Seandainya (Song Fict)

Terinspirasi dari lagu Seandainya yang dipopulerkan oleh Ari Lasso.

-x-

[Kak, lagi di mana?]

Aku langsung tergesa tatkala membaca pesan dari Virgi. Dia pasti sudah terlalu lama menunggu. Mempercepat langkah sambil menggerakkan jemari pada layar ponsel untuk membalas pesan dari Virgi, membuatku agak lengah.

Jdugh!

"Aduh!"

Damn! Aku menabrak seseorang.

Cowok dengan setelan jas di hadapanku ini terlihat menggosok-gosok dahinya yang beberapa saat tadi bertubrukkan dengan daguku. Aku cuma bisa meringis, daguku tak kalah terasa perihnya.

"Maaf, ya. Kamu gak apa-apa, 'kan?" tanyaku sambil agak merendahkan wajah, mencoba menatap mukanya. Lalu saat dia menengadah, aku seketika tercekat.

Ya Tuhan. Cowok ini menakjubkan.

"A-aku gak apa-apa. Aku juga minta maaf, tadi jalan gak lihat-lihat," responsnya, kali ini sambil memijat kening.

"Be-beneran gak apa-apa?" aku meragukan jawabannya.

Lalu cowok manis di hadapanku ini pun tersenyum, terlihat dipaksakan.  "Kepalaku... pusing."

Karena merasa bersalah, aku pun membawa Lana (cowok manis yang bertubrukkan denganku tadi) menuju ke ruang unit kesehatan. Aku kasihan padanya. Ya aku akui, benturan tadi memang terasa amat menyakitkan saking kerasnya, tetapi untungnya rasa sakitku tidak seberapa. Mungkin karena Lana yang tadi menubruk daguku keras-keras makanya kepala dia sampai pening.

"Mendingan kamu diem di sini dulu. Kompres dahimu pake ini."

Aku mengambil bongkahan es yang sudah aku hancurkan lalu aku bungkus di dalam kain untuk lalu diberikan padanya. Lana yang menuruti titahku, segera meletakkan kain berisikan es batu itu di atas dahinya. Matanya terpejam, seakan sungguh-sungguh menikmati waktu istirahatnya.

Wajahnya... dari mata hingga bibirnya, sungguh terlihat indah.

Tidak! Tidak! Aku tidak mungkin semudah ini jatuh pada cowok lain kan? Sedangkan Virgi,...

Ya Tuhan, Virgi!

Secepat kilat aku merogoh ponsel yang tadi aku masukan ke saku kemeja. Ada dua panggilan tak terjawab dan tiga pesan. Semuanya dari Virgi.

[Kak, lagi di mana?]

[Kak Irwan?]

[Kak, kenapa teleponku gak diangkat?]

Aku mengumpat tanpa suara.

"Ada apa?"

Aku menoleh, mendapati Lana menatapku heran.

"Err, ini temen sms. Nanyain aku lagi di mana. Hehehe," jawabku berbohong.

Lana lalu memiringkan posisi berbaring tanpa melepas kompresan di dahinya.  "Kamu sedang ada keperluan kah?" tanyanya.

"Eh? Emm..." Aku harus menjawab apa? Kalau aku jawab 'Iya', pasti Lana akan memaksaku pergi. Padahal aku masih ingin menemaninya. Bagaimana ini?

Ponselku mengerjap. Ada satu pesan masuk lagi dari Virgi...

[Kak Irwan lagi sibuk, ya? Adek udah nyampe rumah nih, jadi kakak gak perlu jemput.]

Aku mendesah lemah, sedikit merasa bersalah. Kemudian aku kembali menatap Lana dan memberinya gelengan pelan seraya tersenyum.

Seandainya dia tak meninggalkan kesan berarti untukku, aku pasti tak akan sepeduli ini padanya.

. . .

"Jadi, ini rumah kamu?" tanyaku seberhentinya motorku di depan sebuah bangunan mewah nan elegan dengan satu gerbang hitam besar sebagai pembatasnya. Lana turun dari boncengan, menganggukkan kepala sembari coba melepas helm yang agak membuatnya kesulitan.

"Bisa gak ngebukanya?" tanyaku dengan menahan tawa. Lana memberikan cengiran lebar. Manis.

Itu pasti berarti 'Tidak'.

Aku pun menurunkan standar motor yang membuat tubuhku condong ke kiri, di posisi Lana tengah berdiri. Membantunya membuka helm, dan langsung berhasil.

"Kamu gak pernah pake helm emangnya?" aku mengernyit.

"Aku lebih sering naik mobil. Emangnya di mobil ada helm?"

"Ada. Di mobil balap kan?" Dan aku pun mendapat tonjokan pelan dari Lana.

"Mau mampir dulu? Atau langsung pulang?" tawarnya padaku.

Kenapa Lana rasanya terlihat amat sopan dan senang hati padaku? Apakah dia juga punya ketertarikkan padaku?

"Sebagai balas budi, karena kamu mau mengantar aku sampai rumah dan tadi juga kamu ngerawat aku. Bagaimana?" tambahnya. Sepertinya dia ingin sekali aku mampir.

Aku melirik jam di tanganku yang menunjukan pukul empat. "Mungkin kapan-kapan aja," jawabku yang membuatnya memberengut lucu.

"Ya udah. Kapan-kapan, ya! Kamu pasti dapat kelas VIP jika mampir ke sini nanti," katanya sambil menepuk-nepuk dadaku.

Aku memandangnya heran, tapi segera aku berikan anggukkan padanya.

Semoga saja itu pertanda baik.

***

Ponselku berdering. Di layarnya, nama 'Virgi' mengerjap lucu dengan serangkaian gambar bentuk hati di sekitarnya. Ah, dia pasti rindu padaku...

"Halo?"

"Kak Irwan..."

Aku terkekeh pelan mendengar suaranya yang seolah tengah merajuk.

"Ke mana aja dari kemarin?" tanyanya.

"Maaf, dek. Kakakmu ini sibuk banget."

"Sibuk terus, ya? Kapan ada waktu buat Adek?"

"Mungkin..."

Tring!

Jawabanku terjeda begitu mendengar suara pertanda ada e-mail masuk dari laptop.

[Besok Irwan sibuk gak? Bisa temani aku pergi? Jadi tour-guide aku di sini!]

Itu e-mail dari Lana. Kami memang sempat bertukar e-mail kemarin. Karena dia belum sempat membeli ponsel. Dia adalah pendatang baru di kotaku ini.

"Kak? Mungkin apa? Besok mau kan jalan?"

Aku baru ingat, kalau aku masih bicara dengan Virgi.

Harus bagaimana ini?

Tring!

[Pleaseee!!]

"Maaf, dek. Kakak masih sibuk. Kapan-kapan, ya?"

"Ah, kakak!"

Aku tak bisa menghindarinya. Sepertinya, aku jatuh cinta lagi.

***

Sesuai permintaan Lana, aku pun mendatangi rumahnya sepulangnya dari kampus. Dan tau apa yang membuatku bahagia? Lana sungguh hangat menyambutku, bahkan sampai memelukku saking senangnya.

"Orang rumah lagi pada ke mana?" tanyaku yang mendapati sepi kekediamannya.

"Mama dan Papa sedang sibuk menyiapkan semuanya. Ah, sudah. Jangan pikirkan mereka," jawab Lana agak tersipu. "Mau minum apa?" tanyanya kemudian.

"Katanya mau jadiin aku tourguide. Masa kita minum-minum di sini?"

"Kalau gitu, ayo pergi!" seru Lana bersemangat.

. . .

Aku mengajak Lana ke tempat-tempat favoritku. Dari tempat nongkrong di berbagai daerah, warnet langganan, dan sekarang, kami berdua berada di food court kesukaanku.

"Mau pesen apa?" tanyaku pada Lana.

"Apa saja. Terserah kamu, yang penting enak," katanya sambil memandang sekeliling.

"Selamat datang, Pak Irwan." Aku kenal suara itu. "Tumben gak bareng Virgi?" tanya Romi, teman SMA-ku yang memang bekerja di sini dan hapal dengan kebiasaanku.

"Virgi? Siapa itu?" Lana bertanya padaku. Aku mendelik tajam pada Romi. "Cewek kamu, ya?" Dia justru menggoda aku sekarang. Aku pun menggeleng cepat.

"Virgi itu cowok. Temen dekat Irwan yang sering dia bawa ke mana-mana tuh." Romi menimpali pertanyaan Lana seenteng itu.

Damn! Bisa tidak sih tutup mulut?

Lana mengernyit, lalu manatapku dengan pandangan aneh. "Ah, jangan-jangan dia cowokmu, ya?" Dia memulai lagi. Tapi tak aku tanggapi dengan segera saja memesan makanan.

Untung saja pesananku datang tak begitu lama, jadi pembicaraan mengenai Virgi tidak lagi dibahas oleh Lana yang terlihat sangat penasaran.

"Kamu tiap ke sini makan ini terus?" tanya Lana yang memulai sesi makannya. Aku yang tengah menyedot jus pun mengangguk.

"Enak?" dan Lana juga membalasnya dengan anggukkan.

Makannya begitu lahap, membuat wajah dan mulutnya terlihat semakin lucu. Aku makin menyukainya.

"Ah, mantap!" sahut Lana di tempatnya yang lalu menyeruput jus miliknya. Dia tertawa pelan sembari menatapku, dan di sanalah aku menemukan titik kotor di sekitar mulutnya.

"Mulut kamu kotor," cetusku sambil menunjuk mulutnya. Lana sigap mau menggunakan telapak tangan kanan kotornya untuk mengusap mulut, tapi tanganku langsung menahannya.

"Biar aku aja." kemudian tanganku bergerak, mengusap kotor di mulutnya diikuti senyum yang tak lepas dari wajahku.

Tapi tak lama, sebelum senyum itu pupus seketika dikala sudut mataku menangkap sosok Virgi berdiri tak jauh dari sini. Dia menatapku kaget, dengan satu kantong plastik yang terjinjing di tangan kiri. Aku mengerjap, kembali menegapkan badan lalu menoleh, tetapi sosok Virgi sudah tak terlihat.

Ke mana dia pergi? Apa dia marah? Apa dia salah paham?

Seharusnya aku memberikan sedikit penjelasan sebelum memutuskan pergi bersama Lana. Jika sudah begini...

"Aku hampir lupa!" suara seruan Lana mengejutkanku.

"A-apa?" tanyaku tergagap.

"Inget kan yang aku bilang di rumah barusan kalau Mama dan Papa sedang sibuk menyiapkan semuanya?" tanyanya cepat. Dan aku mengangguk. "Sesuai janji, aku akan memberikan kamu layanan VIP."

"Hmm? Maksudnya?"

"Kamu aku undang langsung untuk menghadiri acara pertunanganku. Jadi kamu wajib datang!"

Apa dia bilang?

"Tu...nangan?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Ini alamat tempatnya. Rumah Vina, kekasihku. Calon menantu Mama dan Papa," perjelas Lana sesudahnya ia menyodorkan undangan dan secarik kertas berisikan alamat rumah kekasihnya yang ia maksud.

"Ini... beneran?" gumamku bertanya lesu.

"Pastinya! Oh, Irwan... Kamu gak tau betapa Vina sangat merasa bersyukur saat aku menceritakan awal pertemuan kita," tuturnya. "Waktu itu pun aku jalan meleng karena sibuk ngeliat-liat kampus baru, dan aku baru selesai memproses data kepindahanku. Vina juga akan berkuliah di sana, tapi...."

Aku tak sanggup mendengar apapun lagi darinya. Segalanya telah hancur. Hatiku dan rasaku padanya. Khilafku untuknya, dan juga kekasihku.

Seandainya aku tau, bila seseorang sepertinya tak mungkin belum memiliki kekasih. Semua ini amat mendadak. Begitu menyakitkanku.

. . .

Acara berkeliling aku putuskan untuk tak meneruskannya, sebab aku sudah tak sanggup mendengar apapun lagi darinya. Pertunangan, ceweknya yang cantik, bahkan dengan antusiasnya Lana menunjukan foto Vina padaku. Tetapi aku hanya diam. Ketika dia berada di boncenganku menuju rumah calon tunangannya, sampai aku berkendara lagi melewati jalanan untuk pulang ke rumah.

Hatiku perih. Aku terluka.

Mengapa aku bisa jatuh cinta, dan langsung tersakiti begini?

Setibanya di rumah, aku segera memarkirkan motor di halaman depan. Melepas helm dan berjalan masuk menuju ke dalam. Tak aku hiraukan sambutan riang Irna, tak juga mengindahkan perkataan Ibu yang entah apa begitu aku mulai menaiki tangga menuju ke kamar. Namun, aku baru sadar apa yang barusan Ibu katakan padaku sesaat setelah aku membuka pintu kamarku. Bahwa ada Virgi yang menungguku

Dia menoleh, tersenyum padaku lalu membangunkan tubuhnya dari atas ranjang. "Baru pulang, kak. Gimana tadi acara makannya?" tanyanya tanpa tergurat rasa sedih ataupun sakit di wajahnya

Tidakkah ia merasa bahwa aku jahat? Atau ini memang karma untukku?

Ya Tuhan.

Aku tertunduk, tidak mampu menatap tulus yang tersorot dari kedua matanya. Rasa bersalah yang beberapa hari ini tak aku hiraukan seolah berkumpul menjadi satu, menarik serta kebodohanku yang telah mengkhianati lelaki sebaik dirinya. Dapat aku dengar langkah Virgi yang mendekat, tangannya menyentuh pipiku lembut, mengusapnya penuh sayang. Aku terpejam, bibirku gemetaran.

"Kak Irwan kenapa? Ada masalah?" nada suara indah itu meremukanku.

Aku merogoh kantong jaket, mengeluarkan selembar undangan yang tadi Lana berikan untuk aku tunjukan pada Virgi. Dia menatapku penuh tanya.

"Lusa nanti... temani kakak ke acara ini, ya?" tanyaku dengan suara lemah. Namun Virgi hanya mengangguk.

Hari itu, tak ada pertanyaan lain yang terlontar dari mulutnya buatku. Virgi seolah sengaja membungkam dirinya sendiri untuk menunggu kejujuranku.

***

"Irwan!" Lana langsung memberikan aku pelukan sesaat setelah aku memasuki ruang tengah di mana acara utama akan berlangsung.

Aku melirik Virgi yang menatap aku dan Lana secara bergantian. Hingga perhatianku teralihkan ketika sosok seorang gadis anggun melangkah mendekati kami.

"Nah, Vina... Ini Irwan yang kemarin-kemarin aku ceritain," ujar Lana pada gadis itu antusias.

Oh. Jadi ini kekasihnya, Vina .Vina tersenyum, mengulurkan tangannya padaku. "Vina. Makasih ya udah ngebantu dan nolong Lana beberapa hari kemarin," katanya dibarengi senyum.

Aku mengangguk samar, menyambut uluran tangannya sambil balas memperkenalkan diri. "Selamat atas pertunangan kalian," ucapku berusaha setegar mungkin. Entah mengapa, masih ada sedikit sakit yang menggerogoti hatiku saat ini.

"Makasih, Irwan. Dan...?" tatapan Lana beralih pada Virgi. Lelakiku itu cuma tersenyum kaku, dia memang cukup pemalu.

"Lana, ini... Virgi." mendengarnya, ekspresi Lana yang tadinya terheran berubah ceria.

"Oh, jadi ini ya yang namanya Virgi itu?" Lana menepuk-nepuk pundakku. "Dia manis, ya," katanya sembari mengedipkan matanya padaku.

Aku menelan ludah secara susah payah. Coba mencerna tindakan anehnya barusan. Virgi menunduk, wajahnya agak tersipu.

Setelah itu kami diminta untuk menikmati pesta. Meski yang aku lakukan mati-matian hanyalah coba terlihat sewajar mungkin. Menikmati hidangan, meneguk minuman, dan bercengkrama dengan Virgi yang tentu saja berinisiatif lebih dulu tanpa serta merta mengalihkan perhatianku dari wajah bahagia Lana.

Bagaimana bisa hatiku jatuh pada sosok indahnya yang sudah jelas dimiliki oleh orang lain?

Dan ketika puncak acara tiba. Di mana Lana dan Vina saling bertukar cincin, disusul ciuman mesra dari Lana untuk gadis cantiknya itu. Pertahananku roboh. Aku meninggalkan ruangan itu sambil mengepalkan kedua tangan. Begitu sakitnya dadaku, hingga rasanya ingin sekali memukulnya menggunakan sesuatu agar sakit ini lenyap selamanya.

Aku terduduk di bangku kayu di dekat taman yang berada di halaman depan rumah Vina. Tertunduk dalam-dalam, menekuri rumput Jepang yang gelap oleh temaram malam. Aku meringis, mengigit kuat-kuat bibirku sendiri.

"Kak Irwan?"Mendengar namaku disebut, aku pun mendongak. Di depanku, Virgi berdiri. Pandangannya sayu, bibirnya sedikit tertekuk. "Kakak gak apa-apa?" tanyanya yang setelah itu berjongkok. Lagi, tangan itu bergerak mengusap lembut pipiku.

Aku menatap sorot tulusnya, dan buram yang memupuk segera saja mengaburkan penglihatanku. "Maafin kakak, dek," lirihku dengan suara bergetar. "Kakak udah berdosa." Virgi diam, namun senyumnya tersungging. "Kakak minta maaf karena kakak... udah mengkhianati kamu, Dek," jujurku dibarengi beban yang terasa amat berat di ujung tenggorokan tatkala selesai mengaku.

Virgi memberi gelengan, dapat aku lihat kini matanya berkaca-kaca. "Kakak gak perlu minta maaf, Kak. Adek seneng karena kakak udah mau jujur. Adek tau kakak cuma khilaf, jadi..."

Aku sudah menariknya ke dalam pelukanku. Meramati rambutnya yang halus, meremas punggungnya, dan tersendat di bahunya. "Kakak cinta sama Virgi. Kakak minta maaf."

"Virgi tau." dia memberi aku tepukan demi tepukan pelan di punggung. "Karena Virgi juga selalu cinta sama Kak Irwan."

Seandainya saja aku selalu mengsyukuri ketulusannya padaku. Aku pasti tersadar sejak awal, bahwa sakit yang aku rasakan semata-mata bukan disebabkan oleh khilafku yang mencintai lelaki lain. Tetapi jauh dari dasar hati, aku tahu aku telah menyakiti perasaan lelakiku yang sangat aku cintai dan mencintaiku. Virgiano Kristian, kekasihku.

Lalu sudut mataku menangkap keberadaan Lana yang tak jauh dari tempatku. Di sana, dia tersenyum. Mengangguk padaku seolah memberikan aku dukungan. Aku balas tersenyum, setelah itu sosoknya berlalu.

Aku berdeham, melerai pelukan kami dan langsung mendaratkan satu kecupan singkat di bibirnya. Virgi tertawa pelan, mengusap basah pipiku tanpa melepas pandangan matanya dariku.

Sekarang setidaknya aku tahu, khilaf itu aku yakini tak akan menggodaku untuk kedua kalinya. Sebab mulai dari sekarang, aku akan mengunci Virgi sebagai satu-satunya pemilik hatiku.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top