Bab 45
Hai, guys! Sebelum kalian baca Bab ini, jawab pertanyaan aku dulu yuk💃
Selain Wattpad, kalian biasanya baca novel di platform/aplikasi apa?
Dijawab dulu, yaa. Happy reading❤
•••
“Udah isi belum, Mbak?”
Mbak Tiara tengah menyiapkan peralatan masak ketika dia menjawab pertanyaanku. “Belum, Nya.”
Aku mengangguk-anggukan kepalaku sembari melanjutkan memotong jenis bawang-bawangan dan cabai. “Belum rezeki, Mbak.”
“Doain aja ya, Nya. Udah pengin gendong bayi, nih.”
“Pasti aku doain dong, Mbak. Sekalian sepuluh kalo bisa,” selorohku.
Mbak Tiara tertawa. “Ya, nggak gitu juga ”
Saat ini, aku sedang berada di rumah mbak Tiara. Selain karena tidak ada yang bisa kuajak hangout di hari sabtu ini, aku juga ingin belajar membuat nasi goreng khas keluarga Ian.
Aku tak menyangkal kalau tante Intan sangat jago masak. Apa pun yang dimasak olehnya, hasilnya selalu memuaskan. Termasuk nasi goreng yang entah kenapa terasa lebih enak dari nasi goreng mana pun yang pernah lidahku cicipi. Mbak Tiara pun merasakan hal yang sama.
Pokoknya nasi goreng buatan tante Intan, tuh, legend banget. Mbak Tiara yang udah bolak-balik nyobain resepnya aja masih belum bisa menyamai nasi goreng yang dimasak sendiri oleh tante Intan.
Entahlah. Tangan tante Intan memang ajaib. Seperti ada ramuan magic yang membuat masakannya selalu nikmat.
“Jadi, kamu belajar bikin nasi goreng pake resep Bunda karena Ian atau emang kemauan sendiri?” Mbak Tiara kembali membuka percakapan setelah hening selama enam sampai tujuh menit.
“Uhm...” Aku bergumam sejenak. “Karena dua-dianya sih, Mbak,” jawabku sembari meringis malu.
Mbak Tiara terkekeh. “Sama kayak aku, dong. Aku dulu ngebet banget belajar bikin nasi goreng resep Bunda karena Mas Aulion suka banget. Ibaratnya, tuh, nasi goreng buatan Bunda udah kayak jadi makanan khas keluarga mereka.”
Aku menjentikkan jariku dengan semangat, menyetujui ucapan mbak Tiara. “Bener banget, Mbak.”
“Makanya kamu sebagai calon menantu kedua Bunda, harus bisa masak nasi goreng pake resep Bunda,” kata mbak Tiara, sambil melihatku dengan alis yang sengaja dinaikturunkan untuk menggodaku.
Aku tersipu dengan kedua pipi yang kuyakini sudah dialiri rona kemerahan. Bibir kukulum untuk menyembunyikan senyum malu-maluku.
Sudah hampir dua bulan berlalu sejak aku bertemu dengan Andra untuk yang terakhir kalinya. Hubunganku dengan Ian pun sudah naik ke level selanjutnya.
Tidak ada perbedaan yang siginifikan, sih, dari hubungan kami. Hanya saja, kami menambahkan sedikit bumbu-bumbu romantisme sebagai pembeda. Kami juga tidak pacaran, hanya sekadar komitmen untuk bersama.
Awalnya agak canggung, sih, saat aku dan Ian memutuskan untuk bersama. Hubungan yang baru di antara kami masih terasa asing. Kami masih sama-sama kikuk saat bertanya soal kabar masing-masing.
Huh! Padahal, saat status kami masih sebagai sahabat, bertanya soal kabar adalah hal yang biasa. Namun, sejak kami berkomitmen untuk bersama, entah kenapa rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan tiap kali Ian memerhatikanku.
Seiring berjalannya waktu, kami pun mulai terbiasa dengan hubungan baru kami. Interaksi di antara kami pun sudah tak secanggung sebelumnya. Orang-orang yang menyaksikan interaksi di antara kami malah tak melihat ada yang berbeda dari hubungan kami.
Dalam dua bulan ini, ketenangan dalam hidupku sudah kembali. Masalah-masalah yang sempat mengelilingku sudah terhempas jauh. Andra sudah tidak pernah lagi muncul di hadapanku setelah pembicaraan terakhir kami. Sementara Siren kini memilih untuk hidup sendiri.
Sejujurnya aku masih memikirkan tentang Siren. Sejak dia mengetahui tentang kebenaran bahwa dia juga merupakan anak angkat papa dan mama, Siren memutuskan untuk meninggalkan rumah dan hidup mandiri. Dia bahkan tak menghadiri acara kelulusannya di Jerman hanya untuk menghindari orangtuaku.
Barangkali dia merasa malu dengan dirinya sendiri. Malu akan sikapnya pada kami selama ini. Padahal, aku dan orangtuaku sudah membujuknya untuk tetap tinggal bersama kami. Kejadian kemarin mungkin bisa menjadi awal kedekatanku dengan Siren, sebab dia sudah meminta maaf padaku walau secara tidak langsung. Namun, dia tetap kekeh menolak bujukan kami. Dan kami pun tak bisa berbuat apa-apa.
Siren pasti membutuhkan waktu untuk pulih. Dia memahami dirinya lebih dari siapa pun. Jadi, kami hanya bisa mendukung dan menghargai apa pun yang menjadi keputusannya.
•••
“Sok sibuk banget, sih, diteleponin dari tadi nggak bisa-bisa,” cetusku dengan wajah cemberut dan nada kesal yang tak kusembunyikan saat melihat kehadiran Ian di apartemenku.
Ian nyengir, menghampiriku yang tengah duduk di sofa. “Handphone gue mati, Sayang,” sahutnya sembari menunjukkan ponselnya padaku.
Hidungku mengernyit, terang-terangan membuat ekspresi geli dalam wajahku. “Nggak usah sayang-sayang, deh. Telinga gue belum terbiasa.”
Tawa Ian berderai kuat. Dia langsung mengacak-acak rambutku usai mengambil duduk di sampingku. “Kan biar romantis, Nya.”
Aku hanya berdecak dan meliriknya dengan sebal sembari merapikan rambutku yang berantakan akibat sentuhannya itu.
“Ngapain aja seharian ini?” tanya Ian, merentangkan sebelah tangannya untuk merangkul pundakku.
Kupalingkan manikku dari televisi yang tengah menampilkan tayangan YouTube dari acara talkshow favoritku ke Ian. “Nggak ada. Di rumah Mbak Tiara doang.”
Sabtu pagi menjelang siang tadi, Ian memang pamit padaku untuk pergi hangout dengan teman-temannya. Tadi, sih, dia sudah mengajakku untuk ikut bersamanya, tetapi aku menolak. Aku tak ingin kelihatan seperti bocil SMP yang sering ikut ke mana pun pasangannya pergi saat menjalin sebuah hubungan.
Mengingat sepak terjang Ian selama aku mengenalnya, aku cukup waswas tiap kali dia keluar. Takut Ian kecantol cewek cantik nan bahenol di luaran sana. Yah ... walaupun berulang kali Ian menegaskan jika dia sudah tobat jadi playboy setelah mendapatkanku, aku tetap tak bisa setenang itu.
Maklum, aku sudah jatuh cinta pada Ian bertahun-tahun lamanya. Begitu dia resmi menjadi milikku, jiwa-jiwa posesifku langsung menampakkan dirinya.
“Mas Aulion sebel nggak pas lo dateng ke sana?” Ian kembali bertanya dengan senyum tipis di sudut bibirnya.
“Enggak, dong,” jawabku dengan bangga. Pasalnya, tiap kali Ian yang datang ke sana di hari weekend, dia pasti selalu mendapat semburan kemarahan dari abangnya itu. Katanya, sih, kedatangannya menggaggu pasutri yang ingin bermesra-mesraan di akhir pekan.
Senyum Ian surut dari wajahnya dan dia berdecak. “Bang Aul kalo sama gue emang sensitif banget kayaknya.”
“Lo nyebelin, sih,” ledekku sambil menjulurkan lidahku pada Ian.
“Sembarangan,” pungkas Ian, yang kini sudah memindahkan tangannya dari bahuku ke perutku, melingkar di sana dan dia pun mulai melancarkan aksinya untuk menggelitiki perutku.
“Hahaha Ian.” Kusemburkan tawaku seraya berusaha menjauhkan diri dari kukungannya. “Udah, dong. Hahaha. Gue kebelet pipis.”
Setelah bergelut dengannya selama beberapa saat, Ian akhirnya menghentikan aksinya menggelitiku. Karena pergerakan yang cukup intens saat aku mencoba menghindarinya, tanpa sadar aku sudah dalam posisi setengah berbaring di atas sofa. Sedangkan Ian berada di atasku. Tangannya masih melingkari perutku sehingga membuat posisi kepalanya saat ini sejajar dengan dadaku.
“Nyebelin banget.” Aku dengan gemas menarik hidungnya. Posisi Ian saat ini membuatku harus menunduk agar bisa bersitatap dengannya.
Ian dengan wajah tanpa dosanya malah terkekeh. Dia lantas menarik tangannya dari perutku sehingga aku harus mengangkat sedikit tubuhku untuk memudahkan pergerakannya. Setelahnya, Ian pun bergerak naik hingga posisi wajah kami menjadi sejajar.
Aku refleks melingkarkan kedua lenganku di lehernya. “Tadi nggak genit, kan?”
Blush!
Pipiku memerah seketika saat menanyakan hal tersebut. Pasalnya, pertanyaan seperti itu tak pernah terjadi dalam hubungan persahabatan kami. Dan ini adalah hal yang baru, yang selalu menjadi pertayaanku tiap dia hangout bersama teman-temannya.
Jujur, aku masih merasa malu dan aneh tiap kali menanyakan hal itu pada Ian. Namun, aku tetap tak bisa menahan diri supaya pertanyaan itu tetap tersimpan dalam benakku. Bisa-bisa aku jadi kepikiran sepanjang hari.
“Genit ke si Geo doang,” jawab Ian dengan cengirannya.
Aku berdecak sebal. “Serius,” rengekku.
Ian tertawa cukup keras. Kebiasaannya yang suka menjahiliku itu tidak berubah sama sekali. Bikin kesel aja.
“Gue nggak genit, Anya,” jawab Ian pada akhirnya, masih disertai kekehan kecil. “Tanya aja sama temen-temen gue. Lagian, sejak gue udah komitmen sama lo, cewek-cewek lain nggak menarik lagi di mata gue. Paling gue cuma ngelirik dikit kalo ada yang seksi.”
“Ish nyebelin!” Pukulanku otomatis mendarat di lengan atasnya. Sementara Ian kembali meledakkan tawanya. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Tuh! Sifat nyebelin Ian emang udah mendarah daging. Sekarang malah makin-makin aja.
“Bercanda, Anya. Bercanda,” kekehnya sambil berusaha untuk menghapus kecemberutan dalam wajahku. “Nggak genit ke siapa-siapa, kok. Sumpah, deh.” Dia mengangkat dua jarinya padaku, seakan ingin menegaskan ucapannya.
“Nyebelin!” Lagi-lagi hidungnya menjadi sasaran kegemasanku. Kutarik cukup kuat dan membuat Ian meringis, tetapi tawanya tetap berlanjut. “Pokoknya nggak boleh genit!”
“Iya, Anyaku sayang.”
•••
Masalah udah clear semua, saatnya kita memasuki bagian yang uwu-uwunya🤭
Kalian udah siap pisah sama pasangan ini belum, guys?
Yuk yuk jangan lupa vote dan ramein kolom komentarnya. Kita ketemu lagi secepatnya kalo bab ini ruameeee❤💋
25 Februari, 2023
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top