Kado Valentine

Gue menatap loker dengan malas. Menghela napas, lalu mau gak mau membukanya juga. Kemudian ....

Brukk!

Sesuai dugaan, sudah ada banyak banget cokelat dan kado yang ditaruh di situ sampai-sampai beberapa jatuh ke lantai. Gue menoleh ke kanan dan kiri, tersenyum kikuk ke arah murid cowok lain yang menatap gue dengan kesal.

Hei, memangnya gue sendiri yang minta dikirimin kado dan hadiah setiap hari Valentine tiba? Nggak sama sekali. Lagian, gue nggak suka cokelat. Pada akhirnya semua ini cuma bakalan gue bagiin ke tetangga dan gue kasih ke para sepupu cewek gue. Heran juga, sih. Ini mereka yang nyelipin kado ke loker gue, datang ke sekolah jam berapa coba? Niat banget mau ngasih beginian. Sejujurnya, gue lebih menghargai andaikan satu di antara mereka ada yang ngasih gue duit. Rp. 100.000 aja cukup, kok. Lumayan buat gue makan di KFC. Hehehe.

Gue memasukkan semua kado dan hadiah ke dalam plastik besar yang sudah gue bawa di dalam tas. Soalnya, kejadian ini adalah yang kedua kali gue alami. Makanya gue sudah ada persiapan.

"Mau lo buang ke mana semua kado itu, Rik?"

Gue mendongak, dan kedua mata gue beradu pandang dengan sorot teduh milik kak Vernan, senior cowok yang ganteng abis. Yang kegantengannya selalu sukses bikin gue dag-dig-dug.

Kalem, Falrik. Jangan gugup.

Gue berdeham setelah itu mengikat plastik dengan kencang. "Nggak bakalan gue buang lah, Kak. Sayang. Ini mau gue bawa pulang."

Jawaban gue bikin dia manggut-manggut. "Nggak coba diperiksa satu-satu dulu kadonya? Siapa tau ada kado dari someone, loh," katanya lalu terkikik.

Gue meringis. Mengingat pengalaman gue tahun kemarin membuka satu per satu kado dan hadiah Valentine. Yang ada, gue malah muak sendiri, kok. Soalnya kebanyakan pada nyelipin surat cinta yang isinya norak abis, penuh gombalan. Padahal gue yakin pengirimnya perempuan. Asal tau aja, gue gak demen sama perempuan. Tapi, andaikan model pemberi kadonya orang-orang kayak kak Vernan sih, sekalipun cuma dikasih ucapan doang, kayaknya gue tetap bakalan senang bukan kepalang.

Kak Vernan mengernyit menatap gue yang tanpa sadar malahan mesam-mesem kayak orang gila. Jadi, gue berdeham kemudian nyengir. "Lo sendiri gimana, Kak? Dapat kado dan cokelat juga?" tanya gue memulai basa-basi. Jangan melewatkan kesempatan dengan senior cakep. Meskipun dia mungkin nggak bakalan peduli sama setiap topik yang kita bicarakan.

Kak Vernan mengangkat sebuah kado berwarna pink yang entah sejak kapan dia bawa. Gue baru sadar dia ada megang itu. Dari tadi cuma fokus ke muka gantengnya.

"Ini kado dari Gia. Gebetan gue."

Jawabannya bikin cengiran gue luntur di beberapa sudut.

"Makanya tadi gue bilang, coba lo periksa satu-satu kado itu karena siapa tau senasib sama gue. Gak disangka-sangka gebetan malah ada nyelipin kado. Hahaha!"

Suara ketawanya bikin cengiran gue nggak tersisa.

Duh, Emak. Sakit hati gue. Ya, mustahil dong. Gebetan gue aja elo, Kak. Sedangkan elo sendiri sudah punya gebetan lain. Jelas nggak akan ada hasilnya. Batin gue meratapi nasib.

Kak Vernan menepuk pundak gue sekali. "Ya udah, gue mau ke kelas dulu. Ingat pesan gue, periksa itu kado satu-satu."

Sesudah berkata begitu, dia pergi meninggalkan gue yang terlanjur merasakan sakitnya dikhianati.

Kebiasaan, nih. Kalau mulai galau gue lebay. Mungkin karena sejantan-jantannya gue, jiwa gue ini rapuh sebagai seorang bottom.

.
.
.

"Wah, Rik! Lo dapat banyak kado lagi?"

Gue cuma menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan malas, kemudian menaruh plastik besar berisi kado ke belakang kursi yang gue duduki. Mengabaikan tatapan kepo teman sekelas gue yang lain.

Bobby, teman sebangku gue--sekaligus teman gue sejak zaman SMP menatap isi plastik gue dengan mata melotot. "Kayaknya ini malah lebih banyak dari yang tahun kemaren," komentarnya.

Gue menunduk lesu.

Nggak ada artinya. Mau cokelat itu lebih banyak kek, atau lebih sedikit, kalau nggak ada pemberian dari si doi mendingan diabaikan aja.

"Gue minta boleh?"

"Ngapain lo izin segala. Ambil aja sebanyak yang lo mau. Bawa semuanya juga silakan. Gue udah gak peduli."

Selanjutnya, terdengar suara berisik plastik yang diacak-acak dari belakang gue. Membuat gue sedikit terganggu. Hape gue keluarkan, disusul earphone. Niatnya sih mau nyumbat telinga pake suara musik. Tapi, belum juga earphone gue tempelin ke kuping, gerakan tangan Bobby yang menepuk keras-keras bahu gue bikin gue batal mendengarkan lagu.

"Apaan, sih?" tanya gue sebal sambil mendelik ke Bobby. Nggak lama, pendelikan gue berubah menjadi pelototan syok sewaktu mendapati sebuah kotak kado berwarna biru muda dalam pegangan Bobby.

Bukan warnanya yang bikin gue syok, melainkan tulisan yang ada di bagian depan kado itu.

'Happy Valentine's Day for Falrik Ariaseto.

By: Vernan Atmadja.'

Gue nggak salah baca, 'kan? Ini mustahil, 'kan?

Bobby menepuk bahu gue sekali lagi. "Lo kok malahan bengong, sih? Ini ambil! Dia 'kan gebetan lo sejak semester awal masuk SMA, Rik," ujarnya bikin gue tersadar lantas menerima kado itu perlahan. "Ciee, ciee, gayung bersambut, nih."

Gue berdecak kesal. "Diam lo, ah. Ember!" maki gue sok sebal. Di sisi lain, sedikit berterimakasih sebab Bobby benar-benar pengertian selaku sohib gue. Walau tau gue gay, dia tetap mau jadi sahabat gue. Ya, iyalah. Kami berdua sama-sama gay dan sama-sama bottom, kok.

Duh, mendingan gue buka kado ini sekarang daripada mikirin hal yang nggak perlu. Tapi, tunggu dulu. Apa jangan-jangan, ini maksud Kak Vernan dengan nyuruh gue memeriksa kado satu per satu? Sebab, dia ada ngasih kado untuk gue juga.

Ada jam tangan bagus berwarna putih yang mengisi kotak kado berukuran sedang ini. Di bawah jam tangan itu, ada sebuah lipatan kertas. Isinya surat dengan tulisan tangan milik kak Vernan.

'Aku harap kamu tidak terkejut mendapati surat dan kado dariku ini, Falrik. Sudah lama aku memperhatikan kamu dalam diam. Dan aku tahu bahwa kamu juga sering sekali memperhatikan aku secara sembunyi-sembunyi.

Kamu manis. Apa kamu tahu itu?

Kado Valentine ini aku persembahkan untuk kamu. Sebagai ungkapan betapa aku sangat menyukai dan mengagumi indah dirimu.
Kado Valentine ini hanya untukmu. Selaku sosok menggemaskan yang selalu sukses mewarnai hari-hariku.

Aku cinta kamu, Falrik Ariaseto.

Temui aku di ruang kesenian saat jam istirahat nanti. Di sana, aku sudah menyiapkan kado kedua untukmu.

Happy Valentine's Day.
I wish for you to be happy everyday.

By: Vernan Atmadja.'

Astaga. Ini sungguhan. Jadi, beneran Kak Vernan juga suka ke gue? Bukannya tadi dia bilang kak Gia itu gebetannya? Apa dia berniat ngerjain gue doang?

Sekarang, gue jadi deg-degan menunggu jam istirahat datang.

.
.
.

"Hai, Rik."

Jantung gue nyaris melompat keluar mendapati Kak Vernan yang ternyata benar-benar sudah menunggu gue di ruang kesenian. Pelan sekali, gue menutup pintu ruangan ini setelah itu terdiam.

Gue nggak tau harus gimana dan melakukan apa. Niatnya sih, gue mau langsung memberondong Kak Vernan dengan berbagai macam pertanyaan. Hanya saja, kalau sudah berhadapan langsung seperti ini, cuma ada gelisah dan gugup yang gue rasakan.

Kak Vernan berjalan ke arah gue lalu menggandeng tangan gue dengan santai. Membawa gue mendekati sebuah kanvas lukis yang ditutupi kain putih.

"Ini kado kedua yang gue maksud," katanya terdengar kalem kayak biasanya, sembari menunjuk kanvas di depan kami, "Ayo, coba lo buka," titahnya.

Gue meneguk ludah. Berniat menyuarakan respons, sayangnya lidah gue justru kelu. Jadi, gue cuma bisa menuruti kemauan kak Vernan. Menarik kain putih yang menutupi kanvas, setelah itu melolot nggak keruan melihat wajah yang menghiasi kanvas lukis di hadapan gue ini.

Ini lukisan wajah gue. Sketsa, lebih tepatnya. Persis banget kayak gue. Dilukis menggunakan pensil dan spidol kayaknya. Rapi dan menawan. Bahkan, gue merasa wajah gue di lukisan ini jauh lebih cakep dibandingkan muka asli gue.

"Lo suka, Rik?"

Pertanyaan itu bikin gue menoleh perlahan untuk menatap Kak Vernan yang tengah menunjukkan senyuman. "I-ini buatan elo, Kak?" tanya gue balik, nggak bisa menyembunyikan keterkejutan.

Saat melihat Kak Vernan mengangguk, gue berusaha mati-matian buat nggak menampakkan reaksi lebay. Maksudnya, gebetan gue yang super cakep--yang memang seorang anggota klub seni ini ngasih ini untuk gue? Apa ini nggak gila?

"Ke-kenapa?" tanya gue lagi. Mulai berlagak oon.

Kak Vernan mengernyit. "Surat gue belum lo baca? Tapi nggak mungkin belum lo baca, deh. Buktinya lo sekarang datang kemari sesuai instruksi gue di surat," katanya sesuai fakta.

Gue cuma tersenyum kikuk.

Kemudian dia menarik gue mendekat, merapatkan tubuh gue ke tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari gue.

Astaga. Jantung gue berdebar kencang sampai gue yakin Kak Vernan pun bisa turut merasakan detakkannya.

"Kalau lagi malu-malu gini lo beneran keliatan manis, Rik," gombalannya sukses bikin muka gue memanas. "Gue beneran suka sama lo. Maaf karena gue baru ngungkapin ini sekarang," terusnya yang sesudah itu mulai menunduk, mendekatkan mulutnya ke bibir gue perlahan-lahan.

Namun, gue menahannya. "Sebentar, Kak," kata gue seraya menutup mulutnya dengan sebelah tangan, "T-tadi pagi lo bilang bahwa lo dapat kado dari kak Gia, dan dia adalah gebetan lo. Terus, sekarang kok mendadak jadi gini? M-maksudnya ... ya, gue bingung," papar gue sedikit tergagap saking gugup.

Padahal tadi bibir gue dan bibir kak Vernan nyaris menyatu. Tapi, penjelasan lebih penting ketimbang nafsu. Kalau ternyata gue dimainin doang gimana? Kan itu justru lebih sakit.

Kak Vernan terkekeh. "Udah jelas gue bohong 'kan soal Gia," itu pernyataan, bukan pertanyaan. "Satu-satunya orang yang gue suka di sekolah ini adalah elo, Falrik Ariaseto. Gak ada yang lain. Gue pakai nama Gia cuma supaya elo beneran mau nurutin saran gue buat meriksa kado satu per satu," lanjutnya menjelaskan.

Gue meringis. Merasa bersyukur karena membiarkan Bobby mengacak-acak isi plastik di kelas tadi.

"Sekarang, udah gak bingung, 'kan? Gue ... udah boleh nyium elo, 'kan? Gue beneran gemas dan udah gak tahan," bisiknya.

Kali ini, gue tersenyum lebar. Memberikan Kak Vernan anggukkan kepala. Lalu membawa mulutnya mendekat untuk menyatu dengan kedua bibir gue.

Ini jelas bukan ciuman pertama gue. Kak Vernan ini juga bukan cinta pertama gue. Akan tetapi, gue happy. Di hari Valentine ini, gue mendapatkan kado yang lebih berharga dari duit Rp. 100.000 yang gue harapkan. Seenggaknya, kado ini nggak cuma bakalan bisa membawa gue ke KFC, pun sekaligus masa-masa berarti. Karena akhirnya, gue sudah nggak jomblo lagi.

"Oh ya, Kak. Gue lupa bilang."

"Hm, kenapa?"

"Gue juga cinta sama Kak Vernan."

"Gue tau, kok. Sekarang diem. Gue mau nyium lo lagi."


--End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top