Bukan Sebuah Kesalahan...

Aku nggak tahu mesti berkata apa. Di depanku, Tika masih memandangku dengan tatapan memelas, minta maaf, merasa bersalah, menyesal. Sedangkan degup jantungku temponya mulai bertambah cepat, yang sedikit demi sedikit, menimbulkan sengatan menyakitkan yang membuatku meringis, memejamkan mata menahan nyeri.

Astaga, apa sungguhan yang barusan aku dengar?

"Ma-maafin aku, Yo. Aku beneran nggak bermaksud ngasih tau Gilang soal kamu. Aku cuma... keceplosan dan Gilang... Aku..."

Tika terdengar kesulitan mengungkapkan penjelasan. Dan aku memberinya gelengan. Ingin saja membentak dan mengutuk kecerobohannya,tetapi aku nggak sanggup. Lidahku kelu. Aku seolah mendadak gagu.

"Aryo, aku--"

"Cu-cukup, Tik," ucapku akhirnya dengan agak susah payah. Aku meneguk ludah, menggeleng lebih tegas dari sebelumnya. "Mau kamu minta maaf segimana pun, itu nggak akan ngubah kenyataan tentang Gilang yang udah tau kalo aku suka sama dia," paparku menggunakan nada lemah. Aku merasa ditelanjangi secara nggak langsung.

Kenapa Tika tega?

Tika memegangi tanganku, yang segera aku tepis kasar. Nggak mempedulikan fakta bahwa sahabatku ini adalah seorang cewek. Toh, aku aja nggak yakin, masih bisakah Tika disebut sahabatku?

"Yo, aku kemarin beneran keceplosan. Aku cuma niat ngebantu kamu tapi--"

"Sejak kapan aku butuh bantuan kamu buat bikin Gilang tau perasaanku ke dia?!" potongku geram, sedikit membentaknya.

Tika agak terperanjat, badannya kelihatan gemetar. "A-aku cuma mau kamu bahagia, Yo." mendengar itu, emosiku makin tersulut.

"Mau bikin aku bahagia? Yang ada kamu bikin aku malu, Tik! Aku malu!" kataku lantang.

Tika menunduk, jemari tangannya saling meremas. "Ma-maaf, Yo," ucapnya parau.

Aku menghela napas. "Harusnya, Tik, pas Gilang nanyain siapa orangnya, kamu gak perlu nyebutin namaku!" sergahku, mulai terengah-engah. "Kamu tau aku dan dia deket, aku nyembunyiin perasaan ini sedapat mungkin dari dia, tapi dengan entengnya kamu malah ngejatuhin harga diri aku di depannya. Sahabat macam apa kamu, Tik? Dan kamu makek--"

"Aku kira Gilang juga punya rasa yang sama ke kamu dan--"

"Dan itu nggak berarti kamu berhak mencampuri urusan perasaan orang lain, Tik!" seruku menyela sanggahannya. Aku menghela nafas, menghembuskannya lagi, terus begitu berulang-ulang. "Sekarang, Gilang pasti benci sama aku, Tik. Dia jijik ke aku. Dia bakalan ngejauhin aku," tuturku putus asa.

Nyatanya, sejak siang tadi di kampus Gilang memang mulai menjaga jarak dariku. Awalnya, aku pikir dia mungkin memang sedang ingin sendiri. Tetapi ketika aku menceritakan hal itu pada Tika, dia memberitahuku hal yang sangat-sangat diluar dugaan. Ternyata, kemarin Tika dan Gilang nggak sengaja bertemu. Semula mereka mengobrol kesana-kemari, sampai akhirnya Tika bertanya pada Gilang apakah cowok itu sudah punya pacar atau belum. Gilang menjawab, dia sedang nggak punya pacar. Tika makin menjadi dengan bilang kalau ada seseorang yang suka ke Gilang bagaimana. Gilang membalas, ya nggak apa-apa kalau ada yang suka padanya. Tika bertanya lagi, apakah nggak apa-apa juga kalau yang menyukai Gilang seorang cowok. Gilang balas menanyai, memang siapa cowok yang suka ke dia. Dan saat secara gamblang Tika menyebutkan namaku, Aryo Subagja, Gilang langsung saja pergi dari sana. Tanpa berkomentar apa-apa. Yakin sekali, dia pasti jengah.

Astaga. Bagaimana aku harus menghadapi Gilang mulai hari ini? Aku heran, kenapa bisa Tika segampang itu membeberkan rahasia terbesarku? Tentang aku yang gay, yang menyukai Gilang. Padahal cuma Tika lah orang yang aku percayai. Hanya dia yang mengetahui perihal ini semua. Sekali lagi, kenapa bisa dia melakukannya?

"Maaf banget, Yo. Aku nggak pernah nyangka kalo ternyata... aku salah."

"Harusnya kamu mikirin itu sejak sebelum mulai nanya yang macam-macam ke Gilang, Tik." aku menjambak rambutku sendiri. "Udahlah. Mending sekarang kamu pulang, aku mau sendiri," kataku mengusir. Aku berjalan ke arah pintu kosanku, setelah itu membukanya."Silakan keluar, Tik."

"Yo, aku--"

"Keluar," desisku serak.

Tika mengusap tetes air di sudut matanya, kemudian berjalan lunglai menuju ke pintu. Begitu dia sudah berada di luar, aku cepat-cepat menutup pintu dengan cara membantingnya. Supaya Tika sadar, sudah betapa besar rasa kekecewaan yang diciptakannya untukku.

Aku lalu berjongkok. Menutupi wajahku yang terasa panas. Nggak bisa membayangkan bagaimana aku mesti menjalani hari-hariku dari sekarang. Gilang pasti jijik padaku, nggak sudi lagi melihatku. Lagi pula Tika sendiri tahu, dulu Gilang pernah berpacaran dengan seorang cewek yang satu fakultas dengannya, dari mana asalnya dia jadi berpikir kalau Gilang juga menyukaiku? Dasar cewek ceroboh.

Pintu kosanku terdengar diketuk-ketuk dari luar. Dan aku mendengus. Ya ampun, maunya Tika apa lagi, sih?

"Tik, please... Tinggalin aku sendirian. Aku nggak mau ngomong apa-apa lagi sama kamu!" teriakku dari dalam sini.

Suara ketukan nggak terdengar lagi. Aku mengembuskan napas lega. Tapi yang ada, pintu di depanku ini justru terbuka dari luar. Astaga. Dasar nggak tahu diri.

Aku berdiri, berniat menyemburkan makian dan protesku pada Tika. Namun, yang kudapati di ambang pintu ternyata bukan Tika, melainkan... Gilang.

Ya Tuhan, apa lagi kenyataan pahit yang mesti kuhadapi sekarang?

Aku meneguk ludah. Sorot penuh amarahku berubah takut. Gilang menatapku tajam. Aku menunduk, nggak berani membalas tatapannya.

"Boleh aku masuk, Yo?"

Aku mengangguk, mundur perlahan membiarkan Gilang masuk ke dalam kamar kosanku dan menutup pintu sesudahnya.

Hening.

Aku lebih dari nggak tahu mesti berkata apa. Maksudku, ini cowok yang aku sukai lho yang sedang berdiri di depanku. Cowok yang aku sukai dan dia sudah mengetahui tentang aku yang juga seorang cowok ternyata punya rasa suka untuknya. Bagaimana aku bisa bersikap biasa-biasa saja padanya, hah? Seseorang, bantu aku.

Ck. Kalau nggak ingat aku sedang marah ke Tika, mau saja aku menghubunginya sekarang. Aku kan...

"Tadi aku liat Tika nangis habis keluar dari sini," Gilang membuka suaranya yang nge-bass, membuyarkan segala isi pemikiranku yang meresahkan. "Dia kamu apain, Yo?" tanyanya sambil dengan tenang menatapku.

Kemana tatapan tajamnya tadi? Ataukah aku cuma salah lihat? Dan di antara semua isi pembicaraan, kenapa dia malah membawa-bawa nama Tika ke permukaan?

Aku menggigit bibir, "Kami cuma ribut kecil tadi. Aku... kelepasan ngebentak dia--"

"Kenapa ngebentak segala? Setauku kalian selama ini deket banget. Bisa gitu ribut? Ada masalah apa?" Gilang menyela, menyerangku dengan rentetan pertanyaan yang sangat rumit.

Aku harus menjawabnya bagaimana? Dan aku diam saja saking kesulitannya mencari jawaban. Lebih sulit lagi, mengingat Gilang lah yang sedang berhadapan denganku. Aku kira dia nggak akan mau menemuiku lagi. Tapi sekarang...

"Apa ini gara-gara kemarin?" desis Gilang terdengar samar-samar. "Gara-gara Tika nyebutin nama kamu itu. Iya?"

Dan aku mendelik pada Gilang. Sedangkan cowok ini, terlihat biasa-biasa saja mendapati responsku. Kenapa dia nggak kelihatan nggak senang? Apakah semua dugaanku salah?

Gilang tampak tersenyum. Tiba-tiba satu tanganku diraihnya dan digenggamnya lembut. Aku tercekat. Apa artinya ini?

"Harusnya kamu berterima kasih ke Tika. Berkat dia, aku jadi tau kalau ternyata..." aku deg-degan menunggu kelanjutan kalimatnya. "...cowok yang aku sukai selama ini juga suka sama aku." dan aku terperangah mendengarnya.

Jantungku menghentak sangat kuat, nggak menyakitkan, tetapi justru, melepas segala beban yang menghimpitnya."Kamu serius, Gil?" tanyaku ragu-ragu.

Dan saat Gilang memberikan anggukan meyakinkan, aku menghambur ke pelukannya. Yang membuatku lebih senang lagi, adalah saat Gilang membalas pelukanku di tubuhnya. Aku menghembuskan nafas lega yang cukup panjang.

Terkekeh putus-putus saking masih nggak habis pikirnya."Jadi aku ya yang salah..." kataku sewaktu sosok Tika membayang di kepala.

Gilang membelai bagian belakang kepalaku."Nggak ada yang salah, Yo. Semua mungkin udah harusnya begini..." balasnya yang seketika bikin aku tenang.

"Aku bakal ngomong sama Tika besok," ucapku sambil melepaskan pelukan. Menatap tepat ke mata Gilang yang terang, yang memancarkan indahnya cinta untukku. "Makasih, Gil. Aku nggak nyangka..." tambahku yang lalu menggigit bibir, nggak sanggup berkata banyak-banyak.

Gilang melirik ke bawah, ke bibirku yang sedang kugigit. "Kamu selalu keliatan imut kalo lagi kayak gitu," ujarnya seraya tersenyum.

Aku mengernyit. "Hm?" menelengkan kepala, nggak mengerti maksudnya.

Tetapi ketika Gilang menunduk, sedikit memiringkan kepalanya, membuka celah di antara kedua bibirnya dan mendaratkannya di depan mulutku, semua hal yang nggak aku mengerti itu terjawab sudah. Aku tersenyum tertahan di antara pergulatan bibir dan lidah kami. Hampir setiap malam aku mengkhayalkan seperti apa rasanya saat aku dan Gilang berciuman, dan jawabannya adalah... luar biasa. Ciuman Gilang memabukkan, menggairahkan, membuat satu dari sekian bagian tubuhku yang serasa disengat bangun tanpa permisi.

Gilang menjauhkan wajah, mengakhiri ciuman. Tangannya bergerak mengusap dahi, pipi dan jatuh ke bibirku. Matanya melihat ke bawah, ke tengah-tengah tubuhnya dan tubuhku yang bangkit disebabkan naluri alami. Aku nyengir malu.

"Mau lanjut atau...?" Gilang menggantung pertanyaannya. Dan aku menariknya ke atas ranjang.

Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Toh, sekarang Gilang sudah jadi pacarku, cowokku yang sah. Jadi, biarkan aku dan dia bersenang-senang.

--selesai--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top