Bab 9

Seperti dugaanku di awal, kehadiran Ian di apartemenku membuatku gagal nonton drama Korea. Pria itu malah mengambil alih televisiku yang baru memutar satu episode drama Korea. Dia dengan seenaknya menyambungkannya dengan PS 5 miliknya yang memang sengaja ditinggalkannya di sini.

Ian memang suka seenaknya. Protes pun percuma karena mulut playboy-nya itu akan mengeluarkan kata-kata manis yang membuat siapa pun luluh padanya—termasuk aku.

“Mau lagi nggak?” Aku mengambil satu slice pizza dari box kedua sebab kami sudah menghabiskan satu box bersama-sama, menawari Ian yang kedua tangannya sibuk memegang stick PS.

Atas permintaan Ian, aku sudah melipat kembali sofa bed-ku. Kata Ian, kalau main PS lebih enak duduk di bawah. Dan aku hanya iya-iya saja. Alhasil, kami berdua kembali duduk bersisian di atas karpet dengan punggung yang disandarkan pada kaki sofa yang syukurnya tidak terlalu keras.

“Aaaa.” Ian langsung menjawab penawaranku sebelumnya dengan membuka lebar mulutnya. Tatapannya tetap mengarah pada layar televisi.

Aku langsung menyodorkan pizza yang tadi kuambil, yang bagian ujungnya sudah kugigit. Dia pun langsung mengambil satu gigitan besar dan mengunyahnya tanpa menoleh padaku sedikit pun.

Pizza tersebut hanya tinggal satu kali suapan dan aku langsung memasukkannya ke dalam mulutku. Lantas, aku mengambil tisu sambil mengunyah potongan pizza yang masih cukup besar untuk diterima mulutku yang kecil ini.

“Sini bentar.” Aku memegang dagu Ian, membuatnya miring ke arahku sejenak.

Ian mengikuti instruksiku meski bola matanya tetap bertaut pada layar TV di hadapannya. Dengan segera aku mengangkat tisu dalam genggamanku, mengusapkannya di sekitar mulut Ian yang belepotan oleh saus.

“Mau lagi nggak?” Aku kembali menawarinya. “Gue udah kenyang banget, nih.” Perutku rasanya sudah begah, tak lagi bisa menerima potongan pizza lainnya walau aku masih menginginkannya.

“Satu lagi aja, Nya.” Kali ini Ian berhenti sejenak, menoleh ke arah pizza yang masih tersisa tujuh slice lagi. “Suapin, ya,” pintanya kemudian.

“Apa, sih, yang enggak buat lo,” jawabku dengan sedikit nada enggan dalam suaraku.

Ian terkekeh dan melayangkan satu tangannya di kepalaku, menepuk-nepuk rambutku dengan pelan agar tidak merusak tatanan rambutku yang sebelumnya kuikat cepol dengan rapi.

Satu slice pizza sudah kembali berpindah dari box ke tanganku. Sama seperti sebelumnya, aku kembali menyodorkannya pada Ian dan dia langsung menggigit setengahnya. Ck! Mulutnya memang besar.

“Udah selesai?” tanyaku saat melihat layar televisi yang sudah kembali ke halaman menu dari game yang dimainkannya.

Ian mengangguk sembari meletakkan stick PS di ujung kakinya. Bersamaan dengan itu pula dia tampak menelan setengah slice pizza yang sudah dikunyah sebelumnya.

“Sini aaaa.” Ian berpaling padaku, kembali membuka mulutnya dengan lebar.

Aku memutar kedua bola mataku. Padahal, tangannya sudah bebas dan dia bisa makan pizza tersebut tanpa bantuan dariku.

Sisa pizza yang sebelumnya sudah digigit Ian, kini masuk sepenuhnya ke dalam mulutnya dan dia mengunyahnya dengan cepat.

Tanganku yang bersih kugunakan untuk meraih tisu, dengan maksud untuk membersihkan tangan kananku yang terkena saus pizza. Namun, belum sempat aku melakukannya, Ian sudah lebih dulu meraih tanganku yang kotor. Sontak aku menoleh ke arahnya dan mataku langsung melotot tajam begitu Ian memasukkan jari manis dan tengahku ke dalam mulutnya.

“IANNNNNN! JOROKKKKK!!” teriakanku langsung menggema kuat seraya menarik tanganku dari genggamannya.

“Hahahaha.” Tawa Ian meledak, terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. “Kan gue bersihin, Nya,” belanya masih dengan ledakan tawanya.

Aku mendengkus kasar sambil menatap jijik pada jariku yang diemutnya.

Sialan emang si Ian.

Aku bangkit berdiri, bergegas menuju dapur untuk membersihkan tanganku dengan kaki yang kuentak-entakkan dan bibir yang mengerucut sebal. Sementara samar-samar telingaku masih dapat mendengar tawa Ian yang tak kunjung reda.

•••

Ian masih betah di sini. Tak ada tanda-tanda dirinya akan segera pulang meski waktu sudah menjelang sore. Entah sudah berapa jam dia habiskan hanya untuk bermain PS, seperti tidak kenal lelah dan bosan.

Aku sendiri tetap nonton drama Korea walau lewat iPad. Agak tidak fokus karena sesekali Ian berteriak kalau game-nya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Ya mau gimana lagi, daripada aku kebosanan hanya menyaksikan Ian yang sibuk dengan game-nya. Meski begitu, kami sesekali juga tetap mengobrol.

“Lo mau di sini sampe kapan?” Aku melontarkan sebuah pertanyaan sembari mencomot keripik kentang dari dalam toples yang kuletakkan di atas perutku.

Sejak makan siang, aku memang mengubah posisiku. Tidak lagi duduk lesehan di samping Ian, melainkan berbaring di atas sofa panjang. Sedangkan Ian tetap berada di posisinya yang membuat kepalanya sejajar dengan perutku saat ini.

“Nginep gue.”

“Males, ah! Pulang aja lo sana,” usirku secara blak-blakan.

Kendati aku senang dengan kehadiran Ian di sini, aku tetap tidak bisa membiarkannya menginap kalau tidak dalam waktu-waktu tertentu.

Hatiku lemah. Kalau menghabiskan malam hanya berdua bersama Ian, perasaanku jadi tidak keruan. Kemungkinan aku bisa melakukan hal-hal konyol yang akan membuat Ian menyadari perasaanku.

Huh! Jangan sampai.

“Pelit banget, sih.” Ian berputar ke belakang sejenak untuk mengambil keripik kentang yang masih bertahan di atas perutku.

“Males gue. Entar dikira lagi kumpul kebo sama lo.” Aku beralasan.

“Kan kita nggak ngapa-ngapain. Gue juga ogah ngapa-ngapain sama lo.”

Plak!

Satu pukulan kuat mendarat di belakang kepala Ian, yang tentu saja berasal dari telapak tanganku. Otomatis Ian mengaduh.

“Lo kira gue mau?” balasku tak mau kalah.

Sambil mengusap bekas pukulanku di kepalanya, Ian berpaling padaku dan berucap, “Sakit, Anjir.”

“Bodo amat!” Aku menjulurkan lidahku padanya.

Ian hanya berdecak dan melemparkan tatapan kesalnya padaku sebelum kembali pada game-nya.

Syukurlah dia mengalah. Kalau tidak, mungkin akan ada pukulan-pukulan selanjutnya di tubuhnya dari tanganku ini.

Dalam beberapa saat, tak ada lagi pembicaraan di antara kami. Dan ya, sedari tadi siklusnya memang seperti itu. Diam - mengobrol - kadang diselingi oleh pertengkaran kecil. Terus seperti itu entah sampai kapan.

“Yan.” Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, aku kembali membuka percakapan. Posisiku pun sudah berubah menjadi duduk tepat di belakang Ian. Dan toples berisi keripik kentang tersebut sudah kupindahkan ke sebelah Ian agar dia lebih mudah menjangkaunya.

“Hm?” Ian hanya bergumam karena tengah mengunyah makanan dalam mulutnya.

“Lo mau sampe kapan kayak gini?” Aku mengawali obrolan kami dengan sebuah pertanyaan.

“Kayak gimana?”

Aku memindahkan kedua tanganku ke kepala Ian, memainkan rambutnya yang sedikit ikal dan hampir menyentuh pangkal lehernya. “Kayak sekarang ini. Sibuk pacaran sana sini, tapi nggak ada satu pun yang lo seriusin.”

“Gue emang belum mau serius, Nya. Belum siap nikah, sih.”

“Tapi, kan, tetep bisa pacaran serius sampe lo nanti siap untuk nikah. Seenggaknya nggak gonta-ganti mulu.” Aku sok menasihati. Padahal, di dalam hati berharap kalau Ian akan terus bermain-main sampai aku punya nyali untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

Duh! Aku memang sepengecut itu rupanya.

“Sejauh ini gue belum nemu yang pas di hati. Jadi, nggak ada yang bisa diseriusin,” balasnya dengan enteng.

“Emang mau yang gimana, sih? Lo udah pacaran sama berpuluh-puluh perempuan. Belum lagi cewek-cewek yang cuma deket sama lo.”

“Adalah pokoknya.” Ian mengedikkan kedua bahunya. “Kalau lo sendiri?”

Aku pikir pembahasan soal itu akan berhenti hanya dengan aku yang menanyai Ian, tetapi rupanya dia juga ikut bertanya.

“Kayaknya gue mau mulai nyari pacar, sih,” jawabku tanpa pikir panjang.

Ian menghentikan segala pergerakannya bersamaan dengan kepalanya yang diputar ke arahku. “Serius?”

Aku menatapnya sejenak sebelum memberi anggukan sebanyak dua kali.

Kadang ada saatnya aku merasa lelah mencintai Ian dalam diam tanpa tahu kapan cintaku akan berbalas. Perasaanku membuatku jadi terombang-ambing tidak jelas. Jadi, jawabanku atas pertanyaan Ian sebelumnya memang masuk dalam rencana terbaruku.

Tidak ada salahnya mencoba untuk memulai hubungan romantis dengan pria lain walau bagiku hal itu terkadang lebih banyak membuang-buang waktu.

Lagi, keheningan kembali mengitari kami. Setelah mendapat jawaban dariku, Ian tak lagi bersuara. Dan sampai dia pamit pulang, Ian lebih banyak diam.

•••

Ini kan yang kalian mau dari Ian? Wkwk. Jadi, sebenernya si Ian ada rasa lebih juga nggak ya ke Anya?🤔

Ikuti terus ya kisah mereka. Jangan bosen😋

Luv luv❤💋

14 Oktober, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top