lebih baik kamu fokus sama Dara,” jelas Maya lalu mengambil langkah pergi.

Namun, Brandon kembali menginterupsi. “Dengar. Pria mana yang mau memiliki istri manja, kekanakan. Kalau dia saja mencintai wanita sedewasa dirimu.”

“Aku gak peduli. Semua itu udah berlalu.”

“Belum! Semuanya belum selesai. Kita gak pernah putus. Kamu yang tiba-tiba datang bawa Marchel sebagai suami.”

Suasana hening. Maya tak berbicara sepatah katapun. Brandon paham betul, wanita itu tengah menangis dalam diam.

“Kamu gak begitu bahagia, aku tahu itu,” imbuh Brandon menegaskan hal yang sama lagi.

“Bukankah Marchel sahabatmu?
Kenapa berbuat seperti ini padanya.
Keluarga ini bisa hancur. Aku istrinya dan Dara adiknya.” Meski lirih, Brandon mendengar isakkan halus Maya di antara kalimatnya.

“Tidak ada cinta untuk Marchel darimu. Dan tak ada cinta untukku dari Dara.” Brandon masih tetap berada beberapa langkah di belakang Maya. “Kupikir tak ada yang salah. Aku mendukung gadis itu kembali pada kekasih lamanya, dan akupun akan berjuang mendapatkanmu lagi.”

“Kamu ingin mempermainkan kita semua?” celetuk Maya.

“Marchel yang mempermainkanku sepuluh tahun lalu. Aku hanya ingin mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”

Maya berbalik badan, tersenyum hambar. “Anggaplah jika sepuluh tahun lalu aku terpaksa menikahi Marchel, tapi sekarang aku tak pernah menyesal menyandang status sebagai istrinya.”

Kali ini, Maya benar-benar pergi meninggalkan Brandon sendiri di ruang tamu. Tiba-tiba ....

“Om, bisa anterin kita ke kampus?”

Brandon sontak berbalik badan. Diambang pintu, pemuda berambut ikal berdiri di sana. Di pelataran rumah di sebelah motor sport milik anak ingusan ini, Dara berdiri menunggu. Gadis itu bahkan sempat membuang muka saat Brandon melihat ke arahnya.

“Di belokan depan, rantai motor saya putus om.”

Brandon mengangguk berjalan keluar. Saat melewati Dara, ia berkata, “Ayo, saya antar ke kampus.”

“Gak!” Dua manusia berjakun kompak menoleh pada asal suara. “Mau ke kampus sama Dewa pake motor, mana kuncinya?” pintanya seraya menodongkan tangan.

“Motor saya di kantor.”

“Bohong!” seru Dara. Brandon menghela napas, mengusap wajah pelan.

Beberapa hari lalu, karena diburu waktu Brandon terpaksa memakai motor CBR-nya yang selalu terparkir di kantor untuk menambil berkas penting yang tertinggal. Dara yang sedang kurang enak badan, mungkin saja melihatnya. Namun, seperti yang sudah ia katakan. Motor itu tak terparkir di rumah.

“Cari aja motornya, saya tunggu di mobil. Kalau ketemu, kuncinya ada di meja nakas kamar saya.”

Beberapa saat setelahnya, setelah pertengkaran kecil terjadi. Kini di samping Brandon, ada Dewa sedangkan di bangku penumpang Dara diam menatap keluar jendela.

“Kemarin malam, kamu ajak istri saya main ke mana?” todong Brandon lugas.

“Apa sih kepo amat,” sahut Dara.

To be continue ...

19 Mei 2021
19.56 WIB


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top