As Long as You Happy, My Love

Zelig menyingkap selimut, mengekspos tubuh bagian atasnya yang polos nan dilanda lelah akibat pergumulannya semalam bersama sang Kekasih. Apabila status itu memang masih pantas disandang demikian olehnya.

Mata abu-abunya memandangi sosok yang tengah mematut diri di depan cermin. Kemeja putih polos dirangkap jas hitam mewah. Dasi kupu-kupu. Tatanan rambut yang rapi. Aroma cologne mahal memenuhi ruangan, sekaligus penyebab yang menggugah Zelig dari tidur.

Alfred membalas tatap mata abu-abu melalui cermin. Ia menghela napas, lalu membalikkan badan, berjalan mendekat ke ranjang.

Zelig memalingkan muka, turun dari ranjang, membawa tubuh telanjangnya mendekati jendela yang gordennya terbuka. Seketika hangat menjalari setiap inci kulit putihnya. Menghirup napas dalam-dalam, dirinya tak mampu menguatkan hati jika harus berhadapan langsung dengan Alfred sekarang. Ia pikir memandangi gedung-gedung pencakar langit yang saling menjulang di luar sana memberinya sedikit kekuatan untuk melawan sakit yang melandanya.

"Zel ,..."

Panggilan Alfred diabaikannya dengan sengaja. Zelig tak sanggup. Lebih baik Alfred pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akan lebih bisa diterima andai ketika Zelig membuka mata sosok Alfred tak tertangkap lagi di sekitarnya.

Sepasang tangan dingin menyentuh kedua belah pundak Zelig yang seketika menciptakan gelenyar tak nyaman. Alfred menjatuhkan dagu di sisi kiri pundak sosok terkasihnya dan mendaratkan ciuman-ciuman kecil di sana. Namun, Zelig terlalu menyadari kondisi sehingga tubuh polosnya tak sudi menunjukkan reaksi apa-apa.

"Kau bisa pergi sekarang, bukan?" Zelig berbisik parau. Kerongkongannya terasa tercekik. "Orangtuamu, teman-temanmu, tamu undanganmu, terutama Pengantin wanitamu ... mereka semua telah menunggu. Pergilah sekarang. Jangan buang waktumu lebih lama lagi bersamaku, atau kau, akan benar-benar membuatku hancur tak bersisa," ucapnya seraya menggarukkan jemari ke kaca jendela. Seolah berusaha melepas lara yang membebani fisik bahkan mentalnya jauh-jauh.

Alfred mendongak, mencegah bulir-bulir air yang siap jatuh dari sepasang mata. Dengan berberat hati, ia membalikkan tubuh Zelig menghadapnya dan mendapati sosok itu sudah saja basah parasnya. Mata abu-abu itu tampak suram, wajah pucatnya pun muram.

Apa yang sudah aku perbuat? Alfred mengutuk diri sendiri.

"Hei, dengarkan aku."

Zelig memberi gelengan atas permintaan Alfred.

"Zelig, tolong dengarkan aku!" Laki-laki itu kian memelas. "Aku ... aku tak menginginkan ini. Kau yang paling tahu bahwa bukan ini yang aku harapkan. Kau yang sangat mengerti apabila ini semua terjadi dikarenakan kehendak kedua orang tuaku. Aku tidak ... aku sama sekali tak berniat meninggalkanmu, tetapi ,..."

Zelig ingin sekali menulikan telinga. Alfred tak kuasa berkata-kata lagi.

Alfred mendekap tubuh Zelig. Erat. Keduanya melekat seolah tak ingin terpisah barang semili pun. Zelig meremas jas Alfred yang rapi dan membuatnya kusut. Sedangkan Alfred meremas rambut pendek Zelig seakan ingin menyentuh bagian dari sosok ini sebanyak mungkin.

Alfred mundur sedikit, mendaratkan ciuman pada dahi Zelig. Lembut dan syarat penuh sayang, membuat sosok tercinta menutup mata demi mampu meresapinya. Diusapnya bagian depan rambut Zelig, kemudian perlahan-lahan ia melepaskan tangan.

Zelig mengangguk. "Pergilah. Ini sudah waktunya," ujarnya pasrah.

Alfred memaksakan senyum. Tangannya terangkat, bermaksud melambai, tetapi urung dilakukan. Kemudian tubuhnya berbalik, berjalan gontai seolah tengah siap membuka pintu menuju ke neraka.

Mungkin itu tak sepenuhnya salah. Sebab Alfred memang benar-benar tak menginginkan pernikahan yang menantinya di luar sana.

Setelah Alfred menghilang di balik pintu yang tertutup kembali, saat itulah penyesalan menghantam jiwa Zelig bertubi-tubi. Laki-laki ini menjatuhkan diri ke lantai dan meraung keras mengutuki nasibnya.

"Ya Tuhan! Mengapa aku tak mampu mencegahnya? Bagaimana bisa aku membiarkannya pergi? Kenapa aku harus merelakannya untuk orang lain? Andai aku tahu rasanya akan tetap sesakit ini, aku tak ingin dia pergi dari sini! Bawa dia kembali! Aku mohon, bawa dia kembali padaku!" erang Zelig meminta pada udara kosong di sekelilingnya. "Alfred Warrenham, aku ingin kau tetap bersamaku di sini. Kembalilah." dan kulit-kulitnya yang tak tertutup kain, terbaring lemas di lantai yang dingin.

---

Zelig membuka mata perlahan dan mendapati langit-langit kamar apartemennya. Serasa de javu. Seperti sewaktu pagi tadi ia baru bangun dari tidur. Bedanya, aroma cologne mahal itu tercium samar-samar olehnya kali ini.

Tentu saja. Sang pemakai cologne Zelig yakini telah berstatus sebagai suami orang lain sekarang. Ia yang melepas kepergiannya dan menangisinya, meraung bagai orang gila sampai membuatnya berakhir terbaring. Di lantai. Yang seketika menyadarkan Zelig, sebab dirinya kini ada di atas ranjang.

Apa aku tidur sambil berjalan? Pikir Zelig linglung. Namun, seingatnya ia tak memiliki kebiasaan itu sama sekali.

"Sudah bangun, Tuan Tukang Tidur?"

Zelig terlonjak hebat di posisinya mendengar suara yang tak asing itu. Yang meski baru beberapa jam tak didengar tapi sudah amat menyusupkan rindu di kedua telinganya. Intonasi lembut nan jantan yang teramat dikenalinya. Suara milik ...

"Alfred?" sebut Zelig lirih, antara percaya dan tak percaya dengan gerak mulutnya sendiri.

Sosok tinggi itu muncul di samping Zelig sambil memegangi secangkir kopi.

Zelig memperhatikan lekat-lekat. Alfred mengenakan kemeja putih polos, dengan bawahan celana dalam agak ketat yang sering dikenakannya. Memperlihatkan sisi ketampanan yang berlipat kian memukau.

Zelig meneguk ludah. "Alfred?" sebutnya lebih berani.

Alfred meletakkan cangkir kopinya ke nakas, sesudah itu mengecup bibir pucat Zelig yang seketika gemetar. "Aku di sini, Sayangku Zelig. Aku di sini bersamamu. Aku tak akan kemana-mana. Aku berjanji, aku tak akan meninggalkanmu. Dalam suka atau pun duka, ketika sehat mau pun sakit, hingga ajal memisahkan kita. Aku di sini, selalu di sini, bersamamu. Selama kau bisa bahagia, Cintaku. Apapun akan kulakukan untukmu," ucap Alfred bagai mengikrarkan janji suci pernikahan.

Zelig tak sanggup berkata-kata. Air matanya menetes begitu saja dan ia memukuli dada Alfred dengan tanpa daya. Sebab ia tahu bahwa pria yang dicintainya ternyata lebih memilihnya. "K-kau bodoh! Ka-kau... euhe!" dan pertahanan Zelig roboh. Kali ini bukan dikarenakan sedih, melainkan bahagia.

Alfred memeluk Zelig. "Aku mencintaimu. Tak ada alasan bagiku untuk meninggalkanmu. Dan tau apa kabar baik lainnya?"

Zelig menggeleng lemah. "Aku tak mau tahu! Kau sudah di sini bersamaku, sudah lebih dari cukup," jawabnya sepenuh hati.

Alfred tertawa samar. "Ya. Memilikimu saja sudah cukup bagiku."

Senja yang mulai temaram, membias sepasang Adam yang terjalin dan disatukan cinta. Lagi, untuk mengucap janji bahwa keduanya harus terus saling memiliki. Tanpa syarat apapun. Sebab cukup itu saja yang membuat keduanya mampu untuk saling melengkapi dan berbahagia.

--End--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top