Christmas Wish.

Aku mendongak, menatap butiran-butiran salju yang berjatuhan dari langit malam. Satu tangan kukeluarkan dari kantung mantel, menengadah, membiarkan sedikit tetesnya jatuh di atas telapak tangan.

Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

"Salju tahun ini sepertinya masih sedingin salju tahun lalu, Evan," lirihku. Aku menoleh ke dalam, ke arah ranjang yang telah ditempati Evan selama kurang lebih lima bulanan ini tanpa adanya kesadaran darinya. "Tidak kah... kau juga ingin mengetahui rasa dinginnya?" tanyaku parau.

Bahkan dari dekat saja Evan tak pernah mampu mendengar setiap tutur kataku. Bagaimana dia bisa mendengarku dari luar kamar rawatnya ini? Apa aku masih boleh berharap? Sampai kapan aku diizinkan menantikan kesadarannya?

Aku memutuskan untuk kembali masuk. Berjalan ke sisi ranjangnya, menyentuh pipi Evan yang pasti terasa hangat menggunakan tangan dinginku.

"Apa kau bisa merasakan dinginnya, Evan?"

Evan bergeming. Matanya masih terpejam. Jemarinya tak memperlihatkan pergerakan sedikit pun. Tak ada reaksi. Seperti yang biasa aku hadapi sehari-hari, sejak dia koma.

Aku menjauhkan tangan dari pipi Evan. Jika ingin menuruti hasrat, aku sangat mau memeluk dan berbaring di sisinya. Tetapi...

"Astaga! Kau ini benar-benar, ya. Bukan kah kado natal itu terlalu besar untuk Evan?"

Aku melihat Ellen dan Roy datang dari arah pintu depan ruang rawat Evan. Ellen sibuk mengolemi Roy yang tampaknya membawakan Evan kado yang ukurannya cukup membuat kamar ini jadi bertambah sempit.

Roy meletakkan kadonya di sisi ranjang sebelah lagi. "Kau kan tahu, adik kita ini tidak menyukai kado yang terlalu sederhana," katanya santai lalu terkekeh.

Ellen mendengus. "Tidak sederhana bukan berarti harus berlebihan kan?" komentarnya sinis.

Aku setuju pada Ellen. Aku pernah memberikan Evan sebuah jam tangan di hari ulang tahunnya dulu, dan kupikir dia cukup senang. Lagi pula akan sulit buatku membawa kado sebesar yang Roy punyai.

Ellen berjalan ke arah jendela, melirik ke luar dan tersenyum sendu. "Salju turun semakin lebat. Sayang sekali Evan melewatkan natal tahun ini," ucapnya bagai bisikan.

Roy memandangi wajah Evan tanpa ekspresi yang tak mampu kubaca. Ia menunduk, matanya terpejam. "Raymon lebih malang lagi."

Lagi-lagi namaku disebut.

Ellen kembali berjalan mendekati ranjang, menembus keberadaanku begitu saja, lantas menggenggam tangan Evan dengan erat. "Aku pikir, secinta apapun Evan pada natal, tetap tak akan mampu mengurangi kesedihannya bila dia tahu bahwa Raymon sudah tak ada lagi di dunia ini bersamanya."

Aku mundur. Menggeleng-geleng tidak terima. Aku memang sudah tak ada di dunia ini, tetapi aku masih bisa berada di dekat Evan sepanjang waktu. Sejak dia koma, aku selalu menemaninya, menantikan kesadarannya, mengharapkan kesembuhannya. Supaya aku bisa benar-benar pergi dengan tenang tanpa ada rasa takut membayangiku. Satu perasaan bersalah yang menjadi alasanku tetap di sini.

Aku hanya ingin Evan sadar untuk menebusnya.

Aku mencintai Evan. Salah satu hal yang kusyukuri adalah karena dia tidak ikut pergi menjemput ajal bersamaku dalam kecelakaan saat itu. Meski aku tahu Evan berusaha menyelamatkan dan melindungiku. Namun tetap, aku tak seberuntung dirinya.

"Jadi sadarlah, Evan. Jangan membuat keberuntungan yang kau dapatkan sia-sia."

Memangnya ada yang bisa mendengarku? Andaikan aku bisa meminta Santa mengembalikan jiwa Evan di mana pun dia berada sebagai hadiah natal tahun ini.

---END--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top