Bab 41
Biasanya orang yang gagal menikah akan merasa sedih dan hampa. Berbeda halnya denganku yang merasa sangat gembira. Bagaimana tidak, aku seperti baru saja diselamatkan dari belenggu neraka dunia. Kalau aku tetap bersama lelaki berengsek itu, aku yakin aku akan kehilangan rasa nyaman dan aman dalam hidupku.
Ini sudah memasuki hari ketiga aku cuti. Empat hari sudah berlalu sejak kejadian traumatis itu. Aku sudah jauh lebih baik saat ini. Ketiga sahabatku selalu menyambangiku ke apartemen Ian setelah mereka pulang kerja, menghiburku tanpa pernah lelah.
Hal serupa juga Ian lakukan terhadapku. Kalau hanya sedang ada kami berdua di apartemen, Ian akan memperlakukanku bak seorang ratu. Pokoknya, semua keinginanku benar-benar dikabulkannya. Aku jadi heran kenapa Ian jadi super duper penurut. Biasanya kalau aku suruh, dia malah sering misuh-misuh.
Omong-omong soal Ian, aku jadi teringat dengan pengakuannya waktu itu. Pengakuan yang menyatakan kalau dia sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Sampai detik ini, kami belum membahas hal itu lagi karena aku memang sedang ingin mendamaikan pikiranku yang ruwet terlebih dahulu. Kini, persoalan itu malah terus-terusan mengitari otakku. Meninggalkan beribu tanda tanya dalam benakku.
Setelah ini, aku mungkin akan membahasnya bersama Ian. Sudah tidak ada emosi yang mengelilingi kami. Suasana di antara kami pun sedang bagus-bagusnya. Kami akan sama-sama nyaman bila mengangkat topik seputar hal itu.
Suara khas yang berasal dari pintu yang dibuka menelusup ke dalam telingaku. Aku yang sedari tadi sedang berbaring di atas sofa sembari menonton Drama Korea di iPad, sontak bangkit dan melayangkan kepalaku ke sumber suara.
Telingaku mendengar derap langkah yang mendekat. Tak lama, Ian pun muncul di hadapanku dengan satu tangan yang menjinjing plastik dari salah satu restoran terkenal, yang mungkin akan menjadi makan malam kami nanti.
“Kok hari ini pulangnya lama?” Aku mengajukan pertanyaan pada Ian setelah melempar senyum tipis padanya.
Ian meletakkan bungkusan yang dibawanya ke atas meja. “Kenapa? Udah kangen ya sama gue?” sahutnya sembari mengambil duduk di sebelahnya. Tak lupa pula menaikturunkan alisnya sebagai bentuk dari godaannya padaku.
Otomatis bibirku cemberut, maju beberapa senti sambil menatapnya dengan kesal.
Selama aku tinggal di apartemennya, Ian selalu pulang di jam setengah lima sore. Sementara hari ini dia terlambat pulang hampir satu setengah jam lamanya. Chat yang kukirim padanya juga tidak mendapat balasan. Jadi, wajar, kan, kalau aku bertanya demikian?
Huh! Capek emang ngomong sama Ian. Dia selalu punya celah untuk menggodaku.
Ian yang menyadari perubahan ekspresiku malah tak segan mengeluarkan tawanya.
Sudah kubilang, Ian memang senang sekali mengusiliku. Semacam sebuah hobi.
“Hari ini kerjaan gue banyak.” Ian pada akhirnya menjawab pertanyaan yang kuajukan sebelumnya dengan sisa-sisa tawa yang masih menempel di bibirnya. Dia juga memberi tepukan ringan di kepalaku.
Aku kembali menormalkan ekspresiku dan hanya menganggukan kepala. Kemudian mengambil bungkusan yang Ian bawa untuk melihat isinya.
“Boleh makan sekarang nggak, sih? Gue laper, deh,” ujarku setelah melihat ayam bakar dan sambal yang menggiurkan. Perutku seketika keroncongan.
“Makan aja, Nya. Gue beliin itu buat lo.”
“Lo nggak makan?” tanyaku sembari menaikkan pandanganku ke Ian yang duduk tepat di sebelahku dengan posisi miring menghadap ke arahku.
“Gue mau mandi dulu. Udah gerah banget,” jawabnya seraya bangkit berdiri.
“Ya udah, sana mandi. Gue makan duluan.” Aku pun ikut berdiri, dan berjalan meninggalkan ruang santai lebih dulu sambil menenteng bungkusan makanan tersebut untuk kubawa ke dapur.
•••
Selesai makan, aku kembali ke ruang santai. Duduk bersandar di atas sofa yang empuk, menghadap ke arah TV yang sedang menayangkan acara komedi. Tak lama, Ian menyusul sambil membawa sekaleng minuman dingin dari dalam kulkas.
“Besok mau kerja?” tanyanya sembari mengambil duduk di sisiku. Sebelah tangannya direntangkan di kepala sofa, sedang yang satunya memegang minuman dingin tersebut.
Aku melihat Ian sekilas, lalu mengangguk. “Suntuk kalo nggak ngapa-ngapain.”
“Yakin mau kerja?”
Aku tak langsung menjawab, memikirkan terlebih dahulu jawaban pasti yang muncul dalam otakku. Jujur, aku masih merasa ragu.
Papa dan mama memang sudah berbicara dengan orangtua Andra untuk membatalkan pernikahan kami, dan keluarga Andra menerimanya dengan lapang dada setelah mengetahui alasannya. Namun, sampai detik ini, Andra masih belum bisa menerima keputusan tersebut.
Segala akses komunikasiku dengannya sudah kuputus. Nomor dan semua sosial medianya sudah kublokir, tetapi dia terus menerorku dengan nomor dan akun baru. Memaksa untuk mengajakku bertemu.
Bukan hanya itu saja, beberapa kali Raihan dan rekan kerjaku sempat memberi kabar jika Andra sering menungguku di kantor. Lelaki itu sungguh menyeramkan.
“Udah, nggak usah kerja dulu atau lo kerja dari rumah aja,” ucap Ian sembari menepuk-nepuk pelan kepalaku. “Nanti kalau butuh sesuatu, gue siap bantu,” lanjutnya.
Aku mengeratkan dekapanku pada bantal sofa untuk sesaat sebelum mengalihkan pandanganku pada Ian yang sedari tadi menatap lekat ke arahku. “Kayaknya gue emang harus ketemu sama Andra, deh.”
Usapan Ian di kepalaku terhenti seketika bersamaan dengan matanya yang melotot. “Enggak!” tegasnya langsung.
“Kalo gue nggak ketemu dia, masalah ini nggak akan ada ujungnya, Yan.” Aku mencoba memberi pengertian.
Ian menarik tangannya dari kepalaku, meneguk minumannya dengan tergesa-gesa sebelum menaruhnya ke atas meja dengan sedikit entakan. Terlihat jelas ketidaksetujuan akan gagasanku barusan.
“Lo inget, kan, apa yang terakhir kali dia lakuin ke elo? Lo hampir mati, Nya,” pungkas Ian. Suaranya terdengar menggebu-gebu.
Aku menunduk sekejap sembari menggigit bibir bawahku. Ian terdengar hiperbola, tetapi aku memakluminya. Bukan hanya aku yang trauma akan kejadian tersebut, Ian dan ketiga sahabatku yang lain pun merasakan hal yang sama. Aku memahami ketakutannya yang berlebihan itu.
“Sama lo,” lirihku dengan kepala yang kembali kuangkat ke arah Ian. “Gue bakal ketemu Andra bareng sama lo. Gimana?” Aku mencoba membuat penawaran.
Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku memang masih enggan bertemu dengan Andra. Rasa jijik dan benciku padanya membuat kemarahanku kerap muncul hanya dengan mendengar atau sekadar menyebut namanya. Namun, aku juga tak nyaman terus-terusan diteror sedemikian rupa olehnya. Jadi, bertemu dengan lelaki sialan itu mungkin akan menjadi ujung dari penderitaanku.
Aku yang menerima kehadiran Andra di awal, maka aku juga yang harus mengakhiri semuanya.
Ian terdiam sejenak, menatapku dengan lekat. Emosinya masih tampak berkobar di kedua matanya yang tajam, terdengar jelas dari napasnya yang tak beraturan.
“Itu bakal jadi pertemuan lo yang terakhir sama Si Berengsek itu, kan?”
Aku mengangguk tanpa ragu, meyakinkan Ian bahwa gagasan tersebut mau tak mau memang harus kulakukan.
Ian menarik napas panjang, kemudian membuat anggukan sebanyak dua kali. “Okay. Lo boleh ketemu dia asalkan sama gue. Jangan berani-beraninya lo ketemu cowok berengsek itu tanpa gue, sekalipun lo ditemeni Meta, Felsi atau Olin. Paham?”
Aku kembali mengangguk, kali ini dengan sedikit senyum tipis yang kuulas dalam bibirku. Tangan Ian lantas kuambil dan kugenggam. Punggung tangannya menjadi sasaran usapanku agar emosinya bisa sedikit mereda.
Sejak dulu, Ian memang cukup posesif denganku walau masih dalam batas wajar. Dia selalu memperlakukanku seperi dia memperlakukan kedua adik perempuannya. Oleh sebab itu, aku sama sekali tak menyadari jika dia rupanya juga memiliki perasaan yang sama denganku. Selama ini, aku merasa Ian hanya menganggapku sebagai adiknya.
“Ini beneran udah nggak sakit?” Aku melirik beberapa goresan luka yang sudah mengering di buku-buku jari Ian. Luka ini didapatnya saat dia memukul meja kaca yang ada di kelab malam Geo.
Ian kembali menyandarkan punggungnya pada sofa. Dia lantas menggeleng sembari menjawab, “Nggak sakit sama sekali.”
“Tapi pas awal-awal sakit, kan?” Aku menaikkan sebelah alisku.
Aku baru menyadari luka Ian setelah dia berbicara dengan mama. Syukurlah pada saat itu ada Meta yang sigap untuk langsung mengobatinya.
Kalau diingat-ingat lagi, Ian memang sangat marah pada saat kejadian. Aku tidak tahu apa saja yang menjadi sasaran pukulannya selain wajah Andra karena terlalu shock usai menerima perlakuan kurang ajar lelaki berengsek itu.
“Uhm ... lumayan,” jawab Ian dengan mata yang sedari tadi tak lepas dariku.
“Maaf ya udah ngerepotin,” tuturku dengan suara pelan dan kepala yang kembali menunduk untuk menatap luka kering di tangan Ian.
Ian kembali menegakkan tubuhnya hanya untuk mengacak-acak rambutku dengan tangannya yang bebas dari genggamanku. Dia lalu berbicara, “Nggak usah lebay, deh.”
Sentuhan fisik darinya tentu saja membuat kepalaku kembali mendongak. Senyumku serta-merta hadir menghiasi wajahku. Genggamanku pada Ian pun kulepas sebelum merentangkan kedua tanganku padanya.
Ian langsung menangkap maksudku. Dia terkekeh kecil dan menerima permintaanku untuk memeluknya. Aku pun menyamankan diri bersandar di dadanya.
Sampai detik ini, aku masih tak menyangka jika Tuhan benar-benar baik sekali padaku. Dia mengirimkan empat orang sahabat yang benar-benar peduli padaku. Sungguh sebuah nikmat yang harus kusyukuri tiap detiknya.
Aku dan Ian menghentikan obrolan kami, hanya fokus pada dekapan kami yang terasa begitu nyaman. Senyumku bahkan terus terpatri di bibirku. Ian yang turut mengusap-usap rambutku pun perlahan mendatangkan rasa kantuk. Apalagi aku sedang dalam keadaan kenyang.
Sayangnya, kedamaian yang masih berlangsung singkat itu harus terhenti saat bel apartemen Ian berbunyi. Serta-merta kutarik diriku dari Ian dan mengajukan diri untuk membukakan pintu, karena mungkin tamu tersebut adalah ketiga sahabat perempuanku yang masih rutin datang ke sini.
Aku sudah penuh semangat saat hendak menyambut sahabat-sahabatku. Senyumku merekah lebar. Namun, saat pintu terbuka, yang kutemukan malah Siren. Wajahnya tampak memerah, seperti sedang menahan amarah.
Sedetik kemudian, sebelum aku sempat menanyakan maksud kedatangannya, Siren sudah lebih dulu menampar wajahku, meninggalkan rasa panas di sana yang menjalar sampai ke mataku.
“Aarrrgghh!” Aku menjerit cukup kuat, meringis kesakitan saat Siren kembali melancarkan aksinya dengan menjambak rambutku.
Sial!
Seharusnya aku tidak langsung membukakan pintu sebelum mengintip lewat door viewer.
•••
Siapa, nih, yang kangen sama Siren? Dia muncul lagi loh di Bab ini🤭
Kira-kira kenapa tuh Siren dateng sambil marah-marah? Ada yang bisa nebak?
Yuk yuk diramein kolom komentarnya! Jangan lupa vote juga yess😘
Jangan lupa juga baca Ian's Voice di KaryaKarsa! See yaa❤💋
1 Februari, 2023
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top