Karma

Aku memandang tak berkedip pesan terakhir yang dikirimkannya untukku sekitar tiga jam yang lalu. Layar hape aku kunci, kemudian pelipisku aku pijat, mataku terpejam. Gerakan kecil terasa di pahaku, menunduk melihat kepala Wirda bergeser lebih merapat ke perutku. Aku mengembuskan napas yang kian sesak.

Tetes kering air mata masih membekas di kedua pipinya, hidungnya merah, wajahnya pucat dan parasnya pun memperlihatkan kesedihan mendalam meskipun saat ini dia sedang terlelap. Aku sebagai sahabat dekatnya merasa amat bersalah padanya. Karena aku adalah salah satu dari beberapa penyebab yang membuatnya menjadi seperti ini. Juga Sulhan.

Pintu ruang gawat darurat terbuka, memunculkan sesosok Dokter yang sudah lebih dari dua jam-an lamanya kami tunggui. Aku menepuk-nepuk pipi Wirda supaya dia terbangun, kelopaknya bergerak-gerak kecil sampai akhirnya matanya membuka.

"Dokter udah keluar." ujarku.

Mendengar itu, sontak Wirda membangunkan dirinya cepat-cepat.

"Keluarga Nak Sulhan?" tanya Dokter begitu sampai di samping kami. Aku dan Wirda berdiri tegak hampir bersamaan.

"Saya, Dok!" sahut Wirda menjawab dengan nada panik. "Bagaimana keadaan Sulhan, Dok? Dia baik-baik aja kan? Dia gak luka parah kan? Di-dia gak koma kan?" Wirda meracaukan pertanyaan tiada henti disertai tangisnya. Aku merangkul pundaknya, mencoba menenangkan kecemasan berlebihannya.

Dokter menepuk pundak Wirda, jari-jarinya sedikit mengenai pergelangan tanganku. Senyuman lemah diberikannya, disusul gelengan pelan yang seketika membuat aku dan Wirda tertegun. "Kami sudah berusaha, Nak. Namun pendarahan yang terjadi, sudah terlalu sulit untuk dicegah. Ditambah luka benturan yang tepat mengenai bagian jantungnya kian memperparah kondisinya. Jadi, ma—"

Belum selesai Dokter menuturkan keterangan, tubuh Wirda yang melemas jatuh terduduk di lantai. Tetes demi tetes air matanya semakin deras berjatuhan dan ikut serta melembapkan lantai. Bahunya bergetar, kepalanya tertunduk dalam dengan suaranya yang terisak-isak memilukan. Di antara lirihnya, aku bisa dengan jelas mendengarnya menyebutkan nama Sulhan berulang kali. Tak ubahnya sepertiku.

"Terima kasih atas bantuannya, Dokter." ucapku parau tanpa mengalihkan pandanganku dari Wirda. Dokter mengangguk, setelah itu berlalu dari hadapanku.

Pandanganku teralihkan begitu pintu ruang gawat darurat terbuka, menampakkan brancar yang ditempati oleh satu tubuh tertutupi kain putih dari ujung kaki hingga ujung kepala. Wirda merangkak mendekat, mencegah laju brancar setelah itu menyingkap kain di bagian kepala.

Aku memejamkan mata, tidak sanggup melihat wajah pucat tak bernyawa dan tergores banyak luka itu. Sedangkan Wirda memperdengarkan erangan pilunya, nama Sulhan diserukannya puluhan kali yang aku tahu tindakannya itu mustahil untuk mendapatkan respons.

Hape yang masih aku genggam kuremas. Tubuhku memutar, memunggungi keberadaan Wirda dan jasad Sulhan. Aku membuka kuncinya, memeriksa riwayat Chat Whatsapp di mana pesan-pesan terakhirnya masih kusimpan.

Dan seusainya aku membaca pesan-pesan itu, setitik air mata jatuh membasahi layar hapeku. Aku merintih dalam diam, kepalaku menengadah. Aku meremas dadaku yang terasa sakit, menciptakan sesak berkepanjangan yang menyebabkan aku sulit untuk bernafas. Mengingat Sulhan mengalami kecelakaan maut ini karena aku. Dia bermaksud menemaniku di rumah yang sedang sendirian daripada menuruti permintaan Wirda yang hendak mengajaknya berkencan. Tetapi di tengah perjalanan, tragedi tak terduga terjadi.

Aku sebagai kekasih gelapnya hanya mampu menahan tangisanku begitu mendengar kabar tentang kecelakaan yang dialaminya. Berusaha tidak menampakkan kesedihanku yang teramat dalam untuk sosok yang aku cintai diam-diam di belakang sahabatku yang merupakan kekasihnya. Sangat merasa berdosa saat Wirda memeluk aku dan mengatakan bahwa dia tidak ingin kehilangan Sulhan. Aku mengangguk menyetujuinya, sebab aku pun berkeinginan demikian. Namun, takdir berkata lain.

Sekarang Sulhan telah pergi selamanya. Meninggalkan penyesalan yang merambati relung hatiku. Tidak hanya disebabkan oleh kehilangannya, tetapi berupa pengkhianatan yang selama ini kami sembunyikan dari Wirda.

Aku bertanya pada Tuhan, apakah ini karma? Jika benar, tolong izinkan aku mati bersamanya.

--end

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top