Bab 44

Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa takut yang mendadak melingkupi diriku. Kulakukan teknik tersebut beberapa kali sampai aku bisa mendapatkan setidaknya sedikit saja ketenangan agar semuanya berjalan lancar.

“Mau dibatalin aja?” Suara itu milik Ian, menginterupsiku yang tengah memejamkan mata masih sambil mengembuskan napas panjang.

Kubuka kedua mataku bersamaan dengan kepalaku yang kutolehkan ke arah Ian. Badannya dicondongkan ke arahku. Maniknya menunjukkan kecemasan.

Aku lantas menggeleng, mencoba mengukir senyum di bibirku. “Gue bisa kok, Yan. Gue cuma butuh beberapa menit untuk nenangin diri. Nggak papa kan nunggu gue bentar?”

Ian mengulum bibirnya seraya mengangguk. Dia juga turut menepuk-nepuk pelan pundakku, yang setelahnya berubah menjadi usapan kecil.

Hari ini aku akan bertemu dengan Andra, hendak membicarakan langsung dengannya tentang hubungan kami. Aku sungguh tak nyaman karena dia yang tak henti menguntitku ke mana pun walaupun orangtuaku sudah menegaskan padanya bahwa hubungan kami telah selesai.

Andra sepertinya tidak puas bila tak langsung membicarakannya denganku. Dia masih sibuk menerorku dan membuatku bertambah stres. Alhasil, mau tak mau aku harus bertemu langsung dengannya. Tentu saja ditemani oleh Ian. Selain karena Ian yang memaksa, aku juga enggan menemui Andra seorang diri. Bagiku, dia masih menjadi sosok yang menjijikkan.

Kuembuskan napas panjang untuk terakhir kalinya. Sugesti dalam otakku sudah cukup bisa diandalkan. Aku sudah tak setakut sebelumnya. Cukup santai untuk menghadapi Andra.

Kualihkan pandanganku pada Ian sembari berucap, “Yuk.”

“Aman, kan?” tanya Ian, masih menatapku dengan khawatir.

Aku mengangguk sebanyak dua kali. Dan kali ini bibirku bisa tersenyum dengan luwes.

“Ya udah, yuk.”

Kami pun sama-sama keluar dari mobil Ian yang sedari tadi diparkirkan di halaman depan sebuah kafe. Kafe inilah yang kupilih sebagai tempat pertemuanku dengan Andra. Pengunjungnya yang selalu ramai menjadi alasanku memilih tempat ini. Jadi, Andra mungkin akan berpikir ulang bila hendak meledakkan amarahnya. Tapi, dia tidak tahu diri kalau marah padaku. Seharusnya aku yang marah, bukan?

Ian menyejajarkan langkahnya di sampingku. Dia langsung menarik tanganku, menggandeng dengan erat saat kami melangkah memasuki kafe tersebut, seakan memberi kekuatan padaku.

Andra duduk tak jauh dari pintu masuk. Dia langsung berdiri begitu melihat kehadiranku. Sorot matanya sempat berpindah ke bawah sesaat. Dan aku tahu jika yang dilihatnya tadi adalah tanganku yang digenggam oleh Ian.

Ada untungnya juga Ian menggandengku. Andra mungkin akan berpikir jika saat ini aku sudah memiliki hubungan spesial dengan Ian. Dengan begitu, barangkali dia akan sadar diri jika dirinya sudah tak penting lagi bagiku.

Sejak aku menjalin hubungan dengannya, Andra memang tidak sepenting itu, sih, dalam hidupku.

“Hai!” Andra menyapa dengan senyum kikuk begitu aku dan Ian mengambil duduk di hadapannya. “Aku udah pesenin minuman kesukaan kamu,” ucapnya seraya menunjuk minuman yang ada di atas meja.

Aku melirik minuman tersebut dan memutar jengah kedua bola mataku. Dia tahu aku akan datang bersama Ian, tetapi dia hanya memesan minuman untukku dan untuk dirinya sendiri. Lagipula, aku tidak akan meminumnya sama sekali. Nggak sudi.

Pokoknya apa pun yang berkaitan dengan Andra, aku akan menjauhinya.

“Aku nggak mau basa-basi lagi.” Aku membuka pembicaraan, menatap Andra dengan raut datar.

Di dalam sana, otakku masih berusaha untuk mensugesti pikiranku bahwa semua ini akan baik-baik saja. Rasa takutku harus kusingkirkan jauh-jauh terlebih dahulu agar aku tak dipandang lemah olehnya. Sedikit saja rasa takutku muncul, maka aku akan kembali kalah darinya.

Tidak.

Aku tidak akan membiarkannya.

“Hubungan kita udah selesai sejak kamu merendahkan harga diriku waktu itu.” Aku melanjutkan ucapanku dengan penuh penekanan. Rasanya susah sekali untuk tak terpancing amarah saat berhadapan dengan Andra yang malah bersikap seperti korban. “Jadi, jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Dan berhenti menguntitku seperti orang gila.”

Andra menunduk dalam, memperlihatkan penyesalannya, tetapi aku tidak terpengaruh sama sekali olehnya. Dia pintar memainkan ekspresi. Jadi, belum tentu dia benar-benar menyesal atas apa yang telah dilakukannya padaku.

“Maaf,” lirih Andra bersamaan dengan kepalanya yang terangkat, kembali menatapku dengan melas. “Aku nyesel banget udah memperlakukan kamu seperti itu, Nya. Andai aja waktu bisa diulang, aku pasti nggak akan kayak gitu.”

Aku mendecih sinis. Dasar, tidak tahu malu!

“Terserah apa kata kamu. Aku mau menemui kamu sekarang cuma untuk memperjelas hubungan kita,” jelasku dengan tegas. “Kita udah selesai. Dan jangan pernah mengganggu hidupku lagi.”

Sudah cukup.

Aku sudah memperjelas hubunganku dengan Andra secara langsung. Melihat wajahnya yang sok merasa bersalah itu benar-benar membuat perutku mual. Aku tak bisa terlalu lama berada di dekatnya. Alhasil, setelah mengucapkan kalimat tersebut, aku langsung bangkit berdiri dan mengajak Ian untuk pergi.

“Aku nggak nyangka ternyata kamu semurahan itu.”

Belum ada kakiku berjalan sebanyak dua langkah, suara Andra kembali terdengar di telingaku. Sontak kuhentikan langkahku berbarengan dengan amarah yang mulai merasuki diriku.

Dugaanku benar. Penyesalannya itu cuma pura-pura. Dia memang tidak tahu malu sama sekali.

“Setelah lepas dariku, kamu langsung berhubungan dengan sahabatmu sendiri. Jadi, kamu nggak lebih baik dari aku.”

Berengsek!

Aku tak tahan lagi mendengar cemoohannya. Kedua tanganku sudah mengepal erat dan aku tak sabar untuk menyiramnya dengan segelas minuman di atas meja yang tak kusentuh sama sekali. Namun, belum sempat aku berbalik, Ian sudah lebih dulu menerjang Andra.

Seperti deja vu, Ian melayangkan beberapa pukulan di wajah Andra. Seketika suasana di kafe ini berubah ricuh. Dengan mata yang membelalak, aku buru-buru menarik Ian agar dia menghentikan aksinya. Dibantu oleh beberapa orang pegawai dan pengunjung kafe ini.

Sejujurnya aku sangat mendukung Ian untuk memukuli Andra sampai babak belur, tetapi Andra yang tak melawan sama sekali membuatku sadar jika mungkin dia akan melaporkan Ian atas tindak kekerasan. Dia sangat amat licik, tetapi aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.

•••

Setelah membereskan masalah ganti rugi dengan pihak kafe, kami pun pulang, kembali ke apartemen Ian. Sementara Andra sengaja kabur, meminta beberapa pengunjung untuk membawanya ke rumah sakit. Padahal, luka yang diterimanya juga tidak terlalu banyak karena Ian langsung dipisahkan saat hendak menghajarnya.

Rasa ilfeel-ku pada Andra semakin menjadi karena sifat berlebihannya itu. Aku hanya berharap agar dia tidak menikah. Kasihan sekali perempuan yang nantinya akan menjadi istrinya. Sifat Andra yang seperti itu pasti akan sangat sulit untuk diubah.

Lagi-lagi aku mengucap beribu syukur karena tidak jadi naik ke pelaminan bersamanya. Bisa-bisa aku menyesal seumur hidup.

Kalau mengingat masa-masa kedekatanku dengan Andra, aku langsung merinding. Bisa-bisanya aku bertindak sebodoh itu.

“Seharusnya waktu di club malam waktu itu, gue hajar aja Bajingan itu sampe mati,” ujar Ian, yang baru mengambil duduk di sofa panjang di apartemennya.

Dendam Ian pada Andra tampak bertambah besar. Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia bahkan tak kuizinkan untuk menyetir mobil. Emosinya masih bergejolak. Bisa-bisa dia membelokkan mobilnya menuju rumah sakit yang paling dekat dengan kafe hanya untuk kembali menghajar Andra.

Aku baru kembali dari dapur dengan semangkuk penuh air hangat dan handuk kecil di dalamnya untuk membersihkan luka Ian.

Saat hendak menghajar Andra, Ian tanpa sengaja memukul meja kaca sampai pecah. Alhasil, tangannya terluka dan mengeluarkan darah cukup banyak. Untuk itulah kami bertahan agak lama di kafe hanya untuk menyelesaikan persoalan ganti rugi.

“Beneran nggak mau ke dokter aja?” Aku mengambil duduk di sebelah Ian setelah memeras handuk dan mulai membersihkan tangan Ian. “Takutnya ada serpihan kaca yang masuk ke luka elo.”

Ian menggeleng. Sesekali meringis dengan tangan yang bergerak kecil saat handuk tersebut menyentuh lukanya.

“Diobati sama lo aja udah cukup.”

Aku tetap tersenyum kecil walau tak puas dengan jawabannya. Sebisa mungkin membersihkan lukanya dengan baik agar nantinya tidak infeksi.

Tak ada percakapan yang berlangsung di antara kami sepanjang aku membersihkan dan mengobati lukanya. Ian hanya diam dengan pandangan lurus ke depan. Matanya tampak kosong dan aku tahu bahwa pikirannya sedang berkecamuk di dalam sana.

Ian masih belum bisa rileks. Bahunya menegang keras dan wajahnya tampak datar. Amarahnya terhadap Andra pasti masih terus berkobar di dalam sana.

Aku sudah selesai mengobati luka Ian. Segala peralatan sudah kuletakkan kembali ke atas meja. Namun, Ian sepertinya masih belum menyadarinya.

“Hey.” Aku mencolek pundak Ian dan dia pun berpaling padaku.

“Udah selesai?” tanya Ian, yang tampak bingung setelah melihat tangannya sudah dibalut perban.

Aku tak menjawab pertanyaan Ian, melainkan langsung melingkarkan kedua tanganku di badannya. Aku memeluknya, berusaha menghiburnya.

“Udah dong, Yan. Redain amarah lo. Serem tahu ngelihatnya,” kataku dengan suara yang kubuat selembut mungkin.

Ian mendecih geli, kemudian membalas pelukanku. “Hmm.”

Walaupun Ian hanya memberi jawaban berupa gumaman kecil, aku yakin jika suasana hatinya sudah mulai membaik sedikit demi sedikit.

Aku tak bisa menahan senyumku dan mengeratkan dekapanku di tubuhnya.

Nyaman sekali.

•••

Satu per satu masalah udah selesai. Tinggal hubungan Ian sama Anya aja, nih, yang belum nemu titik terangnya🤭

Kalian maunya Ian sama Anya pacaran atau tetep sahabatan, nih?

Skuy vote Bab ini dan jangan lupa ramein kolom komentarnya! Kita ketemu secepatnya. Bisa besok atau lusa. Bubye❤💋

23 Februari, 2023

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top