Damn!
Jadi, hari ini aku resmi didaftar masukkan ke G'Academy oleh kedua papa-papaku. Katanya, sebagai seorang vers, aku harus menentukan posisi yang tepat bagi diriku tanpa harus mengambil kedua perannya. Maksudku, Papa Qi dan Papa Yow benar-benar bersikukuh, tidak terima putra semata wayang hasil adopsi mereka sebelas tahun lalu ini menyandang predikat vers dalam dirinya.
"Huft ...."
Namun, aku tidak menyesal. Sejujurnya aku justru senang berada di sekolah ini. Tahu kenapa? Karena para murid G yang lainnya sangat-sangat manis, tampan dan mempesona. Tapi, ketika mendapati dua orang G yang saling bermesraan tanpa tahu malu di depanku, aku langsung tersenyum kecut. Bukan karena iri, tapi aku berpikir, kenapa bukan aku saja yang berciuman dengan mereka?
Aku menghentikan langkah, menilik jam tangan dan menyadari kalau ternyata sudah selama tiga jam aku berkeliling menikmati wajah para G lain di sekolah ini. Sayangnya, aku belum mendapatkan satu kenalan pun.
"Rick, oper padaku!"
Bulu kudukku meremang mendengar suara lembut nan menggairahkan yang tak jauh dari sisi kiriku. Sontak aku menoleh dan mulutku pun menganga.
"Oh ... My ... God ...." aku berujar pelan dan penuh penekanan. Meneguk liurku susah payah menyaksikan pemandangan menggairahkan di depan mataku saat ini.
Di sana, di lapangan basket, ada enam laki-laki yang sedang bersenda gurau, saling melemparkan bola basket yang menggelinding di sekeliling mereka. Akan tetapi, fokusku hanya terarah pada satu sosok tinggi yang suaranya paling lantang di antara yang lain. Suaranya yang selalu membuatku bergidik geli tersengat gairah, membayangkan desah erangnya jika kami berdua bercinta. Lihat keringat yang mengucur membasahi lehernya, aku sungguh ingin menjilatnya.
"Kau bisa tutup mulutmu itu?"
Mendengar suara yang mendadak terdengar dari sampingku, aku cuma melirik sambil mengatupkan mulut. Mendapati lelaki seumuranku tengah mengernyit menatapku.
"Kau sangat menyukai mereka, huh?" tanyanya seraya menunjuk lapangan menggunakan dagu lancipnya. Aku tersenyum kaku.
"Sebenarnya aku hanya menyukai salah satu dari mereka. Suaranya benar-benar menggairahkan," ujarku menanggapinya.
Kedua alisnya terkekuk, nyaris menyatu. "Siapa maksudmu?"
"Dia ..." aku menunjuk si lelaki tinggi yang kini tengah tertawa. Aku melenguh penuh damba. "Aku benar-benar ingin mendengar namaku dijeritkannya saat kami bercinta," aku tersenyum cerah, lalu menatapnya yang kini memasang paras tanpa ekspresi. "Oh, ya, maaf. Kenalkan, aku Reyd."
"Namaku Zedd." kedua tangan kami berjabatan sebentar. "Kau murid baru, kan?" tanyanya seraya tersenyum tipis.
Aku mengangguk. "Benar. Dan apakah kau mengenai lelaki itu?" tanyaku balik padanya, sebab yakin dia sepertinya sudah lama berada di sekolah ini.
Pandangannya terarah seperkian detik ke lapangan. "Aku ...." jawabannya terjeda begitu satu bola basket menggelinding di bawah kaki kami. Aku melihat ke depan dan terkesiap mengetahui lelaki idamanku sedang berlari kecil kemari.
Zedd merunduk memungut bola basket itu dan tegak kembali tepat di saat lelaki-ku tiba di hadapan kami. Aku megap-megap, mataku berbinar. Lelaki itu tersenyum menatap antara aku dan Zedd bergantian, dan tanpa berkata apa-apa, bola yang ada dipegangan Zedd direbutnya.
"Kau mau menontonku?" tanyanya antusias ke arah Zedd. Aku mengernyit kurang suka, merasa diabaikan.
Zedd tersenyum, tangannya terangkat untuk mengacak rambut sosok yang beberapa sentimeter lebih tinggi di hadapan kami ini. "Iya. Berapa lama lagi pertandingannya akan dimulai?" dan semakin mengernyit mendengar nada suara Zedd yang melembut.
Lelaki ini menggumam, berpikir. "Mungkin lima belas menit lagi," jawabnya dibarengi senyum sumringah. Aku meleleh. Dan karena sudah tidak sabar ingin menebarkan aura penuh geloraku, akhirnya aku berdeham.
Lelaki itu melirikku. "Apa kau teman baru Zedd?" tanyanya ramah. "Kenalkan..." tangannya terulur. "Namaku Zion," katanya sambil tersenyum.
Aku langsung membalas uluran tangannya, mengusapnya dengan niat menggoda. Membuat ekspresi Zion berubah heran. "Namaku Reyd," balasku. Dengan cepat Zion melepaskan tanganku, matanya bergerak-gerak gelisah, melirik aneh ke arah Zedd. Aku menekuk wajah, tidak menyukai reaksinya itu.
"Emm, Zedd... Aku ... mau kembali ke lapangan, ya?" dan tanpa menunggu jawaban, dengan cepat Zion berbalik. Meninggalkan aku yang masih ingin mengenalnya lebih jauh. Zedd berdeham, aku menatapnya. "Kau kenapa?"
"Posisimu?" tanyanya tiba-tiba. Aku mengernyit sebelum menjawab.
"Vers. Kau?"
"Aku top," Aku tersentak mendengarnya. "Dan Zion adalah bot-ku." seketika saja, aku bak dihancurkan berkeping-keping oleh pernyataannya. "Jadi, aku harap, kau jaga matamu dan tindakanmu. Aku tidak suka kau menggodanya, karena Zion milikku." selesai berujar demikian, Zedd berlalu meninggalkanku yang masih tercengang.
Tanpa terasa, wajahku sudah saja panas. Sungguh, aku belum pernah merasa semalu ini seumur hidupku. Sial.
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top