Calon Mantu Untuk Keluarga

Idul Fitri, satu hari dari ratusan masa lainnya yang paling aku enggani untuk dijalani. Alasannya sederhana, karena aku bosan ditanyai hal-hal yang tidak penting perihal kehidupanku. Sudah lulus sekolah, ditanyai kapan kuliah. Selesai kuliah, dirongrong perihal secepatnya mencari kerja. Begitu sudah bekerja, pertanyaan paling menohok diajukan; kapan menikah?

Pertanyaan paling terakhir itu adalah jenis tanya yang paling sulit untuk aku jawab. Bukannya apa-apa. Jangankah untuk menikah, punya calon menantu yang dibawa ke hadapan keluarga saja aku tak punya.

Ingin tahu kenapa?

Begini, ya. Jelas sekali Mama, Papa hingga Uyut mengharapkan aku supaya segera memiliki seorang istri. Sedangkan aku sama sekali tidak bisa menyukai lawan jenis. Bisa menebak jalur permasalahan ini larinya ke mana?

Aku menghela napas lesu. Melirik malas ke arah Mama yang tengah sibuk berfoto bersama kawan-kawan di kampung halamannya ini. Setelah bertahun-tahun, baru kali ini kami pulang ke Medan lagi. Dikarenakan Mama seorang yatim piatu dan anggota keluarga di kota ini tak sebanyak keluarga Papa, seringnya kami tetap tinggal di Jakarta menunggu keluarga lain yang datang berkunjung. Tetapi, kali ini berbeda. Mama bilang, dia rindu suasana kampung halaman. Makanya, mau tidak mau aku dan Papa menuruti kemauan Mama. Dengan syarat, dua hari setelah lebaran kami harus sudah tiba di Jakarta lagi. Meskipun aku tak keberatan berlama-lama di sini mengingat ada seseorang yang sangat ingin kutemui yang kebetulan pulang ke Medan juga tahun ini.

"Farel!"

Mendengar namaku dipanggil, aku langsung berdiri dari kursi di teras lalu menghampiri Mama. "Iya, Ma?"

Mama menyerahkan sebuah ponsel pintar yang tampak mulus sekali. Masih baru. Punya siapa ini?

"Fotoin Mama sama temen-temen Mama, ya. Yang cakep."

Ya Allah. Dasar ibu-ibu zaman now.

Aku tersenyum kecut sambil mengangguk malas menanggapi permintaan Mama. Perlahan mundur ke belakang, berusaha mengambil posisi yang enak untuk menangkap gambar rombongan Ibu-ibu yang sudah menunjukkan pose sok kalem.

"Satu, dua, tiga!"

Selesai gambar tertangkap, mereka semua seketika menyerbu demi mengintip hasil bidikanku. Dan banyak yang suka. Tapi saat diminta memfotokan lagi, aku menolak dengan alasan ingin pergi melihat-lihat kampung tempat Mama dibesarkan. Dan bersyukur Papa keluar dari dalam rumah setelahnya. Sangat membantu proses pelarian yang berniat kulakukan.

Ketika tengah berjongkok di sisi pagar rumah sambil memainkan ponsel. Mendadak saja seseorang tampak berdiri di depanku. Saat mendongak untuk melihat siapa orangnya. Kontan saja aku berdiri dengan wajah berseri-seri.

"Yuda!" Aku refleks menarik sosok pemuda manis ini ke dalam pelukan. Namun, seolah menyadari situasi, dia buru-buru mendorong dadaku menjauh.

"Malu, Rel. Norak elo, ah!"

Mendengar cibirannya yang disertai paras merona, membuat aku semakin merasa gemas. Memperhatikan penampilannya dari ujung kaki hingga kepala. Dia lebih sedap dipandang menggunakan kedua mataku langsung.

Dia adalah sosok pacar yang kutemukan lewat jejaring media sosial. Berawal dari komen-komenan di sebuah grup komunitas gay yang membahas mengenai tanah kelahiran, lalu tanpa sengaja aku membaca komentarnya yang ternyata lahir di kota yang serupa denganku. Akan tetapi, dibesarkan kemudian di kota berbeda. Berpikir bahwa nasib kami serupa, aku iseng mengajaknya berkenalan. Dan siapa sangka ternyata kami cocok?

Setelah menjalani hubungan selama kurang lebih lima bulan, akhirnya kami bisa bertemu hari ini. Dan tentu saja, aku merasa bahagia. Sebenarnya kami merencanakan pertemuan sejak semalam. Berhubung aku tak hapal jalan dan Yuda lebih tahu arah menuju ke rumah, jadilah aku yang menunggu kedatangannya.

Yuda terlihat risih dengan tatapanku. "Udah, Rel. Jangan liatin gue begitu."

Aku tertawa. Mencubit gemas pipi Yuda yang putih. "Kan gue seneng akhirnya kita bisa ketemu."

Yuda tersenyum kecil. "Iya, sih." Lalu dia tampak melongok ke halaman rumahku. "Ini rumah elo, ya. Rame."

Mendengar komentar itu aku tertawa. "Biasalah. Ibu-ibu. Mau masuk? Yuk. Nanti gue kenalin elo sebagai calon mantu ke Mama Papa."

Yuda sigap menyikut pinggangku. "Rese lo, ah. Jangan tambah bikin nervous."

Pengakuan itu membuatku semakin ingin menggodanya. "Cieee, yang nervous. Gimana kalau udah mulai gue ajak mojok?"

Yuda melotot. "Farel!"

Bentakannya imut sekali.

Aku merangkulnya dengan gerakan senormal mungkin. Lantas mulai membawanya ke rumah. Selesai berkenalan dengan Mama dan Papa serta Ibu-ibu lain, Yuda segera aku ajak masuk ke kamar. Dan setibanya di dalam, tanpa dapat ditahan aku langsung saja melancarkan ciuman. Yang untungnya diterima Yuda dengan sepenuh hati. Bahkan kedua tangannya melingkar memeluk pinggangku.

Selesai dengan ciuman, ragu-ragu aku menyusupkan tangan ke dalam kemeja lebaran yang Yuda kenakan. "Mau gue bikin hamil, nggak?"

Tawaranku dihadiahi pukulan pelan di pantat. "Sialan. Baru juga ketemu udah mau dihamilin aja." Yuda mengatakan hal itu dengan wajah merona hebat.

Aku berbisik, "Makin cepet lo hamil, makin cepat lo bisa gue nikahin."

Yuda mendesah sebab kini aku menggesekkan kedua selangkangan kami perlahan.

"Asalkan Om dan Tante nggak mergokin, gue gak keberatan, sih."

Aku tersenyum. Sungguh bahagia bisa memiliki sosok calon menantu untuk keluargaku seperti dirinya. Meskipun aku yakin, hubungan kami tak mungkin dapat diterima. Tapi, biarlah aku menjalaninya dulu. Urusan kapan nikahnya, aku pikirkan kapan-kapan lagi.

"Bentar, tapi elo ada kondom, 'kan?"

"Masa mau ngehamilin pake kondom. Nanti gak masuk dong benihnya?"

"Ya ampun, Rel. Ternyata bener ya, elo tuh lebih mesum dan bejad aslinya."

---TAMAT---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top