Bab 5
Tadinya aku tertarik untuk ikut barbeque-an bersama keluarga Atmaja, tapi rasa dongkolku pada Ian membuat ketertarikanku lenyap seketika. Entah kenapa rasanya terlalu malas bertemu dengan Ian lagi.
Urusanku di kantor sebenarnya sudah selesai sejak beberapa jam yang lalu, tetapi aku tetap memutuskan untuk bertahan di sini sampai malam tiba. Kalau hanya berdiam diri di apartemen pasti akan sangat membosankan. Ya, walaupun aku nggak ada kerjaan juga, sih, di kantor. Paling hanya mengobrol dengan karyawanku yang masih bertahan di sini.
Tepat pukul sembilan malam, setelah keadaan kantor begitu sepi dan hanya menyisakanku seorang diri, aku pun memutuskan untuk pulang. Serem juga sendirian di kantor yang cukup besar ini.
Setelah berada di dalam mobil, aku tidak langsung melesat menuju jalanan, memilih untuk mengecek ponselku yang sedari tadi sengaja kumatikan.
Rentetan pesan dan panggilan tak terjawab langsung memenuhi notifikasi. Panggilan tak terjawab yang paling banyak sudah pasti berasal dari Ian. Barangkali dia meneleponku sebegini banyaknya karena aku yang tadi meninggalkannya dalam keadaan ngambek. Apalagi ponselku dalam kondisi mati. Ian pasti panik.
Sebenarnya nggak tega juga, sih, melihat Ian yang pasti kelimpungan karena ponselku yang tidak aktif. Tapi mau gimana lagi, cuma itu satu-satunya hal yang setidaknya bisa sedikit meredakan kejengkelanku padanya.
Sebuah panggilan masuk menghentikan niatku yang tadinya hendak memeriksa pesan yang memenuhi ponselku.
Nama Ian muncul di layar ponselku.
Karena perasaanku sudah mulai luluh dan kasihan juga melihat Ian yang terus mencari-cariku, maka telepon darinya langsung kuangkat.
“Ha—”
“ANYA!”
Aku belum sempat menyelesaikan sapaanku ketika dari seberang telepon Ian sudah lebih dulu berteriak.
“Gila ya ini anak, suka banget ilang-ilangan. Gue udah hampir pergi ke dukun buat nyari lo.”
Tanpa sadar senyumku mengembang mendengar omelan Ian yang terdengar begitu frustrasi. Aku yakin saat ini dia pasti sedang mengacak-acak rambutnya sambil berdiri mondar-mandir.
“Emangnya gue diculik dedemit apa,” balasku dengan guyonan.
Ian tak menanggapi leluconku. Hanya helaan napas beratnya saja yang terdengar beberapa kali di telingaku, yang menandakan jika dia benar-benar resah.
“Lo di mana sekarang? Masih di kantor?”
Aku mengernyitkan dahiku. “Kok lo tahu gue lagi di kantor?”
“Gue nelpon Raihan tiap satu jam sekali cuma buat nanya keberadaan lo doang, Nya. Puas lo ngeliat gue berasa pasangan homo sama Rai?”
Tawaku tak dapat kutahan. Celetukan Ian yang terdengar berapi-api sungguh menggelikan. Apalagi tiba-tiba otakku membayangkan Ian yang tiap satu jam sekali menelepon Raihan.
“Malah ketawa ini anak.”
Aku berdeham pelan sambil mencoba menghentikan tawaku saat Ian makin terdengar kesal.
“Lo di mana, nih, Nya? Gue mau nyusulin sekarang.”
“Lagi di parkiran, Yan. Gue mau balik sekarang.”
Tawaku sudah sepenuhnya surut, dan kini tengah menyalakan mesin mobilku, bersiap meninggalkan parkiran kantor.
“Oke gue langsung ke apartemen lo aja, ya.”
Itu menjadi kalimat terakhir Ian setelah aku mengiyakan permintaannya. Aku pun bergegas melajukan mobilku di jalan raya yang untungnya tidak terlalu padat.
•••
Apartemenku dalam kondisi terang benderang begitu aku masuk. Sepasang sandal jepit hitam pun tersusun di rak sepatu, menandakan jika Ian sudah lebih dulu tiba di sini daripada aku.
Segera kulangkahkan kakiku ke dalam usai mengganti stiletto-ku dengan sandal berbulu yang biasa kugunakan di dalam apartemen. Terus berjalan hingga ke dapur karena tak kutemukan Ian setelah melewati ruang tamu dan ruang santai.
“Cepet banget udah nyampe sini aja,” ujarku begitu tiba di dapur dan mendapati Ian yang rupanya tengah memindahkan makanan yang dibawanya. “Apa, tuh?” Kuambil posisi di sisi Ian, melongok untuk melihat makanan apa yang dia bawa.
“Bakar-bakaran hasil barbeque-an tadi. Bunda ngotot nyuruh gue ngasih ini ke elo.”
Aku mencomot sepotong daging dan langsung memasukkannya ke dalam mulutku. Hmm ... enak.
“Jadi, lo daritadi nyariin gue cuma buat nganter ini?” tanyaku di sela-sela kunyahanku.
“Iyalah. Nggak usah berasa jadi orang penting, deh.”
Tanganku refleks melayang ke pundak Ian, memberinya pukulan yang cukup keras hingga membuatnya mengaduh. Aku cemberut, tetapi kemudian mengambil sepotong daging lagi untuk kumakan.
Ian tidak protes dengan pukulanku, dia malah terbahak keras. Dan aku tahu jika ucapannya sebelumnya hanya sebuah candaan.
Kalau dapet makanan enak, tingkat sensitifitasku emang agak menurun. Jadi, Ian lolos kali ini karena aku tak terlanjur baper.
“Makan sambil duduk, Nya.” Ian menarik kursi di sebelahku, memintaku untuk duduk di sana.
Aku menurutinya, mengambil duduk sambil mencomot hasil bakaran yang dia bawa. Tidak lupa pula mencocolnya ke sambal buatan tante Intan yang menjadi favoritku.
“Lo nggak ikut makan?” tanyaku pada Ian ketika dia telah selesai memindahkan seluruh makanan yang dibawanya ke dalam piring.
Ada berbagai macam jenis bakar-bakaran. Mulai dari daging, sosis, sampai seafood. Malam ini sepertinya aku akan kekenyangan.
“Udah kenyang banget gue,” jawabnya sembari berjalan menuju wastafel untuk cuci tangan.
“Jadi, gimana? Lana udah dikasih tahu soal penyakit tante Intan?” Aku mengangkat topik seputar tante Intan dan penyakitnya, masih cukup penasaran dengan hal itu.
“Gimana gue mau ngasih tahu Lana, ngobrol sama dia aja nggak sempet gara-gara seharian ini kerjaan gue cuma nyariin lo doang,” gerutu Ian.
Kalimat Ian memang agak hiperbola, sih, tetapi entah kenapa aku senang mendengarnya.
Tanpa sadar, sudut-sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk senyum tipis. Syukurlah posisi Ian masih membelakangiku hingga dia tak perlu melihat ekspresi kegiranganku ini. Aku nggak mau lagi dicap terlalu geer olehnya.
“Abis pulang dari sini, deh, gue kasih tahu Lana,” tambah Ian yang sudah selesai mencuci tangan dan kembali menghampiriku sambil mengelap tangannya dengan tisu.
Kepalaku mendongak, mengikuti gerak-gerik Ian yang berakhir duduk di sampingku. “Bisa nggak, Yan, kalo lagi ada masalah, cerita ke gue. Jangan malah mabuk-mabukan,” pintaku, mengubah kembali topik pembicaraan kami.
Sejujurnya intensitas Ian mengonsumsi minuman haram alias alkohol memang sudah cukup sering. Mungkin disebabkan oleh faktor dari sirkel pertemanannya karena Geo yang merupakan teman dekat Ian adalah pemilik salah satu kelab malam elit di ibu kota.
Aku memang tidak pernah meminta Ian untuk berhenti, tetapi setidaknya mengonsumsinya dalam batas wajar. Tidak sampai teler seperti tadi malam.
“Gue bener-bener kalut, Nya. Lo tahu sendiri gue sesayang apa sama Bunda.”
“Iya, gue ngerti. Tapi coba dikurang-kurangi dikit biar nggak jadi kebiasaan.”
Aku cukup merasa terkucilkan karena tiap kali mendapat masalah, Ian pasti lebih memilih lari ke alkohol daripada aku. Padahal, aku sangat ingin menjadi tempatnya berkeluh kesah.
Ian memang bejat banget. Ada yang halal malah milih yang haram.
Eh! Tapi aku sama dia juga belum halal, sih.
Ian menganggukan kepalanya sembari berdiri dari duduknya. “Iya, gue coba.”
Entah apa yang tengah dia lakukan dengan tote bag-ku. Tangannya sibuk merogoh isinya tanpa izin dariku. Sementara aku hanya memerhatikannya sambil terus mengunyah.
Rupanya sedari tadi Ian mencari-cari ikat rambutku yang memang selalu kubawa ke mana-mana. Dia kemudian mengambil posisi berdiri di belakangku dan selanjutnya aku bisa menebak apa yang akan dilakukannya.
Ian mengikat rambutku yang tergerai agar tidak menggangguku yang sedang makan.
Lagi-lagi aku tersenyum walau sebisa mungkin kusembunyikan agar dia tidak menyadarinya.
Hal-hal kecil seperti inilah yang selalu Ian lakukan padaku. Bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta padanya.
Ya, ampun! Jantungku malah menggila di dalam sana.
Santai, Anya, santai.
•••
Duh, si Ian emang jago banget bikin Anya baper yak🤣
Kalian optimis nggak, nih, kalo perasaannya Anya ke Ian bakal berbalas?🤭
Sampai ketemu besok tayang-tayangku❤💋
10 Oktober, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top