Maaf. Ini Semua Tak Mudah
Lagi-lagi pesan itu masuk ke ponselku.
Astaga. Jika saja aku bisa mengganti sim card-nya, rasa-rasanya akan lebih baik bagiku menghadapi ini. Tanpa ada lagi kebohongan dan kepura-puraan.
Andaikan memang semudah itu...
---
Sayang, met pagi...
Kamu udah sarapan, yang? Mampir ke rumahku dulu sini, aku udah masakin semur terong balado kesukaan kamu, lho.
Yang, kamu berangkat kuliah jam berapa?
Atau badan kamu masih sakit, ya? Masih belum sembuh? Aku mau buatin bubur, ya. Kamu mau?
Yang...
Aku kangen...
Kapan kita bisa ketemu?
Aku membaca satu per satu pesan itu dengan perasaan bercampur aduk. Antara geli, kasihan, sedih, sekaligus sakit.
Tidakkah ia bisa menerima kenyataan? Sudah dua bulan lamanya berlalu setelah hari itu. Tak bisakah ia melupakan semuanya?
Andaikan saja semudah saat aku mengatakannya.
---
SAYANG, SELAMAT ULANG TAHUN!
Aku pengin dinner sama kamu malam ini. Bisa kah?
Kalo kamu sibuk ya nggak apa-apa. Akumaklum.
Hei, aku udah nyiapin kado special nih untuk kamu. Nggak penaaran?
Mau tau apa kadonya?
Aku pasrahin tubuh aku hari ini untuk kamu, yang. You can have sex with me all night long. Bukannya itu yang kamu suka?
Ya Tuhan. Lupain aja, yang. Maaf. Aku gak maksud nakal ke kamu
Yang... aku kangen tidur seranjang sama kamu.
Yang, kamu punya harapan apa di ulang tahun kamu yang ke-23 ini?
Aku nyaris membanting ponsel dalam genggaman bila tidak mengingat perjanjian yang sudah kubuat. Mengerang, menjatuhkan tubuh ke atas ranjang lalu menutup kedua mataku.
Di hari ulang tahunku ini, aku berharap aku tak pernah memiliki secuil rasa apa pun terhadapmu.
Andaikan saja semudah yang aku harapkan...
---
Yang...
Hei, I miss you.
I love you. You love me too, aren't you?]
Kapan kamu mau meluk aku lagi?
Yang...
Aku nggak mau keliatan lemah. Tapi aku mau jujur...
Aku nangis sekarang, Yang. Aku udah gak kuat...
Mataku berkaca-kaca membaca pesan darinya. Jemari sudah terletak di antara jejeran keypad ponsel ini. Namun, aku tak bisa. Aku tak sanggup menambah kesakitan yang dialaminya.
Jadi aku memilih diam. Mengabaikannya seperti hari-hari lalu.
---
Aku di depan rumahmu, Yang...
Nggak ada siapa-siapa.
Dari tadi aku ketuk-ketuk dan teriak, nggak ada yang jawab.
Kamu di mana?
Yang, aku mau ketemu...
Yang...
Aku mendengar suaranya, selagi kedua mataku tertancap lekat pada pesan yang beberapa menit lalu dikirimkannya. Hingga pesan baru itu datang...
Aku bakal nunggu sampe kamu pulang.
I love you. 😚
Aku mengumpat lirih sembari meninju dinding di depanku. Perih. Bukan tanganku, melainkan mata dan hatiku.
Astaga, harus berapa lama lagi?
. . .
Kamu kok belum pulang juga,Yang?
Aku laper...
Aku mau makan malem bareng kamu, tau!
Yang, cepetan pulang dong.
Lagi apa sih kamu?
Udah lebih dari dua bulan lho sms-ku gak pernah kamu bales.
Kamu gak kangen ke aku?
Gak cinta lagi?
Yang!
Aku menutup kedua mataku. Tidak kuat membaca pesan-pesan lain darinya.
Maaf. Aku inginnya membalas, hanya saja,
Aku tak bisa. Maaf.
. . .
Dingin, Yang
Kamu kemana?
Ini udah jam 2 pagi dan kamu tetap gak kelihatan batang hidungnya...
Peluk aku kek
Yang, cepet pulang.
Aku capek, laper, lelah nungguin kamu
Yang...
Mataku kontan membelalak membaca rentetan pesan itu. Laki-laki bodoh itu... jangan bilang kalau dia...
Aku beranjak, turun perlahan dari atas ranjang kemudian berjalan mengendap-endap menuju ke pintu depan. Menyibak gorden jendela, mengintip keluar dan... jantungku terasa terhenti.
Farhan berdiri di sana. Menatapku dengan kedua matanya yang memerah dilingkari garis hitam cukup kentara. Mulutnya bergetar, dadanya kembang kempis tak beraturan. Bibirnya berucap. Meski suaranya tak dapat aku dengar, aku jelas tahu apa yang barusan dikatakannya...
Yang.
Aku menggeleng padanya. Hendak menutup kembali gorden tetapi gebrakan tangan Farhan ke kaca rumahku mengurungkannya. Dia menggelengkan kepala, seolah memintaku untuk tak berbuat apapun tindakan yang berniat kulakukan. Memelas, memohon, mengharapkan belas kasihanku untuknya.
Tidakkah ia tahu sudah seberapa banyak rasa belas kasih yang aku curahkan demi mempertahankan kebahagiaannya?
Andaikan saja kau tahu, Han.
Farhan menunduk, mengetik sesuatu di ponselnya. Sebuah pesan yang dikirimkannya untukku...
[Aku tau kamu masih cinta aku, Yang.]
Aku tertohok.
Aku memang selalu mencintaimu, Han. Selalu.
Aku menggigit bibirku sendiri, membendung lara yang bisa kapan saja terlontar melalui umpatanku.
[Rifan sayang, please... Biarin aku masuk.]
Kemudian ponsel dalam genggamanku jatuh seusainya aku membaca pesan itu. Aku tatap pilu sorot penuh harap di kedua mata Farhan. Dan aku memberinya gelengan.
Gelengan sebagai jawaban atas penantiannya selama ini.
Bahwa aku bukanlah sosok yang diinginkannya.
Aku bukan sosok Rifan kekasihnya.
Juga bahwa aku adalah...
"Rafan," sebutku lirih.
Yang jelas, aku tahu. Farhan telah menyadarinya. Terbukti, selekasnya nama itu aku perdengarkan, meski tak sampai ke telinganya, kekasih dari kembaranku itu terjatuh pingsan seketika.
Maafkan aku, Rif. Ini semua sudah cukup.
Maaf. Ini semua memang tak mudah.
---END---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top