Sebenarnya Bukan Salah Paham
"Kenapa?"
Aku menoleh lagi ke arah Remal, tatapannya yang memelas membuat rasa bersalah itu timbul.
"Kenapa lo nolak gue, Van? Bukannya lo juga suka ke gue?"
Aku tersenyum. "Itu alasannya, Remal. Itu alasannya. Semoga kita sama-sama bisa move on, ya." Sesudah itu aku mempercepat langkah, meninggalkan sosok Remal jauh di belakang.
Sedikit berharap, aku bisa melupakannya jauh-jauh hari sebelum ini semua terjadi.
---
Aku merebut teh botol dari tangan Letta dan meminumnya segera. Tangan gemetaran, tubuh berkeringat, jantung saja berdebar kencang begini. Tidak aku sangka efek menolak gebetan persis seperti ketika melihat makhluk halus di film horor.
"Lo kenapa, sih? Kayak yang habis dikejar setan," komentar Theo yang satu meja dengan Letta.
Aku nyengir sembari meletakkan botol ke meja, kemudian bergabung duduk. "Yah. Hampir sama,lah." Menghela napas dan berdeham. "Rael ke mana?" tanyaku sambil celingukkan mencari sosok paling mungil di antara kami.
Letta menaikkan bahu. "Gue juga kurang tau. Tadi dia minta gue pesenin nasi uduk. Tuh, udah gue pesenin sampe Theo habisin, gak datang juga itu anak." Sahabat cewek kami satu-satunya ini menjelaskan seraya mengaduk-ngaduk bakso di mangkoknya.
Aku bergeming. Antara ingin mempergunakan kesempatan ini untuk memberitahu mereka berdua, ataukah aku simpan sendiri saja. Mumpung Rael tidak ada.
"Emm, guys... tadi aku--"
"Govan!"
Aku nyaris tersedak ludah sendiri mendengar suara Rael yang tepat berteriak di sisi telinga. Serta-merta aku menoleh dan mendelik kaget. "Sejak kapan kamu di sini?"
"Aku 'kan sengaja pergi buat ngagetin kamu," responsnya polos seraya menempati posisi di sebelahku. Dia berbisik, pelan sekali. "Tadi aku ketemu Zaremal di koridor deket lab. Ih! Dia ganteng banget!"
"Kapan sih dia gak ganteng di mata kamu, El? Ya gak, Van?" celetuk Letta berkomentar sambil melirikku.
Rael memonyongkan saja bibirnya. Theo terlalu serius dengan makanannya. Dan aku terkekeh masam. Masih untung Rael tidak melihatku di belakang gedung lab bersama Remal tadi.
Kami berempat sudah bersahabat sejak awal masuk SMA--aku dan Farael sih sejak SMP. Maka dari itu, selama ada hal yang sekiranya membuat persahabatan kami retak, aku tak akan mau mengambil risikonya. Termasuk menjalin hubungan dengan Remal, orang yang sama-sama aku dan Rael sukai.
Rael menepuk pundakku, dan tatapan tajamnya agak mengintimidasi. "Apa?" tanyaku siaga.
"Kenapa kamu nolak Remal, Van?"
Pertanyaan itu meluncur dengan sangat mulus, sedangkan reaksi yang lain kacau. Aku jatuh dari bangku, Letta tersedak baksonya dan Theo menyemburkan makannya.
"Hah?!" Itu jeritan Letta dan Theo.
Aku menopang dagu di kayu bangku. "Maksudnya a-apa?"
Rael mendengus. "Maksudnya, ya tadi. Kok kamu nolak Remal?" ulangnya semulus barusan.
"Bukannya lo suka Zaremal, Van?" Letta melotot padaku.
"Gue juga mau tau jadinya." Theo bahkan ikut-ikutan.
Ini kenapa mereka semua heboh? Rael juga. Gimana dia bisa tau?
"Govan!"
Bentakan Rael mengembalikan aku pada kesadaran. "Aku nolak dia karena aku tau kamu juga suka Remal, El," jawabku lirih.
Hening.
Theo menggebrak meja. "Kamu mau selingkuh, Fa?"
"Hah?" Aku tercengang.
Tunggu. Ini sebenarnya ada apa?
Wajah Rael yang polos bengong, berangsur melotot setelah itu ... mendadak tertawa terbahak-bahak.
Ini anak kesurupan, ya? Theo di hadapanku mendengkus sembari bersidekap. Tampak kesal.
Heee. Aku penasaran dengan maksud pertanyaannya barusan. Apa hubungannya dengan semua ini?
"Kamu kok bisa mikir aku suka ke Remal juga? Jangan bikin hubungan orang yang gak punya status makin runyam, ya," ujar Rael sesudah tawanya reda. Matanya mengedip pada Theo. Dan cowok rakus itu lalu melanjutkan makannya.
"A-aku gak ngerti. Bentar!" Aku mencoba menarik kesimpulan. "Kamu dan Theo ... pacaran?"
"Gak!" jawaban yang Theo suarakan lebih cepat, padahal mulut Rael membuka duluan.
Rael menggeleng masa bodo. "Anggap aja gitulah. Kami ini--"
"Ha-te-es." Letta menimpali yang langsung bikin otak aku konek. "Masa lo gak pernah ngeh sih, Van?" komentarnya sembari memutar bola mata.
Aku menoyor dahi Rael kesal. "Kamu gak pernah cerita!" protesku.
Rael manyun. "Kamunya aja yang gak peka."
Aku berpikir lagi dan berhasil mengumpulkan kesimpulan menyebalkan lain. "Jadi, kamu gak suka dong ke Remal?"
Rael bergidik. "Aku suka ke Zaremal? Nggak, lah. Bukan tipeku banget."
Aku berdecak. "Terus tujuan kamu tiap hari cerita soal dia, memuja muji dia dengan lebaynyaaa itu buat apa?" omelku jengkel. Rasanya ingin sekali menyuruh dia pergi jauh-jauh bersama Theo, supaya kejelasan hubungan mereka lebih enak dilihat dan tidak memunculkan kesalahpahaman macam ini lagi.
Rael terkikik. "Itu Zaremal yang minta." Aku tidak paham. "Dia tau kita sahabatan, tapi nggak tau gimana cara ngedeketin kamu. Makanya aku ngenalin kamu ke dia, dan secara gak langsung aku bikin kamu tau banyak hal tentang Remal dari cerita-ceritaku. Aku tau kamu tertarik ke Remal dan pandangan kamu ke dia itu beda banget, jadilah makin hari aku makiiiin rajin muji-muji Remal di depan kamu. Begitu. Ngerti?"
Aku sukses mengangakan mulut, kemudian tertunduk lesu. "Arrgggh! Ngeselin banget tau gak sih caranya kayak gini! Sekarang mesti gimana coba?"
Rael mendesah malas. "Ya, kamu temuin Zaremal, jelasin semuanya dan jadian sama dia sana," titahnya segampang menghirup napas.
"Iya, sana!" Letta menepuk-nepuk pundakku.
Aku menutup muka. "Malu! Tadi udah terlanjur nyuruh dia move on! Lagian kenapa juga sih kalo niatmu ngejomblangin aku dan Remal tapi gak pernah ada bilang?!" aku belum puas mengomeli Farael.
Rael nyengir. "Remal yang minta. Sorry."
"Aku sahabat kamu, El! Bukan dia! Harusnya kamu mihak aku!"
"Dia dibeliin tiket nonton konser waktu itu," bisik Letta memberitahu.
Aku memukuli kepalanya. "Bagus ya kamu! Demi uang kamu bikin aku susah kayak gini! Sahabat sialan!"
Theo berdeham. "Kasian, Rael."
Aku mendelik pada Theo. "Hubungan kalian aja gak jelas, gak usah sok peduli!" sinisku saking muaknya.
Theo meneguk ludah dan makan lagi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera pergi dari sana dengan langkah mengentak untuk menuju ke toilet sekolah.
Berakhir di sini. Termenung di atas WC duduk bersama isi pikiranku yang kacau balau. Aku malu, tapi aku mau menjelaskannya pada Zaremal. Haduh. Enaknya bagaimana coba memulainya?
Aku mengambil gulungan tisu lalu mengacak-ngacaknya sembari mengumpat-umpat tidak jelas.
Dasar Rael! Kalau bukan gara-gara semua tipu dayanya, aku tidak akan kebingungan begini! Awas saja! Tunggu pembalasanku nanti! Biar Theo yang aku korbankan.
Aku membuang tisu, berdiri, dan membuka bilik toilet dengan kasar, lantas melemas seketika mendapati sosok Zaremal berdiri di depanku. Tangannya terangkat sebelah, seperti hendak mengetuk.
Tangan Zaremal turun. Tatapan bingungnya berubah begitu berhadapan denganku. "Ma-maaf. Gue pikir di dalam ada apa," katanya canggung.
Aku menggigit bibir. Memutar pandangan dan menyadari bahwa toilet ini sepi. Tanpa mau menyia-nyiakan kesempatan, aku menarik tangan Zaremal lalu membawanya masuk bersama ke dalam bilik. Pintunya aku kunci dan Zaremal tampak shock.
"Ki-kita ngapa--"
"Ssst!" Aku menutup mulutnya. Mengumpulkan keberanian sebelum mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. "Aku minta maaf. Maksudku, emm ... sebenarnya aku memang suka ke kamu, Remal. Yah, ta-tapi aku pikir Rael suka ke kamu juga soalnya Rael sering ngomongin tentang kamu, ma-makanya aku salah paham. Dan aku nolak kamu tadi ka-karena aku gak mau Rael sakit hati padahal aslinya--" Gantian mulutku yang ditutup oleh tangan Zaremal yang wangi sabun.
Zaremal melepaskan tanganku dari mulutnya, dan bibirnya mengulas senyum. Tatapannya berbinar. "Iya. Aku ngerti. Cukup."
Aku menyentuh tangan Zaremal dan menggenggamnya. "Kamu gak marah, 'kan?"
Zaremal balas menggenggam tanganku, erat. "Nggak kok, Van. Aku tau ini semua bakalan terjadi juga."
Aku mendongak dan memajukan bibir, agak kesal berkata, "Iya. Ini semua gara-gara permintaan kamu minta Rael comblangin."
Zaremal mengusap pipiku. Tanpa memberi respons, dia memiringkan kepala dan menjatuhkan mulutnya ke bibirku. Ciuman yang selalu aku impi-impikan untuk kulalakukan dengannya akhirnya terwujud. Bibir bawahnya yang lebih tebal membuat mulutku yang mengulumnya terasa seperti tengah mengunyah makanan kenyal. Ketika lidah kami saling mengusap dan bagian depan tubuh kami merapat, aku dibikin meremang ke sekujur badan.
Kami hanya berdua, di dalam bilik toilet, dengan tisu yang berserakan di mana-mana. Jika ada yang memergoki kami di sini, tidak diragukan lagi apabila kami akan benar-benar disalahpahami. Walau sebenarnya tak ada yang salah. Sekarang toh kami sudah benar-benar jadian.
Zaremal melepaskan ciuman dan tertawa. Saat dia meneguk ludah dan menjilat bibirnya, bagian belakang tubuhku terasa panas. Aku mau Zaremal teramat sangat!
"Kita keluar sekarang, yuk? Makin gak aman kalo kelamaan di sini," ujarnya seraya sibuk membetulkan bagian tengah tubuhnya.
Aku melirik. "Gak mau, aku bantuin?" Duh. Aku tidak kedengaran ganjen dan agresif, 'kan?
Zaremal membuka kuncian. "Nanti aja, aku juga lagi--Duh." Dia meringis, tersenyum kaku. "Bentar lagi kamu bakal masuk kelas, 'kan? Takutnya nanggung. Ya?" Dia mengulum bibir atasku sekali lagi, lalu membuka pintu dan keluar lebih dulu dariku.
Aku tersenyum semringah disebabkan bahagia. Lanjut mengintip ke balik pintu, celingukkan mencari sosok Remal yang sudah tak ada dan ikut keluar kemudian. Setibanya di luar toilet, aku merasakan kebebasan tiada terkira.
Hatiku gembira. Riang tak terkira. Karena sudah berhasil jadian dengan orang yang aku suka.
Sepanjang perjalanan menuju ke kelas Rael untuk memberitahukannya kabar ini, aku tak hentinya bersenandung senang. Dan sesampainya di ruang kelas IPA 11 D, aku buru-buru menghampiri Rael yang sedang memainkan iPhone-nya.
"El!" sebutku kelewat ceria.
Rael menatapku dan berdecak kesal. "Kamu kemana aja sih dari tadi? Tau gak kalo--"
"Ssst! Berisik! Tau gak tadi aku habis ngapain?" bisikku antusias.
Rael mendengus tak acuh. "Aku gak mau tau. Ini si Remal dari tadi nge-chat aku di LINE nanyain kamu. Aku udah jelasin semuanya tadi, tapi kamunya malah ngilang. Ini 'kan bisa jadi kesempatan buat--"
"Duh. Tadi aku udah ketemu sama dia!" selaku gemas.
Rael mengerjap, tampak heran. Dengan kesal dia menunjukkan layar iPhone-nya ke hadapan wajahku. Membuat aku membaca isi riwayat chatting-nya dengan Remal.
Tunggu dulu, aku dan Remal kan sudah bertemu di toilet tadi. "Tapi tadi kami ketemu di toilet," desisku meyakinkannya.
Rael nyaris tertawa. "Toilet kepala kamu, ah! si Remal aja sekarang ada di lab Kimia. Dia udah mau mulai praktek dari sejak aku temuin dia barusan di koridor lab." Sahabatku ini menjelaskan dengan bersungguh-sungguh.
Seketika saja aku benar-benar meremang. Bukan karena adanya hasrat yang membuat tubuhku gatal, kali ini sensasinya terasa agak lain. Dingin, ngilu dan ... takut.
Aku meneguk ludah secara susah payah. "Terus yang tadi aku temuin di toilet ... siapa?" Sesudah itu aku lari terbirit-birit saking ngerinya.
--Tamat--
Epilog:
Farael memandangi arah kepergian Sahabatnya, Govan, dengan sorot heran. "Si Govan kenapa sih sebenarnya?" desisnya sambil geleng-geleng.
Ada chat baru yang masuk ke LINE-nya. Dari Zaremal XI B.
Aku udah ketemu Govan di toilet tadi. Kami udah resmi jadian. Thanks to you.
Rael tersenyum kikuk. "Oh. Jadi mereka beneran ketemu di toilet tadi. Hmm, ya udahlah, kalo emang udah jadian," komentarnya enteng.
Padahal Rael tidak tahu, akibat yang sudah disebabkan oleh kelalainnya yang lain. Semoga saja Govan tidak terlalu berlarut-larut.
--Tamat Betulan--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top