Simply Love
"Menurutmu ... gay itu bagaimana?"
Pertanyaan mendadak itu sukses membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Aku melirik melalui sudut mataku, berharap wajahku tak menunjukkan kegugupan apapun.
Lian tersenyum, menyodorkan ponselku yang telah selesai dipinjamnya, setelah itu kembali memfokuskan pandangan pada layar televisi.
"Pasti susah ya, hidup jadi seorang gay," ia menggumam, "Di mana lumrahnya cowok itu suka sama cewek, tapi para gay justru menyukai sesama jenisnya," lanjutnya.
Aku diam.
Kenapa di saat seperti ini dia justru membicarakan tentang orientasiku? Ya, benar. Aku gay!
Apakah Lian sudah mengetahui 'sesuatu' tentangku? Tetapi, bukannya dia tahu bahwa saat ini aku tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis?
"Hei, Mik?"
"Y-ya-yaa?"
"Kenapa kamu jadi gugup begitu?"
Aku tak sanggup menjawabnya.
Mampus! Apa-apaan aku ini?
"Bentar, ya, aku mau ngambil minuman dulu." Lian beranjak dari sampingku, kemudian berjalan menuju ke dapur.
Tanpa pikir panjang, aku segera saja mengotak-atik ponselku yang masih ada dalam genggaman. Kugunakan untuk menghubungi salah satu sahabat dunia mayaku.
Kami berkenalan hanya melalui jejaring sosial saja.
[To: Lani.
Bebh,... Masa tadi Lian nanyain soal gay sih ke aku!]
Tak aku hiraukan bunyi dering ponsel yang terdengar dari arah dapur seselesainya aku mengirimkan pesan.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk, balasan dari Lani.
[From: Lani.
Hah? Masa? Terus kamu jawab apa?]
[To: Lani.
Ya aku gak jawab apa-apa. Aku takut, Bebh!]
Lagi, dering ponsel terdengar dari arah dapur. Kali ini tak bisa aku abaikan.
Apa-apaan itu tadi? Bagaimana—Ah, ada balasan lagi.
[From: Lani.
Eh? Kok gitu?]
Aku mengetik cepat.
[To: Lani.
Gak tau, bebh. Padahal di pesbuk jelas-jelas status kita udah pacaran, kan? Masa iya sih dia masih curiga sama aku?]
Pesan aku kirimkan, dan sekali lagi dering ponsel Lian—yang masih berada di dapur terdengar.
Ini sudah tiga kali berturut-turut. Kebetulan macam apa itu?
"Lian, kamu lagi apa, sih?" aku berseru, cukup kalut.
"Bentar! Lagi ngebales sms temen."
Lalu, sebuah balasan pesan masuk ke ponselku...
[From: Lani.
Gak tau, deh. Dia punya radar, kali!]
Ini konyol. Kenapa waktunya bisa sangat bertepatan begini?
[To: Lani.
Mana mungkin! Dia kan gak kayak aku, Bebh]
Pesan terkirim, dan sekarang dering ponsel itu terdengar amat jelas dari dekatku.
Aku terperanjat.
Bagaimana bisa setiap selesai aku mengirimkan pesan, malah dering dari ponsel Lian yang terdengar. Apakah... Tidak, tidak mungkin. Aku paling tahu sosok seperti apa Lian selama ini. Bahkan, saat aku ber-sms ria dengan Lani, seringkali Lian sedang tepat berada di sampingku. Tidak mungkin jika Lani adalah Lian 'kan? Aku sudah tahu rupa asli Lani itu seperti apa. Juga, sejak kapan Lian sudah duduk kembali di sini?
"Kenapa kayak yang takut gitu ngeliat aku?" tanya Lian terheran. Aku menggeleng kaku.
Ya Tuhan. Perasaan apa ini?
"Hmm, dia gak kayak aku, ya?"
Aku hampir terlonjak. Satu degupan keras kembali menyeruak ke dalam dadaku.
Bukankah itu isi sms dariku untuk Lani tadi?
Terburu-buru dan sedikit ragu, aku mencari-cari kontak Lani yang setelah itu langsung aku hubungi. Jantungku tak hentinya membunyikan degup keras. Kian mengeras, tatkala aku sadar kalau justru nada ponsel Lian lah yang bersuara.
Aku menoleh ngeri, dia menatapku sambil mengernyit.
"Ngapain kamu nelpon aku, bebh?" tanyanya seraya menunjukkan layar ponsel. Membuat aku membelalakkan mata melihat namaku yang tertera di sana, tengah memanggil nomor miliknya.
Tetapi, namanya bukan 'Kak Iko' yang aku ketahui Lani gunakan untuk menyimpan kontak nomorku, melainkan 'Miko'. Kontak namaku yang memang telah Lian simpan selama ini.
Jangan bilang...
Aku pun melirik layar ponselku sendiri. Lantas shock mendapati nama Lani akan tetapi nomor Lian lah yang tercetak di sana.
Bagaimana bisa...?
Lian menolak panggilanku, ia mendesah lesu. "Aku ngeganti semua pengaturan ponselmu sejak kemarin, Mik. Dari pengaturan inbox, kontak hape sampai password. Password ponselmu itu make tanggal lahirku, kan?"
Aku diam tak berani menatap Lian sama sekali.
"Password ponselku merupakan tanggal lahir dari seseorang yang aku cintai, lho,"
Dia mengutip isi status yang aku update beberapa hari lalu.
"Tapi aneh. Kok, tanggal lahir yang cocok di ponselmu justru punyaku, bukannya Lani si Fujoshi yang jadi pacar pura-puramu itu?"
Apa yang Lian katakan?
"Aku udah tau semuanya, Mik,"
Tidak, jangan teruskan!
"Kenapa kamu gak jujur aja sama aku, Mik?"
Mana mungkin aku bisa jujur kan?
"Kenapa?"
Ponsel dalam genggamanku jatuh, bersamaan dengan jatuhnya air mata.
"Maaf, Yan," suaraku gemetaran. Aku menutupi wajahku sendiri dengan kedua tanganku. "Maaf!" aku mengucap lebih keras.
Kepalaku aku tundukan dalam-dalam. Merutuki habis-habisan keteledoranku sendiri. Mengapa aku sebodoh ini? Sekarang Lian sudah tahu. Tentang rahasia terbesarku yang berusaha aku sembunyikan mati-matian darinya.
Apa yang harus kujelaskan padanya? Lian pasti akan marah besar padaku.
Tiba-tiba, puncak kepalaku merasakan belaian lembut. Tekstur gerakan tangan ini... Tangan milik Lian?
Belaiannya terhenti, tangan itu beralih menyingkirkan tanganku yang menutupi wajah. Mau tak mau, aku memberanikan diri untuk mendongak, menatap Lian takut-takut.
Aku terpana tatkala tahu kini Lian memberikan aku senyuman.
Tunggu, aku tidak salah lihat, kan? Apa karena mataku penuh oleh air mata jadi pandanganku berubah menipuku? Aku mengusap kuat-kuat mataku, menyingkirkan sisa-sisa air mata. Tak ada yang berubah, Lian masih tersenyum ke arahku. Aku mengerjap, dihinggapi kebingungan.
Lian menyentuh pipiku yang lembab, jemarinya mengusap-ngusap. "Ngapain kamu nangis segala?"
Aku diam. Kenapa apanya?
Lian mendekatkan wajahnya, membuat aku refleks mundur. Gerakannya terjeda.
"Kenapa ngejauh? Kamu takut?"
Gelengan lemah aku berikan. Jarak antara kami kembali menipis, aku tak mengelak. Punggungku merasakan sentuhan dari kedua tangannya yang besar, wajahku menabrak dada kokohnya, membaui wangi parfum yang selalu sukses menggoda imanku.
"Gak apa-apa. Aku sama kayak kamu, kok," suara merdunya membisik.
"Kayak apa... maksudnya?" antara sadar dan tidak, aku menjawab seperlunya dengan pertanyaan lagi.
Lian tak menjawab, pelukan ini sedikit dibatasi jarak, dan aku terkejut bukan main ketika satu kecupan mendadak ia daratkan pada kedua belah bibirku. Cuma sekilas, tetapi efeknya begitu besar terhadapku. Nafasku tertahan, kedua mataku membola, dan tubuhku terasa melemas.
Aku ambruk dalam dekapannya. Silakan nyatakan ini sebagai modus semata. Entah kenapa, sejujurnya aku merasa senang, walaupun masih sedikit dibuat kebingungan oleh tindakannya barusan.
"Yan?" panggilku.
"Ya?" Lian menjawab, seraya membelai helai-helai rambutku.
"Apa itu artinya... ki-kita sama?" tanyaku ragu sekaligus gugup.
Aku dengar Lian tertawa pelan. "Kan aku udah bilang tadi. Aku sama kayak kamu, bebh."
Kontan saja aku tersenyum mendengarnya. Sungguh lega. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku memendam rasa cintaku, semua keberanianku yang tertahan aku lampiaskan. Tanganku melingkar pada kedua pinggangnya. Memeluknya erat, sambil tergugu melepas bahagia.
"Please, say it to me," bisikku meminta.
"I love you, Miko. I love you, baby." seusai mengabulkan ucapan yang aku inginkan, Lian mencium puncak kepalaku.
Meski yakin ini bukanlah mimpi, tetapi entah mengapa aku serasa diterbangkan tinggi-tinggi. Bersama Lian dalam pelukanku, dia telah menjadi milikku.
Aku tarik kata-kataku. Aku bersyukur karena aku bodoh dan teledor, oleh sebab itulah perasaanku padanya terbalas seindah ini.
***
Akhirnya kami jadian! Ya Tuhan, aku bahagia! Terima kasih karena telah membuatnya jatuh cinta padaku juga. M <3 L
Sekali lagi aku terkikik ketika membaca ulang status yang aku update beberapa jam lalu di akun Facebook-ku itu. Lani adalah orang pertama yang mencantumkan komentar, sekaligus orang pertama yang aku beritahu perihal jadinya hubungan kami.
Lani Lalalili
SELAMAT, YA, KAK IKO!
TRAKTIR, YA. AWAS, LHO KALAU GAK!
Aku mengembuskan nafas lega, menutup laptop kemudian melirik ke jendela di seberang kamarku. Lian melambai dari kamarnya, membuat mimik mencium yang menggemaskan. Aku tertawa, membalas ciuman pura-puranya.
Bertetangga selama belasan tahun, selalu bersekolah di tempat yang sama, saling jatuh cinta dan sekarang perasaan kami tersampaikan satu sama lain. Katakan, apa pantas jika aku dan Lian tak merasakan bahagia sampai detik ini?
Jangan pernah takut memendam perasaan, sebab semua pasti selalu akan ada waktunya. Waktu untukku menerima, melepas ataukah justru meninggalkan rasa. Cukup percaya saja. Apapun hasilnya nanti, itu merupakan kebaikan untukmu juga. Dan semua itu, telah aku yakini berkat mencintainya. Lian Angrestu, kekasihku.
.end.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top