Hukuman

Saat mendengar kabar kematian Argani lewat telepon, aku tertawa keras. Sukses membuat Danang geram, lalu membentakku.

"LAN! LO APA-APAAN, HAH? LO SENENG TAU GANI MATI SEKARANG?!"

Aku tercekat. Telepon dalam genggaman jatuh bersamaan dengan jatuhnya air mataku. Aku membenturkan kepala ke dinding dingin di hadapanku, meringis meredam jerit isak tangis yang siap meledak.

Lebih dua bulan Argani bertahan dalam komanya. Selama itu aku tidak henti-hentinya menyuarakan doa dalam sunyi siksa kasatku. Mengharap kesembuhan serta kesadarannya. Tapi hari ini, masa di mana akhir hayatnya menjemput pun tiba. Siapa yang bersalah di sini? Hanya ada satu orang, yaitu Alano Burahnata. Aku.

Kalau saja aku tidak mendorongnya ke kolam dan membuat kepalanya terbentur marmer berlapis beton, saat ini Argani pasti masih ada di sisiku. Masih ada untuk mencintaiku. Masih ada demi meringankan bebanku dalam kehampaan mencekam ini.

"Lan?"

Aku menoleh pada Rafa. Adik tiri Argani, satu dari sekian banyak orang yang mengetahui kebenaran kami. Serta pencetus ajuan keberatan atas percobaan penahananku.

Aku memungut telepon genggam miliknya. Menyerahkannya, mengeluarkan tangan kananku dari celah jeruji besi. "Maaf, Raf."

Rafa memberiku sorot sakit. "Aku tau ini bukan salah kamu, Lan," dia menghela napas. "Harusnya aku yang minta maaf. Aku gak bisa bantu kamu," ujarnya.

Aku menggeleng. "Ini emang salahku. Tolong titipin setangkai bunga matahari buatnya, ya. Tancapkan persis di samping nisannya," pintaku.

"Jam besuk Anda telah habis. Harap segera keluar!"

Rafa mendesah kecewa. "Jaga diri baik-baik, ya. Aku akan bela kamu di persidangan nanti, Lan," ucapnya sebelum berbalik. Meninggalkan aku sendirian dalam kungkungan penjara ini.

Aku menjatuhkan tubuh ke lantai semen yang seolah beku. Kali ini menyuarakan doa, semoga aku mendapatkan hukuman mati. Supaya Argani tidak juga sendirian dalam dunianya yang baru, di mana raganya kini berada.

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top