Guilty

"Aku... semalem diperkosa sama Ayah, Fer."

Mendengar itu, gue gak terkejut sama sekali. Jadi gue gak komentar apa-apa. Membiarkan Niko terus-terusan menunduk, kelihatan bersalah. Lagian, apa gunanya buat gue kalau mesti peduli tentang aduannya itu? Dia itu kan pelacur, udah sepantasnya dia dijamah oleh puluhan orang. Termasuk Ayahnya sendiri. Lebih tepatnya, Bapak tirinya. Yang gue tahu tiap kali gue sama Niko lagi cipokkan dan Ayah Niko memergoki kami, dia cuma bakalan senyum sambil melempari anak tirinya tatapan penuh nafsu. Tatapan yang menurut gue menjijikkan, dan udah sepantasnya Niko dapatkan. Dia cuma fuck buddy gue, jadi masa bodo sama siapa aja yang mau ngentot dia.

"Fer, aku gak kuat tinggal sama Ayah. Aku capek kalo mesti ngelayanin dia terus, badan aku sakit semua," lanjutnya menggunakan suara lebih pelan.

Gue memutar-mutar sedotan yang berada di dalam orange summer pesanan gue. Mengembuskan napas lelah. "Terus, lo mau minta apa dari gue?" gue akhirnya bertanya, agak merasa jengkel juga padanya.

Maksud gue, itu sudah risiko untuknya. Setiap kali ingin pantatnya didobrak, Niko akan membawa rekan bercintanya ke rumah, lalu kemudian bergumul di sembarang tempat. Kadang di dapur, di ruang tamu, di kamar mandi, di ruang makan. Bagaimana Ayahnya nggak memergokinya dan turut terpancing nafsu padanya, kan? Mana setiap mendesah suaranya sangat keras. Dasar jalang!

"Aku... mau tinggal sama kamu."

Gerakan tangan gue terhenti, gue mendelik ke arahnya yang masih terlihat menunduk. "Dan ngebiarin lo ngejadiin apartemen gue tempat baru lo buat melaknat? Cih. Mendingan lo dientot selamanya sama Ayah lo!" komentar gue sinis, nggak mengacuhkan reaksinya sama sekali nanti.

"A-aku janji setelah tinggal sama kamu... a-aku cuma bakal ngelayanin kam--"

"Bullshit, Niko!" sela gue cepat. Niko bungkam. "Gue tau itu cuma omong kosong. Lo itu cuma mau manfaatin gue. Gue tau," desis gue melanjutkan.

Niko tampak meneguk ludah. Bersiap membuka suaranya lagi, tapi nggak ada kata-kata yang terucap olehnya.

Gue memutar bola mata, setelah itu memanggil pelayan untuk meminta total pesanan yang mesti gue bayar. "Mendingan setelah ini kita gak perlu ketemu lagi, Nik. Gue bosen juga ngentot pantat lo, udah busuk saking terlalu banyaknya kontol yang pernah bersarang di sana!" ujar gue sebelum benar-benar beranjak dari posisi gue. Meninggalkan Niko sendirian.

Terserah dia mau ngapain di sana, yang penting, gue dan dia sudah berakhir. End. Final.

***

Gue hampir-hampir membanting iPhone 6 kepunyaan gue saking jengkelnya gue sama diri gue sendiri. Apa ini gila? Setelah gue mengatakan pada Niko bahwa gue minta supaya kami gak ketemu lagi, tapi yang ada justru gue yang kangen sama dia. Astaga! Ini benar-benar gak beres.

Sudah lebih dari empat jam berlalu semenjak waktu pertemuan gue yang terakhir dengan Niko, dan gue gak bisa berhenti mikirin dia. Niko mungkin cuma fuck buddy, tapi gue akui, meski jalang dan sangat laknat... dia itu cowok yang baik. Sangat baik malah. Setahu gue, dia terlahir dari keluarga sederhana yang diisi oleh orang-orang kurang waras yang membatasi segala apa yang dia inginkan. Yang membuat Niko menjadi frustrasi dan melampiaskannya pada seks bebas. Apalagi setelah kematian Ibundanya, Niko makin menjadi. Yang tadinya cuma gue seorang fuck buddy-nya, jadi seminggu bisa sampai 3 kali dia berganti pasangan ngentot. Bikin gue agak-agak sebel ke dia. Tapi nggak berarti gue naruh perasaan ya ke dia. Gila aja.

Akhirnya gue memutuskan untuk menghubungi Niko. Menelepon nomor hapenya. Sepuluh detik pertama, nggak ada jawaban. Sampai kemudian, panggilan gue diterima dan...

"Ha--aaaah... Halo?"

Suaranya kok kedengaran serak dan lemas. Lalu suara desahan dan erangan terdengar dari sana. Membuat gue meremas iPhone yang gue pegang kuat-kuat.

"Dasar pelacur jalang! Anjing! Gue nyesel udah khawatir sama lo!" teriak gue penuh murka buatnya. Masa bodo mau dia dengar apa nggak.

Gue melempar kasar iPhone gue ke atas meja, yang malah kebablasan dan jadi jatuh ke lantai. Peduli amat! Gue sekarang beneran dibikin jengkel sama cowok bangsat itu! Laganya aja tadi mellow dan minta belas kasihan, sekali gue hubungin, dia malah lagi ngentot. Cowok sialan!

Gue mengacak-acak rambut gue sendiri saking gusarnya. Baru memejamkan mata saat mendengar bel kamar gue ada yang menekan. Gue berdecak, sedikit ogah-ogahan bangun dari duduk gue menuju ke pintu depan.

"Ha-hai, Fer..."

Mata gue melotot mendapati keberadaan Niko di depan pintu apartemen ini. Gue seketika kebingungan. Bukannya dia tadi lagi ngentot, ya? Kok sekarang bisa ada di sini?

Niko tampak ketakutan. Langkahnya mundur sekali. "Maaf, Fer. Kamu gak suka ya aku dateng ke sini? Kalo gitu aku pergi lagi aja," katanya, bersiap berbalik.

Gue sigap nangkap pergelangan tangannya. Memberinya gelengan sewaktu Niko natap gue. "Ayo, masuk," suruh gue sambil menyeret dia ke dalam.

Setelah itu pintu apartemen gue tutup dan kunci lagi.

"Kenapa lo bisa ada di sini?" tanya gue langsung.

"Emm, maaf, Fer... A-aku..."

"Bukannya lo tadi lagi ngentot?"

Mendengar itu, Niko membulatkan mata sipitnya yang imut. "Ngentot? Sama siapa?" dia malah balik bertanya.

Gue memiringkan kepala. "Ya, itu. Tadi gue ngehubungin nomor lo, dan pas diangkat, gue ngedenger suara desahan. Itu lo kan? Lagi dientot lagi." gue memaparkan sejelas mungkin.

Cowok pendek di hadapan gue ini menggeleng. Sedikit, gue bisa melihat dia lagi menahan tawa. "Aku belum ngentot sama siapa-siapa hari ini, Fer. Emm, hape aku emang sengaja aku jual. Lumayan, laku 700.000, jadi aku bisa nyewa kosan, sementara aku kerja dan gak lagi tinggal di rumah," ujarnya menjelaskan. Yang kontan saja menimbulkan perasaan bersalah di diri gue.

"Lo... beneran gak mau tinggal lagi di rumah lo?"

Niko menggeleng mantap.

"Kosannya lo udah nemu?"

Niko menggeleng untuk yang kedua kali, lebih lemah.

Gue meneguk ludah, tangan gue terkepal. "L-lo... masih mau tinggal sama gue?" tanya gue akhirnya.

Niko diam. Gak memberi gelengan, nggak juga anggukkan. Yang ada, dia justru menangis. Gue baru mau menanyainya kenapa, saat Niko langsung saja menghambur ke pelukan gue. Terisak-isak sambil mencengkeram kaus gue.

"Aku cinta sama kamu, Feronald! Aku mau tinggal sama kamu, ada di sisi kamu, gak cuma jadi fuck buddy, tapi sebagai pacar! Aku selalu sengaja mancing kamu, ceritain segala pengalaman aku sama partner seks aku supaya kamu cemburu, tapi yang ada kamu malah keliatan gak peduli. Aku mesti gimana? Kalo kamu terus perhatian kayak gini, aku gak akan bisa move on. Aku bakalan terus sayang ke kamu, Fer..."

Mendengar seluruh ungkapan darinya itu, seolah-olah ada sebuah gebrakan yang mendorong gue untuk memeluk tubuh rapuh Niko. Mendekapnya, mengelus punggungnya, mencoba menenangkannya. Dan yang terjadi selanjutnya, mengejutkan. Karena gue jadi ikut menangis bersamanya. Sebab, gue baru menyadarinya, bahwa Niko selama ini menghancurkan harga diri dan tubuhnya itu cuma demi menarik perhatian gue. Tapi yang ada, gue justru terus menerus memojokkan dan menghinanya.

"Maafin gue, Nik," ucap gue, berbisik ke telinga Niko.

"Aku janji, Fer. Kalo kamu bisa jadiin aku milik kamu, aku bakalan setia. Aku janji."

Dan yang gue lakukan setelah itu adalah mencium bibir Niko. Menggiringnya ke kamar gue sambil terus beradu mulut bersamanya. Begitu badan gue sudah menindihnya, Niko berbisik lembut. Yang terdengar berkali lipat lebih menggoda dan menggairahkan dari segala rekaman suara desahannya dalam memori gue...

"Aku cinta kamu, Feronald. I love you. Sentuh aku pake cinta kamu."

Dan gue bertindak sesuai kemauannya. Gue akan menyentuhnya dengan cinta. Persetan dengan status fuck buddy. Bagi gue, sekarang dia milik gue seutuhnya.

--end

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top