Menjadi Diri Gue Yang Seharusnya.
Gue jadi gay bukan atas kemauan gue sendiri. Sejak kecil, gue tau udah ada yang nggak beres dalam diri gue, pikiran gue, tubuh gue dan perasaan gue. Tapi sebisa mungkin gue nggak menganggapnya beban, tetap menjalani hidup seperti semestinya, seperti kebanyakan cowok lainnya. Gue ngerokok, main cewek, clubbing, bahkan ngeseks. Dan hasilnya, gue nggak merasakan kepuasan.
Yang ada, saat gue onani sambil membayangkan wajah salah satu dosen ganteng di kampus, barulah gue ngerasa melayang. Sewaktu orgasme gue sampai, gue melenguh panjang yang sama sekali nggak pernah gue lakuin selama ngeseks sama cewek gue. Gue berpikir, bahwa ini lah yang seharusnya.
Sejak saat itu, gue memilih pasrah. Gue mencoba berdamai dengan diri gue sendiri. Gue berhenti mengacaukan diri hanya supaya gue merasa bahwa jiwa gue normal, bahwa gue manusia yang sama seperti kebanyakan lainnya. Meski jauh dari dalam lubuk hati gue, semua itu nggak bikin keadaan lebih baik. Yang ada gue justru jijik.
Gue berhenti ngerokok, menjauh dari segala pergaulan liar yang tadinya gue paksa sukai, juga memutuskan semua hubungan gue dengan cewek-cewek yang namanya aja nggak bisa bener-bener gue ingat. Dan semua itu menumbuhkan kelegaan ke dalam hati serta pikiran gue.
Mungkin memang ini jalan tepat yang seharusnya gue pilih. Walau ketepatan yang gue asumsikan ini tetap aja salah.
Gue menutup buku, mendongakkan kepala sambil menghirup napas dalam-dalam. Ah, ya Tuhan. Gue bingung, galau.
Sekarang kegiatan rutin gue di kampus cuma belajar, makan di jam istrahat, kemudian mendekam di dalam perpustaan cuma untuk menenangkan diri. Agar kawan-kawan serta para mantan gue nggak menemukan keberadaan gue. Gue lelah ngehadapin mereka. Tapi gue juga nggak berani menyatakan alasan yang sesungguhnya. Gue belum siap. Gue takut nanti...
"Nah, kan... di sini lagi."
Gue nyaris terjungkal kalo aja ujung kursi yang sedang gue duduki nggak dipegangi. Astaga. Kenapa ini orang mendadak muncul segala? Nambah rumit suasana aja.
Gue terpana menatap wajah pak Reztama yang tampan, yang saat ini tengah memperhatikan gue. Kernyitan muncul di antara kedua alisnya. "Ngelamun?" tanyanya yang lalu berjalan ke samping, duduk di kursi sebelah.
Gue meneguk ludah. Membenarkan posisi duduk setelah itu berdeham. "Bapak kok di sini?" sebisa mungkin gue mencoba untuk nggak curi-curi pandang. Godaan dosen muda ini terlalu kuat.
Pak Reztama terkekeh. "Gak sopan ya kamu. Ditanya malah nanya balik." katanya.
Gue meringis. "Sorry, Pak." ucap gue sungguh-sungguh. Meliriknya sekilas yang malah... bikin gue terpaku.
Pak Reztama juga balas menatap. Lama, dalam, janggal. Jantung gue otomatis deg-degan, dan gue gugup gak keruan. Tiba-tiba aja kok badan gue gerah gini, sih. Haduh.
"Kamu baik-baik saja, Han?"
Gue mengangguk pelan. Akhirnya berhasil mengalihkan fokus gue dari wajahnya.
Perasaan gue doang atau pak Reztama ngegeser posisi duduknya makin mepet ke sisi gue, ya? Jantung gue bakalan lari nih bentar lagi. Ya Tuhan, bantu gue.
"Nanti sore kamu ada waktu luang gak? Mau menemani saya beli sepatu ke GI?"
Gue memutar pandangan, melihat perpuastakaan ini benar-benar sepi. Berarti pak Reztama emang lagi nanyain gue kan? Gue gak salah dengar kan?
Gue terkesiap merasakan ada tangan yang tersampir di bahu gue. Aroma parfum maskulin dosen ganteng ini membuat bagian tengah tubuh gue ngaceng seketika. Doa gue nggak didengar kayaknya. Tambah gak beres aja ini.
Dengan ragu, gue menoleh pak Reztama yang tengah tersenyum menatap gue. "Mau aja, Pak." jawab gue akhirnya. Gue balas senyum. "Bapak mau nomor hape saya?" tanya gue sok menggoda.
Pak Reztama mengusap bahu gue. "Saya sudah punya nomor kamu. Nanti saya jemput di rumah, ya."
Gue ngernyit mendengar responsnya. "Bapak udah tau rumah saya?"
Tanpa gue duga, pak Reztama mendekatkan wajahnya... ke telinga gue. "Kamu gak tau apa aja yang sudah saya ketahui tentang kamu, Hanzah." bisiknya yang lalu mendaratkan ciuman ke daun telinga gue.
Kalo begini caranya... yang ada gue mau diperkosa langsung.
Wajah gue pasti udah kayak kepiting rebus. Gue kacau. Gue memang gak normal.
Namun meski sadar ini gak normal, entah kenapa gue merasa lebih bahagia dengan ini semua. Gue bahagia menjadi diri gue yang seharusnya menjadi sejak dulu. Gue bersyukur.
Semoga ini akan menuntun gue menuju jalan gue yang baru dan yang lebih mampu membuat gue lepas.
--Tamat?--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top