Kenyataan Pahit

"Eh, itu si banci dateng."

"Najis. Ngapain sih dia masih berani dateng ke sini?"

"Selama di sekolah ini masih ada cowok, dia gak bakalan mau pergi dari sini."

"Ih. Cowok kok demen ke cowok. Jijik deh."

Itu hanya segelintir cacian yang tertangkap oleh kedua telinga Lani. Sejak ada yang membocorkan identitasnya sebagai gay, seluruh murid di sekolahnya kompak menjadikannya bahan cemoohan. Bahkan para sahabatnya saja menjauhinya. Lani tidak menyangka, seseorang yang sakit hati bisa sebegitu tega membalasnya seperti ini.

Lani berhenti melangkah begitu melihat ada dua orang yang menghalangi jalannya menuju kelas. Ia menunduk, tak berani mengangkat kepala.

"Heh, homo! Ngapain lo nunduk terus? Lo sibuk ngeliatin selangkangan kita ya?"

Sigap saja Lani mengangkat kepala dan wajahnya terasa basah. Ia diludahi. Membuat tubuhnya gemetar, antara malu, sedih juga marah.

Dua orang teman sekelasnya menertawainya. Merebut tas yang ia kenakan dan melemparkannya ke koridor kelas sebelah.

Lani mengusap ludah di wajah sekaligus air mata yang nyaris jatuh. Ia berjalan, hendak mengambil tasnya yang dibuang. Namun begitu membungkuk, ada kaki bersepatu yang menginjak-injaknya. Lani menengadah dan wajahnya berubah geram.

"Eh. Sorry. Gue gak sengaja."

Lani mengenal sosok ini dengan baik. Siswa di depannya ini bernama Tora. Mantan kekasihnya. Laki-laki yang diputuskannya seminggu lalu karena Lani sudah lelah terus dipaksa untuk melakukan seks. Dan akibatnya, Tora justru menyebarkan aibnya ke seluruh penjuru sekolah.

Lani telah melakukan tindakan tepat dengan memutuskan hubungannya dari laki-laki bajingan ini. Tetapi hasil yang dibuahkannya sama sekali tak menyenangkan.

Tora mengangkat kakinya dari tas, kemudian tasnya ia tendang. Lani mencoba menguatkan kesabarannya dan merangkak mengambil tasnya seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Selama berada di kelas, tak ada yang sudi menjadi teman sebangkunya. Beruntung baginya sebab guru-guru belum turut mendengar mengenai gosip ini. Lani takut dikeluarkan dari sekolah. Apalagi jika sampai orang tuanya tahu.

Pada jam istirahat pun suasana yang didapatkannya sama. Ia dikucilkan. Terkadang bangku yang kosong dengan sengaja ditempati. Dan ia akan berakhir makan di pojok kantin, dekat bak tempat sampah.

Ketika beberapa siswa dan siswi mulai selesai dengan waktu makannya. Mereka tak jarang menjatuhkan sampah di atas kepala dan juga di sisi tubuh Lani. Lantas tertawa puas setelah berhasil mempermalukannya. Gara-gara itu semua Lani kehilangan nafsu makan. Semenjak aibnya terbongkar, tubuhnya jadi semakin kurus. Tetapi Lani lebih sadar, mau dia kurus atau tidak, tetap tak akan ada yang peduli.

Sewaktu jam pulang sekolah tiba, Lani akan berdiam diri di kelas. Menunggu sekolah sepi, supaya ketika ia berjalan ke gerbang, tidak banyak caci maki yang terdengar olehnya.

Lani melihat ke jendela, suasana sudah cukup lenggang. Mungkin ini saatnya dia pulang.

Lani membuka pintu kelas dan terkejut bukan main mendapati gerombolan murid laki-laki sedang berkumpul menghadangnya. Ada apa lagi? Rencana apa yang kali ini ingin mereka lakukan?

Lani dirundung cemas. Dan dengan sepenuh tenaga, ia menerobos, menabrak para siswa itu untuk kemudian melarikan diri dari sana.

"Woi, homo! Banci munafik! Ke sini lo!"

Lani terus berlari dan berlari. Begitu berbelok menuju ke arah tangga, ia terjebak. Dirinya tertangkap oleh gerombolan murid laki-laki lain yang ternyata sudah menunggunya.

"Nah, sekarang, ayo lo ikut gue."

"Lepasin! Gue mau pulang! Lepasin bangsat!"

Lani tidak berdaya. Empat orang yang memeganginya membuatnya sulit melakukan perlawanan.

"Ayo, seret dia ke gudang."

Lani meronta. Berteriak minta tolong meski ia tahu itu hal yang sia-sia.

Begitu sampai di gudang, Lani dilemparkan ke dalam dan dikunci dari luar. Lani panik, menggedor-gedor pintu dan mengeluarkan sumpah serapah.

Nihil. Tak ada suara yang terdengar dari luar. Ia ditinggalkan sendirian di dalam gudang ini.

Lani menahan mati-matian air matanya supaya tidak menetes. Ia tidak boleh menelan bulat-bulat perkataan banci yang disandangnya. Ia harus tegar.

Lani menyandarkan tubuhnya ke tembok dan menerawang. Merutuki nasibnya habis-habisan. Sejak awal Lani tahu bahwa para gay selalu saja mengutamakan nafsunya. Sebagian gay itu bajingan. Berhubungan pun tak ada yang benar-benar tulus dengan niat ingin menyayangi. Seharusnya Lani tidak terbuai oleh semua sikap manis Tora.

Tora merupakan contoh nyata gay brengsek yang ada di dunia ini. Nafsu tak sampai, aib Lani disebarkan. Lani menyesali nasibnya mati-matian.

"Kenapa sih gue mesti demen ke cowok? Kalo dari awal gue mesti punya ketertarikan ke cowok, mendingan gue mati aja sekalian. Jadi gay hina banget kayak gini. Bikin gue jijik ama diri sendiri. Najis." Lani mengatai dirinya habis-habisan sembari membenturkan kepala ke tembok berulang kali. Tanpa terasa, air matanya jatuh.

Lani tidak kuat lagi. Lebih lama ia berada di sini seorang diri, makin ia dirundung ketakutan. Ia terisak-isak dan terduduk di lantai setelahnya.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dari luar, menyalurkan terang di dalam gelapnya gudang ini. Lani menoleh dan terpaku bukan main mendapati sosok Tora berdiri di ambang pintu sambil menyeret salah satu siswa yang membawa Lani hingga kemari. Hanya saja, siswa itu telah babak belur.

Tora mendorong tubuh siswa yang babak belur itu ke lantai dan berlari menghampiri Lani.

"Kamu gak apa-apa kan?"

Lani tercenung. Ia pikir matanya yang sedang menangis salah melihat raut wajah Tora yang tampak cemas dan dipenuhi rasa bersalah.

Tora membantu Lani untuk berdiri dan menggiringnya keluar dari gudang.

"L-lo ngapain disini?" tanya Lani parau.

"Aku minta maaf, Lan. Aku... udah keterlaluan. Awalnya aku cuma iseng nyebarin gosip itu, tapi gak disangka hasilnya sampe sejauh ini. Aku minta maaf."

Lani berhenti melangkah dan mendorong Tora dari sisinya. "Segampang itu lo minta maaf? Lo tau nggak seberapa sakit hati dan kesiksanya gue selama beberapa hari ini, hah?!" bentaknya tak terima.

Tora menunduk dan mengepalkan tangan. "Seenggaknya beban kamu bakalan berkurang mulai besok." ujarnya yang tak Lani pedulikan sama sekali. "Kamu mau aku antar pulang? Ayo. Tas kamu udah ada di motor aku."

Lani mendengus dan berjalan meninggalkan Tora yang bergeming memandangi kepergiannya.

Sepanjang jalan menuju ke gerbang, Lani mengatai Tora tanpa henti. Menyebutnya bajingan, babi, monyet, bangsat hingga keparat. Bagi Lani, Tora merupakan sosok gay biadab sungguhan yang tak sudi jika mesti dimaafkan.

Lani berharap, Tora mendapatkan karma yang setimpal malah.

"Dasar Tora turunan iblis!"

---

Lani tercengang bukan main membaca selembar foto yang tertempel di mading dan sedang menjadi hot topic di sekolahnya hari ini. Di foto itu ada sosok Lani, dan Tora... sedang berciuman.

Hari ini, tak hanya Lani yang menjadi bahan bully-an. Tetapi Tora juga. Jadi ini yang dimaksud Tora kemarin? Beginikah cara Tora mengurangi beban yang Lani dapatkan?

Lani berlari melewati satu per satu koridor yang dilaluinya. Sepanjang perjalanannya, tak ada satu pun caci dan maki yang luput dari indra pendengarannya. Namun Lani tak ambil peduli. Yang sekarang tengah dicarinya adalah sosok Tora.

Dan Lani menemukannya. Di sisi gedung perpustakaan. Di bawah pohon mangga besar. Terkulai lemah. Babak belur. Tubuhnya menguarkan aroma pesing.

Lani meletakkan kepala Tora ke atas pangkuannya. Mengusap lembut kepala mantan kekasihnya ini dan menangis untuknya. "Dasar bajingan! Kenapa sih lo berbuat sejauh ini cuma demi gue? Hah?! Lo ini emang gak punya otak ya! Babi!" Lani menangis sambil tak hentinya mengutuk Tora.

Tora terkekeh dan terbatuk-batuk. "Supaya kita impas. Dan biar kamu sadar, bahwa gak semua gay itu bangsat."

Lani meraung. Memeluk Tora tanpa mempedulikan bau pesing yang tercium oleh hidungnya.

Hanya demi Lani, Tora rela babak belur hingga dikencingi begini. Lani sadar, semua caci maki yang didapatkannya, tak sebanding sama sekali dengan pengorbanan yang Tora lakukan.

"Maafin gue." ucap Lani benar-benar menyesal.

Bibir Tora yang berdarah menciptakan senyuman. "Aku maafin kalo kamu mau balikan lagi. Aku janji, aku gak akan mentingin seks lagi. Ya?"

Lani tak punya jawaban lain selain anggukan lemah yang mampu diberikannya. Lani menciumi dahi Tora dan membisikan kata maaf terus-terusan.

Setidaknya, mulai hari ini, Lani tak sendirian lagi.

--Tamat--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top