Kau Terindah
Aku mencintaimu, meskipun kau tak akan pernah bisa aku miliki.
Aku menyayangimu, walaupun sosokmu mustahil dapat kuraih.
Aku menginginkanmu, sekalipun kau telah mendapatkan pemilik hati.
Bagiku, kau sangat berharga. Karena kau adalah sosok terindah.
.
.
.
Kau tertidur begitu pulas. Terlalu lelah mengurusi segala persiapan menuju hari pernikahanmu sampai lupa untuk beristirahat. Aku turut berbahagia untukmu. Setidaknya, kau akan segera menikahi sosok pujaan hatimu. Meskipun aku merasa sakit hati. Setidaknya, aku senang karena kau masih mengingatku untuk kau jadikan tempat mengadu.
Perlahan, aku menyentuh wajahmu. Menahan senyuman getir, berusaha untuk tidak membangunkanmu selama aku mengagumi indah dirimu.
Apakah setelah nanti kau telah berstatus sebagai pasangan orang lain, kau dan aku tak lagi bisa bebas menghabiskan waktu bersama? Sudah jelas 'kan, kau akan lebih mengutamakan sosok pendampingmu kelak. Aku, yang hanya sahabatmu, sekadar akan menjadi pelengkap saja di antara kalian. Untukmu.
Kau melenguh. Membuat aku buru-buru menarik tanganku dari wajahmu setelah itu kembali sibuk dengan kertas undangan yang kau bawa dan memintai bantuanku untuk melipatnya.
"Engh, duh. Maaf, Yas. Aku malah ketiduran," katamu sambil perlahan-lahan beranjak bangun dari atas kasurku.
Aku menggeleng seraya tersenyum. "Nggak apa-apa. Kamu tidur aja lagi andaikan masih ngantuk."
Kau berdecak lalu menguap, lekas duduk di sampingku dan mulai ikut melipat kertas undangan lagi. "Nggak, ah. Masa aku datang-datang cuma mau ngerepotin kamu?"
Aku nggak keberatan. Batinku menjawab.
Namun, aku sekadar memberikanmu senyuman. Cuma bisa selalu tersenyum untukmu. Hanya supaya kau tidak mengetahui betapa sakitnya hatiku. Agar kau tak menyadari sudah seberapa dalam luka yang tercipta di dalam sana. Luka yang mulai tumbuh begitu kau mengumumkan perihal jalinan hubunganmu dengan seseorang yang selama ini kau sukai. Tak berapa lama, luka itu kian melebar tatkala kau bercerita mengenai niatmu yang ingin melamarnya. Semakin parah begitu aku menyaksikan acara pertunanganmu dengannya. Dan bertambah buruk lagi, saat aku diingatkan bahwa sebentar lagi kau akan menjadi pendamping hidup orang lain. Sedangkan aku tak pernah sedikit pun memiliki kesempatan. Sekadar untuk mengungkapkan rasaku saja tak sanggup.
Rasa-rasanya, ini sungguh tidak adil untukku.
"Loh, Yas? Kok kamu nangis?"
Apa? Aku menangis?
Aku refleks menyentuh pipiku yang ternyata memang basah. Astaga, ini gila. Dan kau justru melihat kondisi diriku yang sangat menyedihkan ini.
"M-maaf, Ril. Ini kertas undangannya gak tau kenapa bikin mata aku perih," dustaku sembari mengusap kasar wajahku sendiri. "Hehehe. Sebentar, ya. Aku mau cuci muka dulu," kataku lalu berdiri dan segera berlari menuju ke kamar mandi.
Aku mengunci pintu kamar mandi, dan tubuhku langsung saja merosot jatuh ke lantai. Aku terisak lirih, berusaha meredam tangisan supaya tak sampai terdengar olehmu.
Mengapa rasanya jadi sesakit ini? Padahal mudah saja bagiku untuk melepaskanmu. Akan tetapi, aku belum ingin kehilanganmu.
"Fahril .... "
Namamu kusebut dalam tangis, nyaris serupa bisikan.
"Aku cinta sama kamu, Ril. Aku cinta sama kamu. Maaf, karena aku cinta sama kamu."
Maaf karena telah menodai ikatan persahabatan ini dengan rasaku yang salah. Andaikan ada pilihan lain yang bisa kuambil, aku ingin sekali terikat lebih dari sebagai sahabatmu. Namun, itu tak lagi bisa terjadi. Kau dan aku mustahil memiliki ikatan yang lebih.
Aku bangun, melangkah menuju westafel kemudian membasuh muka. Di cermin, aku melihat pantulan wajahmu yang menampakkan senyum bahagia. Kau berbahagia bersanding dengan sosok wanita yang selama ini kau cinta. Dan aku sadar, bahwa melihatmu bahagia adalah sesuatu yang sungguh berharga.
Kau berharga bagiku. Maka dari itu, apa pun akan aku lakukan selama itu bisa membuatmu bahagia. Termasuk merelakanmu menjadi milik orang lain.
Aku keluar dari kamar mandi dan sudah saja mendapati dua gelas berisikan kopi hitam yang masih mengepulkan asap di dekat kakimu.
"Yas, ngopi dulu!"
Aku terkekeh. Kembali duduk di sisimu, dan jantungku berdetak kencang begitu kedua kaki kita tanpa sengaja bersentuhan. Kau terlihat santai sambil mulai menyeruput kopi, sedangkan aku cuma memperhatikanmu dalam diam.
Kau sungguh indah. Aku sadari hal itu sejak lama.
Melihat kau menoleh lalu tersenyum seraya menyerahkan gelas satunya lagi padaku, semata-mata mendatangkan sebuah pemahaman. Meskipun aku tak dapat memilikimu sebagai kekasih, aku tetap bersyukur karena masih bisa menjadikanmu sahabat terbaikku.
Sahabat yang sangat berharga. Sosok terindah yang Tuhan kirimkan untukku. Yang mengajarkan aku mengenai cinta, asa serta kehilangan.
"Ilyas, cepetan diminum kopinya. Nanti keburu dingin," desismu. Dan aku hanya tertawa.
Aku sungguh beruntung memiliki sosok terindah sepertimu sebagai sahabatku, Fahril.
---Tamat---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top