Kakak

"Kakak, cepetan! Nanti kita telat lagi!"

Aku berseru untuk yang kesekian kali dari arah teras. Ah, si kakak. Cowok kok rempong banget dandannya.

Tak mendapat jawaban apapun dari kak Tomi, aku pun beranjak dari teras dan menyusul dia yang entah sedang apa sebenarnya di dalam.

"Kakak!" teriakku. Tetap, tak ada jawaban.

Aku misuh-misuh, menengok jam tangan dipergelangan, lalu menghela napas lesu.

Tanpa mengetuk terlebih dulu, langsung saja aku putar kenop pintu kamar kak Tomi. Dan hal pertama yang menarik perhatianku begitu melihat ke dalamnya, adalah dompet milik kakakku satu-satunya ini.

Aku celingukan ke kanan dan ke kiri, memastikan kalau Kak Tomi tak terlihat batang hidungnya. Begitu sudah yakin dia tak ada, segera saja aku berlari menghampiri tempat di mana dompetnya tergeletak.

Aku mengambil dompet berkulit hitam dengan loreng-loreng merah ini, secara perlahan sekali aku membukanya—

"Mira!" kak Tomi sedikit membentakku sambil tangannya mencomot dompet miliknya. Aku tersenyum kikuk memandanginya yang ternyata sudah berpenampilan rapi. "Ngapain kamu buka-buka dompet kakak? Udah liat apa aja tadi?" tanya kak Tomi terburu.

"Belum liat apa-apa. Kasih liat dong," mohonku.

"Gak boleh!"

"Ih, pelit!" umpatku. "Jangan-jangan di dalemnya ada foto cewek telanjangnya, ya?" ledekku yang dibalas pelototan lucu dari mata sipitnya.

"Kamu ya. Masih kecil udah mikirin hal kaya gitu. Di dompet ini tuh ya, ada foto kakak sama—" Kak Tomi yang sudah mengangkat dompetnya menjeda penjelasan.

"Sama siapa? Apa?" tanyaku kepo.

"Ada foto kakak sama... pacar kakak," jawabnya disertai senyuman, setelah itu dia memasukkan dompet ke dalam kantung jeans bagian belakangnya.

"Wah! Mau liat! Namanya siapa, kak? Cantik gak? Kok kakak gak pernah cerita kalo kakak udah punya pacar?" tanyaku bertubi-tubi.

"Udah! Udah! Ayo, sekarang kita berangkat! Gak bakalan ada ujungnya kalo kakak harus terus ngeladenin kamu," kata Kak Tomi sembari menyeretku untuk keluar dari kamarnya.

'Ih, dasar kakak pelit!' Batinku mendumel.

. . .

"Nih, kamu pake jaket kakak," Titah kak Tomi seraya menyerahkan jaketnya kepadaku.

"Kakaknya gimana?"

"Kakak gak apa kok. Kakak kan cowok, jadi kakak kuat. Diterjang badai secetar apapun, kakak pasti bakal tetap selamat," jawab Kak Tomi pede.

"Tapi nanti kakak masuk angin," ucapku cemas, mengetahui mendung dan angin dingin mulai menyergap indra perasaku.

Kak Tomi mengusap kepalaku. "Kakak gak apa-apa. Yang terpenting itu kamu, Dek. Udah. Nurut aja. Cepet pake jaketnya," perintahnya menegaskan. "Awas, lho. Itu jaket kesayangan kakak, jangan ditumpahin iler dan disobek-sobek," imbuhnya yang aku balas dengan pukulan ke bahunya.

.

Motor kak Tomi melaju di jalanan bersama aku yang duduk di atas boncengannya. Aku peluk erat tubuh kak Tomi dari belakang, saking dinginnya cuaca hari ini. Aku khawatir, jikalau nanti Kak Tomi kenapa-kenapa. Lalu—

Ckitt!

Tubuhku terlonjak, pelukanku pada perut kak Tomi terlepas. Yang membuatku terkejut, adalah ketika aku terlempar ke samping dan jatuh di atas jalanan beraspal. Bahu dan punggungku yang menubruk jalan terasa nyeri. Lho tapi, kak Tomi di mana?

Brakkk!!

Aku tersentak di tempatku tergeletak, membangunkan diri ditemani rasa sakit yang menjalar di beberapa bagian tubuh. Sesaat kemudian, sakit itu tak lagi aku rasa, kala mendapati pemandangan yang tidak pernah sekali pun pernah aku bayangkan seumur hidup.

Kerumunan itu mulai mendekati tubuh penuh darahnya. Dia tertimpa motornya yang beberapa saat tadi tengah dikendarai. Dan aku berjalan mendekat, tanpa bisa merasakan pijakan kakiku sendiri. Pipiku terasa lembab, napasku tersendat, dan dadaku nyeri.

Itu Kakakku, kak Tomi...

***

Kak Tomi tak selamat.

Tau artinya? Dia sudah berpulang ke pangkuan sang Pencipta, menyusul Mama dan Papa yang telah lebih dulu pergi 7 tahun lalu.

Aku tak bisa memberikan respons apapun, tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku sendiri saat ini, bahkan untuk melihat jasadnya saja aku tidak sanggup.

Para Pelayat berdatangan tanpa henti ke rumahku, tetangga-tetanggaku juga lah yang membantu dan sibuk mengurusi semuanya. Sedangkan aku, hanya terduduk di teras depan rumahku sambil memeluk jaket kesayangan kak Tomi. Duduk diam yang berulang kali mendapatkan berbagai ucapan turut berduka dari orang-orang, juga ucapan supaya aku sabar.

"Kak Tomi," Lirihku menyebut namanya seraya mendekap erat jaket berwarna biru tua ini.

"Itu jaket kesayangan Tomi, 'kan?"

Untuk pertama kalinya, perhatianku berhasil teralihkan oleh kalimat tanya tadi. Aku menoleh, mendapati seseorang yang tak aku kenali terduduk di sampingku. Lelaki ini tersenyum masam, menggerakkan tangannya yang lalu digunakan untuk membelai rambutku.

"Yang tabah ya, Dek Mira. Bukan cuma kamu kok yang kehilangan sosok Tomi," Katanya. Dari mana dia tau namaku?

Aku lihat lelaki ini merogoh sesuatu dari saku jaket yang dipakainya.

Itu—

"Ini dompet Tomi. Tolong kamu simpen baik-baik, ya," Ujarnya sembari meletakkan dompet itu ke atas telapak tanganku.

"Kamu siapa?" tanyaku dengan suara parau.

"Aku Zaki," Jawabnya.

Lelaki yang baru aku ketahui bernama Zaki ini beranjak dari sampingku setelah itu.

Sebentar. Kalau dipikir-pikir, dari mana dia tau kalau ini jaket kesayangan kak Tomi? Dan tau dari mana juga dia kalau dompet ini punya kak Tomi? Apakah dia sahabat kak Tomi? Tapi seingatku, kak Tomi tidak pernah membawa serta lelaki itu bertamu ke rumah kami bilamana dia membawa teman-temannya untuk mampir.

Perhatianku aku tujukan kembali ke dompet. Kak Tomi sungguh pelit. Apa-apa yang mau aku ketahui, tidak pernah dia mau untuk memberi jawab. Namun kali ini, ada satu hal yang aku akan segera ketahui. Bahwasannya, foto yang ada di dalam dompet ini merupakan foto kak Tomi dan juga kekasihnya.

Aku buka dompet ini perlahan dengan tangan yang gemetaran, tetapi begitu sudah terbuka. Jujur, aku bingung—

Kenapa ada foto kak Tomi dan lelaki bernama Zaki tadi di sini?

Deg!

Ja-jadi—? Apakah jangan-jangan...?

Ya Tuhan—

Pantas saja jika selama ini kak Tomi tak pernah ingin memberitahu apapun padaku. Ternyata kak Tomi... memiliki rahasia besar yang cukup kelit.

Selanjutnya, aku menengokkan kepalaku ke sana ke mari, mencoba menemukan sosok lelaki bernama Zaki tadi.

Di mana ya, dia?

"Nyariin aku?"

Lalu, aku dikejutkan oleh suara Zaki, yang sosoknya mendadak muncul di hadapanku.

"Udah tau sekarang?" Tanyanya yang seolah telah mengerti.

Namun, aku hanya diam, sedikit mendongak memandanginya yang sedang berdiri.

"Jaket itu aku yang beliin untuk Tomi, dan dompet itu sebenarnya punyaku yang aku dan Tomi saling tukarkan kepemilikannya dua tahun lalu." Zaki mulai memaparkan penjelasan. "Tomi nge-sms aku beberapa menit sebelum kecelakaan itu terjadi. Dia bilang; dia udah cerita kalau fotonya yang ada di dompet itu adalah dia yang lagi sama pacarnya, yang baru kamu ketahui yaitu aku," lanjutnya.

Wajah pucatnya menampakan gurat lara, melangkah sekali, kemudian berjongkok.

"Seenggaknya, kamu udah sempet tau hal ini meskipun Tomi udah gak ada. Eh, nggak kok. Dia bakal tetep ada, di hati kamu dan juga aku. Ya?"

Selesai berkata demikian, bening itu menitik jatuh dari sudut manik matanya yang memerah, dan aku pun memilih untuk mendekap tubuhnya.

Dia dan aku sama. Zaki dan aku, adalah orang yang paling merasakan sakit atas kepergian Kakak.

Kak Tomi, terima kasih untuk semuanya. Untuk segala perlindungan dan perhatian kakak, rasa sayang kakak, dan rahasia terbesar kakak yang mau kakak bagikan padaku.

Aku harap, kakak bisa tenang di Atas sana.

Kami menyayangimu.

--Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top