BWIL - 11. Satya Kenapa
"Kalo bukan gue sendiri, terus siapa yang bakal perjuangin keinginan gue."
Dara
- BWIL -
"Istri saya tidak bisa hadir untuk makan siang, Pak. Mendadak ada kelas kuliah. Saya mohon maaf karena membuat bapak menunggu."
Pria bersetelan kantor abu-abu di depannya terkekeh kecil. Membenarkan letak kacamata lalu berucap, "Brandon. Brandon. Berapa tahun kamu kenal saya. Kenapa masih formal begitu?"
Mendengarnya Brandon tersenum kecil. "Dikantor, bapak boss saya."
Pria yang nyaris setengah abad itu memajukan badan, menakutkan jari tangan. Dengan wajah serius dia angkat bicara, "Saya berharap bisa jadi ayah dari anak yang sejenius dirimu. Kamu dangat bisa diandalkan, bahkan sejak masih menjadi model di sini. Kamu gak pernah bikin saya kecewa."
Brandon mengangkat wajah. "Saya hanya melakukan tugas saya sebaik, bapak juga telah memberika banyak batuan untuk saya dana anak-anak panti. Itu semua tidak sebanding dengan yang saya lakukan."
Haris Widyantara, pemilik Wantsa Holdings pria yang sangat Brandon segani. Bukan semata-mata karena jabatan saja. Dia adalah salah satu donatur terbesar di panti asuhan tempat Brandon bertumbuh. Haris juga banyak berjasa atas kesuksesan Brandon saat ini.
"Percayalah nak, bukan saya yang melakukannya. Kamu sendiri yang merancang masa depanmu."
Haris menegakkan kembali punggungnya. "Saya berterima kasih banyak telah membantu Satya keluar dari masalahnya. Saya gak gak tau harus ngomong apa sama kakek Satya, kalau dia sampai tahu apa yang Satya lakukan."
Dan Brandon hanya bisa terdiam mendengarkan helaan napas lelah Haris. Banyak uang sepertinya tidak bisa menghapus keletihan pria itu. Sama dengan dirinya, semua kesuksesan ini tak bisa menghapus rasa sakit dari masa lalunya.
"Dengar, Nak." Brandon menatap lurus pada Haris. "Sebelum insiden ini. Saya memang sudah punya rencana untuk menunjukmu sebagai wakil presiden WH. Sempat tertunda beberapa bulan, karena kabar burung yang menodai nama baikmu."
Haris terkekeh di tengah kalimatnya. "Bahkan saya sampai berpikir berulang kali untuk menyuruhmu segera menikah. Tapi urung saya sampaikan, karena itu menyangkut hal pribadi."
Oh, Astaga. Itulah kenapa anak bau kencur itu bilang. Jika dirinya mau menikahi Dara semua hal terkait kenaiksn jabatannya akan berlangsung lancar. Sial, dirinya dimanfaatkan Satya. Anak itu, geram Brandon dalam hati.
"Bapak tak perlu sungkan dengan saya. Anggap seperti anak sendiri."
Brandon paham betul. Hanya orang dengan reputasi dan kinerja baik yang berkesempatan naik jabatan, itulah aturan tak tertulis di Wantsa Holdings. Malangnya Brandon mendapat tuduhan tak berdasar dari orang-orang yang tidak suka dengan memanfaatkan status lajangnya. Dirinya disebut homo. Yang benar saja.
"Brandon, satu hal yang tak bisa saya mengerti. Kenapa kamu bisa menikahi gadis itu? Tidak mungkinkan hanya karena untuk menolong Satya."
Tok Tok Tok
"Mohon maaf, Pak. Acara pembukaannya harus segera dimulai. Jam dua siang nanti bapak ada janji dengan calon investor."
Haris menegakkan bahu, membenahi jasnya. "Baiklah, saya segera ke sana."
Percakapn berakhir dengan helaan napas lega Brandon. Tak tau harus mengarang cerita apa lagi. Rasanya tak pantas kalau Brandon bilang, ia menikahi Dara hanya karena kasihan pada Marchel, sahabat karibnya apalagi. Tidak tidak. Itu kebohongan yang terlalu janggal. Sepertinya, Brandon memang harus mengarang kisah lain lagi.
***
B
erangkat pagi, pulang malam. Sudah jadi rutinitas bagi Brandon. Tapi kali ini, tak ada yang biasa. Dia bukan lagi bujangan yang bebas pulang kapan saja. Ada anak paud manja yang harus Brandon jaga.
Brandon berjalan keluar dari mobil, sesekali maniknya melirik ke lantai dua. Kamar Brandon dan Dara masih gelap. Sekelebat pikiran jelek melintas, Anak itu, apa dia masih keluyuran di luar.
Memejamkan mata, Brandon menggeleng kecil. "Mungkin dia ada di kamarnya sendiri," gumamnya lalu membuka pintu utama.
Brandon sedikit terkesiap melihat sosok yang duduk di sofa. Tiba-tiba jantungnya berdetak amat kencang. Maya bersama dua anaknya. Untuk sesaat tatapannya juga terkunci pada iris gelap wanita itu.
Sial, rutuk Brandon dalam hati. Berpaling dari sana, kakinya melangkah lebar meninggalkan ruang tamu.
Brandon akui, ia memang masih mencintai Maya. Dia tak pernah bisa melupakan wanita itu meski sudah bersuami. Jika sepuluh tahun lalu, yang jadi masalah adalah uang. Maka sekarang, Brandon dengan mudah bisa merebut kembali Maya dari Marchel. Namun masalahnya, dia tak yakin apakah wanita itu masih mencintai dirinya.
Dalam kegelapan kamar, Brandon melangkah gontai lantas merebahkan diri dikasur. Pikirannya melayang jauh pada wanita di bawah sana. Berandai-andai, bahwa Maya duduk bersama anak mereka di ruang tamu, menunggu Brandon pulang kerja.
Mengusap kasar wajah, Brandon bangkit dari posisi telentang. Tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini. Gadis manja itu, harus diberi pelajaran atas kelakuannya. Brandon tau betul, Dara berbohong soal kelas tambahan tadi siang. Dia harus bisa mengendalikan Dara untuk bisa mendapatkan semuanya kembali.
Ah, dimana dia sekarang, batinnya lalu bergegas keluar dari kamar.
***
"Wa, sebenernya lo mau ngapain ngajak gue main ke sini?" tanya Dara sedikit berteriak berusaha menyaingi suara musik di ruangan.
Pria dengan rambut ikal itu menegakkan punggung, mendekatkan wajah pada telinga sepupunya. "Having fun aja, biar gak stress habis ngerjain tugas."
Dara diam saja, dirinya mendadak jadi teringat Satya. Biasanya bersama Dewa, Satya dan dirinya sering melakukan ini. Tangannya menggenggam erat ponsel.
Telpon gak ya, batin Dara menimbang-nimbang.
Dara menoleh pada Dewa. Lelaki itu masih menatap ke arah puluhan orang-orang di tengah ruangan yang tengah meliuk-liukkan badan. Menyenggol sepupunya, Dara pamit pergi ke toilet.
Di dalam bilik kamar mandi, Dara duduk di atas kloset. Maniknya melirik jam tangan. Sekarang jam dua belas malam, itu berarti jam 12 siang di Chicago. Satya pasti sedang makan siang sekarang.
Dengan harap-harap cemas, ditekannya tombol power. Layar ponsel menyala, ada puluhan pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari "Mas Suami." Yah masa bodo, tujuan Dara mematikan ponsel memang untuk ini. Sekarang waktunya Dara mencoba peruntungan. Semoga Satya menjawab telpon darinya.
Nada terhubung, ponselnya pun berdering, tapi ... "Duh. Ayo jawab telponnya, Satya."
Dua, tiga, lima kali pemuda itu tak menjawab. Panggilan yang ke enam, ponselnya tidak aktif. Dara menunduk, sebelah tangan yang memegang ponsel jatuh kepangkuan bersamaan dengan setetes air yang melintasi pipi.
Satya. Dia kenapa tidak mengangkat telpon dari Dara. Padahal ia ingin tahu bagaimana kabar lelaki itu. Apakah dia baik-baik saja di sana. Bagaimana hari-harinya. Apakah dia bahagia di Amerika. Di sini dada Dara bahkan sesak karena merindukan Satya, tidakkah pria itu merasakan hal yang sama.
"Apa Satya udah move on dari aku," ucapnya lirih di tengah sesenggukan.
Di tengah isakkan, ponsel Dara berdering. Panggilan dari Brandon. Ia mengaktifkan mode senyap, beberapa kali Dara menghiraukan telpon dari suaminya. Dia sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun saat ini.
"Kamu kenapa sih, Sat."
Pukul setengah dua dini hari, Dara turun dari taksi biru. Matanya otomatis melirik ke lantai dua. Lampu kamar mati, pasti Brandon sudah tidur. Melihat Dara di luar gerbang, pak satpam yang bekerja di rumahnya dengan sigap membukakan pagar. Dengan langkah bergegas, gadis bermata sembab itu menyusuri halaman rumah sambil mengaduk isi tas mencari kunci pintu utama.
Saat memasukka kunci pintu, ia mengernyitkan dahi heran. "Loh, ini pintu gak dikunci," gumamnya lalu mendorong gagang pintu.
Dan benar saja, pintu terbuka. Ruang tamu masih terang, tanpa diduga Branfon ada di sana, duduk di sofa bersama laptop dan berkas berkasnya. Menghiraukan tatapan tajam dan muka datar om-om itu. Dara melangkah cepat, bahkan tidak peduli meski Brandon berteriak meminta penjelasan.
"Dengar! Mau saya adukan semua kelakuan kamu ke Marchel?"
Langkahnya terhenti di anak tangga pertama, Dara tertawa dalam hati. Brandon tidak tahu saja, kalau Marchel sudah kewalahan mengurusi dirinya. Bahkan sang kakak tidak bisa menghentikan apa yang Dara inginkan, tapi lelaki tua ini sok-sok an ingin menjinakkannya.
"Dara, jawab dulu pertanyaan saya!" seru Brandon lagi saat dirinya memutuskan untuk melanjutkan langkah.
Dia pikir, dirinya siapa bisa membentak Dara begitu. Tidak tahu malu. Di rumahnya sendiri saja, Dara dibentak-bentak seperti ini. Bagaimana jika Dara tinggal di rumah laki-laki itu. Mungkin dia akan dijadikan pembantu di sana.
"Jawab, Dara!" bentak Brandon lagi seraya menyentak bahu istrinya. Memaksa Dara menghadap pada Brandon.
"Gak usah kepo!"
"Mata kamu kenapa. Habis nangis?"
Dara menyentuh kelopak mata kanannya sekilas. "Gak usah sok peduli. Urus aja urusan lo sendiri," ujar Dara lalu berbalik badan.
Brandon menyahut pergelangan tangan Dara. "Siapa? Diapain sama si Dewo Dewo itu sampe kamu nangis."
Dara tak menjawab, hanya diam saja. Brandon kembali angkat suara. "Habis main ke mana, kenapa pulang larut begini?"
Mata Dara mendadak berkaca-kaca. Mendengar semua perhatian itu, ia malah teringat dengan Satya. Semenjak mamanya tiada, hanya lelaki itu yang selalu memberi perhatian dan bisa mengerti Dara. Cuma Satya, tak ada siapa pun lagi. Bahkan Marchel, kakaknya lebih banyak memarahi ketimbang berusaha mengerti dirinya.
"Dengar, saya gak suka ya, kamu pulang larut lagi. Kalau ada apa-apa bagaimana? Kamu itu tanggung jawab saya."
Dara hanya menunduk, masih berusaha menahan tangisnya. Di kepalanya hanya ada Satya, Satya, dan Satya saja. Dia snagat merindukan pria itu.
"Kamu gak bisa seenaknya lagi ...."
Bla bla bla. Orang dewasa memang selalu begitu, bisanya cuma menuntut agar semua keinginannya dituruti, batin Dara.
Kesenduan tadi perlahan berubah menjadi kekesalan. Dara mengangkat wajah, menantang manik Brandon.
"... kamu itu istri saya." Dia tersenyum miring mendengar kalimat terakhir suaminya.
"Tapi gue bukan anjing yang bakal terima kalo disuruh nurut mterus."
"Kapan saya ngatur kamu?"
Dara terdiam dibuatnya. Yah Brandon belum melakukan itu, tapi dia pasti akan segera melakukannya. Seperti yang Kak Marchel lakukan. Bukankah, sifat seseorang tidak jauh dari sifat sahabatnya.
"Inti percakapan ini, lo mau bilang gue gak boleh ini dan itu kan? Apa bedanya sama ngekang, ngatur-ngatur."
Dara bisa mendengar helaan napas lelaki itu. "Saya gak suka, kalau kamu selalu berbuat semaunya sendiri."
"Bodo! Gue gak berkewajiban buat nyenengin hati lo terus. Kalo bukan gue sendiri, terus siapa lagi yang bakal perjuangin keinginan gue."
Suasana hening, bahkan Dara bisa mendengar deru napasnya sendiri. "Mau kamu apa?" Dara tersenyum miring mendengar Brandon mengucapkan sepatah kata yang terdengar seperti basa-basi di telinganya.
"Bul*hit, cok!"
Dara membuka kasar pintu kamar, membanting pintu kuat-kuat lalu menguncinya. Menangis lagi di dalam sana. Semua emosinya teraduk jadi satu. Ponsel di saku jaket Dara bergetar.
Layarnya menyala, menampilkan satu pesan terbaru dari Brandon.
Mas Suami
Besok pagi kita bicara lagi, cepat tidur
Tangis Dara malah semakin kencang. Perhatian Brandon malah membuat dia merindukan Satya. Sekarang kenapa orang itu malah bersikap mirip seperti Satya.
To be continue ...
16 Mei 2021
17.33 WIB
Thank you pembaca setia kisah Dara dan Brandon '³‛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top