Tidak Pantas

Bagas pulang dalam keadaan berantakan lagi. Lemas lagi. Dengan jejak cupangan yang tertinggal (atau sengaja dibuat) di beberapa bagian tubuhnya lagi. Meski tak dapat melihatnya, Bara yakin tentang hal itu. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada, matanya mendelik tajam. Bagas balas mendelik, lebih malas. Berusaha mengabaikan teman sekamarnya itu, memutuskan untuk meneruskan jalannya yang agak sempoyongan.

"Ngentot sama bencong mana lagi lo, huh?"

Pertanyaan yang terlontar sarkas dari mulut Bara tadi kontan menghentikan langkah Bagas. Pemuda yang tidak mempedulikan kekacauan penampilannya itu menengok, mendengus dan memutar bola matanya.

"Kalo iya, kenapa? Nggak ada urusannya juga sama lo kan?" Bagas menjawab ketus. "Lagian lo itu bencong, ngapain lo menyuarakan predikat bencong terhadap bencong lain?" sergah Bagas tak kalah sarkas.

Bara sadar, tak ada gunanya melakukan perdebatan seperti yang sudah pernah terjadi di hari-hari lalu. Jadi, ia hanya menghela nafas, membetulkan posisi kacamatanya, setelah itu berbalik untuk menutup pintu kamar kontrakan mereka.

Bagas berdecak, melangkahkan lagi kakinya yang justru membuatnya terjatuh sebab keseimbangan tubuhnya tak bisa lagi dijaga. Akibat terlalu banyak meminum alkohol beberapa jam yang lalu, ia jadi mabuk dan sulit mengendalikan kasadaran diri.

Bara dengan enggan meraih sebelah tangan Bagas, melingkarkan lengan pemuda itu hingga melewati bahunya, dan mendengus tak suka membaui aroma alkohol dan juga parfum yang bukan milik Bagas. Perlahan, Bara memapah Bagas menuju ke kamar, tangannya memeluk erat pinggang Bagas yang ramping, bahkan boleh dibilang nyaris mencengkeramnya. Bara sedang menahan rasa kesalnya mati-matian saat ini.

Setibanya di dekat ranjang, dengan kasar Bara membanting tubuh Bagas ke atas kasur. Membuat teman sekamarnya itu nyaris terjatuh ke seberang ujung ranjang lain. Bagas memejamkan mata, merasakan pusing yang mendera kepalanya tanpa ampun gara-gara perbuatan Bara barusan padanya.

"Kalo lo cemburu, lo cukup bilang sama gue, gak perlu lo giniin gue segala, Bar." ujar Bagas, suaranya parau, dadanya naik turun tidak keruan.

Wajah Bara seketika memerah marah, sebelah tangannya mengepal, menahan amukannya."Cemburu? Untuk apa? Karena gue nggak bisa ngentot para bencong murahan di luar sana sesering yang lo lakuin? Cih. Jangan harap." responsnya sinis.

Bagas terkekeh. Matanya membuka pelan. "Bukan itu," ia berusaha membangunkan tubuhnya sendiri sampai berhasil duduk di tepi ranjang. Bola mata di balik bingkai dua lensa kaca itu ditatapnya lekat-lekat. "Lo cemburu karena lo belum ngerasain entotan gue." dan pernyataan itu serta-merta membikin Bara menegang di posisinya.

Dengan cepat, Bara mengalihkan pandangan dari bola mata Bagas yang menatapnya intens.

Bara siap berbalik ketika tangan Bagas justru mencekal pergelangannya, membuatnya terpaku, merasakan telapak tangan yang hangat itu menyentuh kulitnya. Detak jantung Bara mulai berdentum cepat, wajahnya memerah, tubuhnya tak mampu melakukan perlawanan. Perlahan dan agak lembut, Bagas menarik tubuh Bara mendekat, membiarkan pemuda lebih tinggi itu untuk berdiri di hadapannya.

Bara meneguk ludah, gugup. "Lo mau apa?" tanyanya berusaha tetap ketus seperti sebelumnya. Sayangnya, kali ini ia gagal.

Bagas tak menjawab. Lebih memilih untuk menelusuri tiap jengkal bagian tubuh Bara. Dari ujung rambut, hingga ujung kaki. Naik lagi dan berhenti pada bibir Bara yang berwarna merah kebiruan akibat rokok yang sering kali dihisap oleh pemuda berkacamata ini. Dan Bagas tersenyum.

"Gimana rasanya... kalo bibir lo yang sering ngisep rokok itu sekali-kali ngisep barang yang lain?" tanya Bagas, terdengar seolah tengah menawarkan sesuatu yang sangat menggiurkan.

Bara lebih dari paham apa maksud dari kalimat itu, lantas mendengus. "Nggak. Gue nggak berminat..." balasnya sengit sambil melepaskan cekalan tangan Bagas darinya. "Apalagi kalo gue mesti ngisep kontol yang puluhan--bahkan mungkin ratusan kali pernah keluar-masuk pantat bencong di luar sana. Hoeek." ia memasang ekspresi jijik yang tidak main-main. "Mendingan gue jadi perjaka tua dari pada harus menikmati barang yang udah hambar." sarkasnya meneruskan, lalu segera berlalu dari sana sesudahnya.

Meninggalkan Bagas yang terpaku. Tidak mampu menyanggah perkataan yang Bara tujukan baginya. Ia menatap ke bawah, ke arah selangkangannya yang beberapa saat tadi sedang menegang hebat, dan sekarang telah melemas.

Mungkin Bagas memang tak pantas.

--selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top